Selasa, 17 September 2013

Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting ( 4 )

Bagian ke-empat

Sang rubah jenggot putih agak terkesiap melihat sang tumenggung langsung menyerangnya sedemikian rupa. Namun nama besarnya dipantai selatan bukanlah hanya sekedar julukan belaka.

Sang rubah jenggot putih membentak pelan dengan tangan kanannya mengibas setengah lingkaran sebagai tameng dan tangan kirinya menggebrak lantai pendopo tepat didepan kakinya yang bersila.

Terdengar suara gemuruh seperti hempasan ombak laut ketika sang rubah jenggot putih merapal salah satu ajian andalannya, ki tunggang sanghyang petaka.

Hawa dingin kian santer ditengah malam yang renyah bersurai itu.

Benturan ajian ki tunggang sanghyang petaka milik sang rubah jenggot putih dengan ajian ki rancah golok iblis milik sang tumenggung kakangmas bendoro lanting, menimbulkan bunyi berdentam yang menggetarkan tiang-tiang pendopo agung ki gandulgandul tersebut.

Keduanya sama-sama tergetar oleh hempasan tenaga dalam lawannya.

Sang rubah jenggot putih yang duduk bersila itu terdorong kebelakang setengah depa sedangkan sang tumenggung kakangmas bendoro lanting tubuhnya agak doyong kebelakang.
Jelaslah bahwa sang tumenggung unggul sedikit dengan kekuatan tenaga dalamnya.

Sang rubah jenggot putih tak mau kehilangan muka, lantas segera bersiap melontarkan serangan balasan.
Matanya nyalang membara, jenggot putihnya yang panjang itu berkibaran. Kedua tangannya bergerak naik dari samping badannya seakan menopang sesuatu yang amat berat.

Sang rubah jenggot putih menggebah dengan suara membahana seiring kedua tangannya mengibas kedepan menuju lawannya.
Bagaikan bernyawa tetes-tetes hujan dari luar pendopo agung itu berderap mengikuti arah kibasan kedua tangan sang rubah jenggot putih.

Tetesan hujan itu bagaikan ribuan anak panah merangsek kearah sang tumenggung.
Itulah ajian sakti ki ranggas pitunggelo dari laut selatan, konon katanya Nyi Roro Kidul sendiri yang mengajarkannya.

Sang tumenggung tampak tenang. Segera dirapalnya ajian sakti pula karna tak mau meremehkan sang lawan.
Tangan sang tumenggung bersedakap didepan dada, tali urat harimau yang mengikat rambutnya terlepas dan terurai bagaikan ekor merak yang sedang marah.

Sang tumenggung balas membentak dengan suara nyalang dan disekeliling badannya mengeluarkan kobaran hawa panas yang membara , kini kedua tangannya berputar kesamping dan menebas kearah ribuan tetesan hujan yang mendesing kepadanya.
Sang tumenggung terpaksa mengeluarkan ajian saktinya yaitu ajian ki lahar singo edan.

Pendopo agung ki gandulgandul terguncang keras seakan sanghyang widhi meluapkan amarahnya.

~ bllaaarrrrrrr.....~ sebuah ledakan keras terdengar ketika ajian sakti ki lahar singo edan sang tumenggung bertabrakan dengan ajian sakti ki ranggas pitunggelo milik sang rubah jenggot sakti.

Tiang-tiang penopang pendopo agung ki gandulgandul tampak penuh lubang-lubang kecil akibat benturan kedua ajian sakti itu.

Keduanya terjungkal ke belakang dan dari sudut bibir masing-masing mengeluarkan darah segar.
Keduanya telah terluka dalam namun keadaan sang rubah jenggot putih lebih parah sedikit dibandingkan dengan sang tumenggung.

Jubah longgar yang dikenakannya berlubang-lubang akibat tendangan balik ajiannya sendiri. Untunglah dia mengenakan oto sakti kura-kura bersisik yang langkah itu namun dadanya tetap terasa perih.

Merasa keberuntungannya begitu tipis, sang rubah jenggot putih mengambil keputusan untuk mundur dan lebih baik memulihkan luka dalamnya.

Tubuhnya segera berkelebat menerobos hujan dan menghilang diatas wuwungan pagar yang tinggi dan gelap itu.

~ kita sudahi malam ini , ki tumenggung kakangmas bendoro lanting, masih ada kesempatan lain untuk mengadu ilmu lagi..~ suaranya terdengar pongah sekalipun sedang terluka dalam.

~ silahkan kisanak, pendopo agung ini selalu siap menyambut kedatanganmu...~ balas sang tumenggung tak mau kalah gertak.

Keadaan kembali hening. Sang tumenggung lalu bermeditasi untuk mengembalikan kekuatan dan menyembuhkan luka itu dengan tenaga dalamnya.

Malam masih terus lekang bersurai. Pendopo agung ki gandulgandul hanya menyisakan bekas pertarungan para jawara dunia persilatan. Tak ada seorangpun punggawa yang berani muncul disitu, sang tumenggung telah menitahkan siapapun yang datang dan apapun yang terjadi di pendopo agung maka itu hanyalah urusan sang tumenggung sendiri.

Sementara itu diluar pagar tinggi yang mengelilingi kediaman sang tumenggung, ada sebuah bayangan berjalan mengendap-endap menuju pondok kecil dipinggir hutan larangan bagian kulon kediaman itu.

Tak ada yang tahu disana ada sebuah pondok kecil yang letaknya tersembunyi dibalik pohon tua yang amat rimbun itu, apalagi desas desus bahwa ada pemangsa buas dihutan tersebut.

Sepertinya bayangan yang mengendap-endap itu sudah terbiasa berjalan dalam kegelapan.
Langkah kakinya cepat dan tak banyak menimbulkan suara.
Hanya sebentar saja waktu untuk menyeberangi seratus langkah memasuki hutan larangan itu.
Tiga ketukan kecil dan sebuah jentikan jari merupakan isyarat memasuki pondok kecil itu.

Segera pintu terbuka dan selarik sinar dari lampu minyak kecil itu menyeruak keluar.

Sang rubah jenggot putih bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana cingkrang hitam dan berkasut kulit.

Tamu itupun masuk kedalam setelah menutup pintu pondok dengan hati-hati.
Kerudung hitam yang menutupi kepala dan wajahnya segera tersingkap.

Nyi ratnasari klipot, sang selir ke delapan belas tumenggung kakangmas bendoro lanting !

~ lha...piyee..toh..? ~

Nyi klipot segera menjatuhkan dirinya dalam pelukan sang rubah jenggot putih dengan napas mendesah.
Keduanya berpelukan dan saling berciuman dengan penuh napsu, lama dan panjang.

Setelah beberapa saat, keduanya saling melepaskan diri.

~ kakang terluka....? kenapa nekat mendatangi pendopo agung ? ~ tanya nyi klipot manja dengan suara khawatir.
~ hanya terluka sedikit, dinda ayu..~ sang rubah tersenyum menghibur diri.
~ kakang..aku rindu kakang...rasanya sulit untuk berjauhan dengan kakang...~ rajuk nyi klipot mendesah manja dan merebahkan kepalanya pada dada sang rubah jenggot putih.
~ aaiihh...dinda ayu, kakang juga sangat rindu padamu....~ kecupnya mesra.

Rupanya sang selir ke delapan belas ini dulunya adalah pasangan kekasih dengan sang rubah jenggot putih. Namun malang tak dapat ditolak, untungpun tak bisa di raih. Ketika sang rubah jenggot putih masih memakai nama habib juwandi ahmadireja dan pergi bersama gurunya keseberang lautan, maka datanglah pinangan sang tumenggung yang tak bisa dielakkannya.

Dulunya nyi ratnasari klipot ini merupakan kembang desa dipesisir laut selatan dan sangat terkenal dengan bibirnya yang ranum bak kemboja sedang riuh bermekaran.
Itulah yang membuat habib juwandi ahmadireja, seorang pemuda yang belajar ilmu kanuragan dengan seorang pertapa gunung kidul, tertarik kepadanya.

Hanya sayang usia kebersamaan mereka terputus ketika sang pertapa mengajaknya mencari ilmu kesaktian diseberang lautan.
Setelah beberapa tahun pergi, sang kekasih telah dipersunting oleh penguasa kadipaten limbarawa.

Keinginan untuk merebut kembali sang kekasih terhalang oleh kesaktian sang tumenggung yang tidak bisa ditandinginya.
Itulah sebabnya dia kemudian malang melintang menjadi perompak disepanjang pesisir pantai selatan.

Keganasan ombak laut selatan dan kehidupan yang keras telah mengubah dirinya semakin sakti dan mulailah namanya dilupakan , namun julukannya sang rubah jenggot putih semakin terkenal keganasannya.

Tak henti-hentinya dia memperdalam ilmu kesaktian dengan harap suatu hari nanti dia bisa menandingi kesaktian sang tumenggung, terutama merebut kembali kekasih hatinya, ni ayune rempongdeh atau kini dikenal sebagai nyi ratnasari klipot.

Ternyata setelah sekian lama memperdalam ilmu kanuragan, dirinya masih berada sedikit dibawah kesaktian sang tumenggung.
Akhirnya mereka hanya bisa menggunakan pondok kecil itu untuk sesekali bertemu dan melampiaskan rindu mereka.

Malam makin bersurai dan dingin. Lampu minyak itu kemudian padam oleh sentilan jari sang rubah jenggot putih dari jauh.
Tak ada kalimat yang bersambung, hanya ada desah rindu yang menggelepar di dalam pondok kecil hutan larangan itu.

Namun tak jauh dari pondok itu, kira-kira seratusan depa, sepasang lelaki dan perempuan sedang bersantai diatas dahan yang tinggi pada sebuah pohon besar.

Yang lelaki dikenal sebagai kiwilcemong atau si kucing garong wedus dan yang perempuan ni prilli aduswae atau lebih terkenal dengan julukannya si kucing bengal ekor belang.

Kiwilcemong sedang asyik membelah buah durian diatas dahan besar itu tanpa merasa takut jatuh. Kiwilcemong hanya memakai celana hitam cingkrang dan kasut kulit bertali serta tidak memakai baju sehingga perutnya yang sedikit buncit itu tampak menonjol.
Dilengannya memakai gelang besi warna merah dan di pinggangnya terlilit cambuk yang terbuat dari urat harimau dan babi hutan. Wajahnya lumayan tampan walaupun tampak kumal dan baunya menyengat keluar dari badannya yang jarang mandi itu.

Sedangkan ni prilli sedang bermain dengan selendang merah belang kuning miliknya.
Pakaiannya rada seronok, hanya memakai celana merah setinggi lutut dan kutang hijau yang berderetan kancingnya serta kisut sana sini.
Wajahnya cantik tetapi berkesan judes dan galak namun matanya berbinar sedikit nakal.
Ada dua buah golok kecil menghiasi pinggang belakangnya. Rambutnya terikat dengan tali rami yang bersemu merah pula.

Keduanya memang tak pernah berada jauh dari gurunya sang rubah jenggot putih dan tidak mau ambil pusing dengan kegiatan dalam pondok kecil itu.
Merekalah yang sering mengirimkan pesan kepada perempuan kekasih gurunya itu.
Kini keduanya saling berlumba memakan buah durian itu, baunya yang harum menyengat seisi hutan yang gelap dan basah itu.

Malam terus bersurai tanpa lelah. Akhirnya kiwilcemong dan ni prilli terjerembab dalam lelap setelah kenyang menyantap buah durian tadi.
Keduanya tidur saling berpelukan dan mengeluarkan bunyi ngorok yang keras !

          ( hihihi..ntar nyambung lagi ya...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar