Selasa, 17 September 2013

Perawan dari hutan larangan ( 2 )

PERAWAN DARI HUTAN LARANGAN

by :j.lie hardi

Bagian kedua

Lima belas tahun sebelumnya. Pegunungan Tengger siang itu disesaki angin dingin dan berkabut.

Seorang anak kecil telah kehabisan air mata untuk ditangisi. Wajahnya berdebu kusam dan tak tampak gairah yang tersisa. Didepannya tergeletak ayah, ibu dan kakak lelakinya bersimpah darah yang telah kering.

Bau menyengat tak lagi dirasakannya, udara telah berubah menjadi kabut asap yang mengerikan. Kampung kecil didataran tinggi dieng itu telah menjadi azab, habis dijarah dan dibakar tanpa ada rasa iba. Setiap nyawa terengut tak peduli dan secuil harta tak ada yang tersisa.

Sepasang matanya telah menjadi saksi akan kebrutalan dan keberingasan segerombolan penyamun yang datang senja itu.
Tak ada kekuatan untuk berteriak, kekuatan yang dimilikinya tidaklah cukup untuk apapun. Hanya ada ketakutan yang mencengkram tubuhnya yang ringkih ketika sedang bermain diatas pohon didepan rumah mereka.

Telinganya seakan berdentam dengan segala jerit tangis kematian dan sumpah serapah serta tawa yang memekakkan jiwa.
Betapa rasa ngeri itu telah merantai tubuh kecilnya diatas dahan dan telah meluputkannya dari sebuah pembantaian.
Bahkan kenakalannya yang suka memanjat pohon besar didepan rumah dan bersembunyi dibalik dahan rimbun yang kerap menjengkelkan ibunya, telah ikut menyelamatkan nyawanya dari keberingasan para penyamun itu.

Satu-satu wajah para penyamun yang telah membantai keluarganya itu, terpatri dalam benaknya dengan kuat. Keberingasan mereka terhadap keluarganya telah memasung suara dan menghancurkan hatinya.

Wajah-wajah beringas ke enam penyamun itu membekas dan akan selalu diingatnya, suatu hari nanti dia akan membalasnya dengan kekejian yang tak terperikan.

Tiga hari dua malam, anak perempuan berumur enam tahun itu menangisi dan meratap didepan mayat ibu, ayah dan kakak lelakinya yang mandi bersimbah darah.
Tak dirasakannya lapar dan haus serta udara yang menyengat oleh darah serta bau mayat-mayat bergelimpangan yang mulai busuk.
Nyanyian kematian telah memghampiri kampung kecil itu.
~

Segara wedi senantiasa bertiup angin yang menyesatkan dan merubah bentuk-bentuk hamparan pasir yang luas itu tanpa peduli.

Udara dingin dihamparan segara wedi itu sedikit menciutkan nyali dengan dengungan aneh yang muncul dari hembusan angin.

Namun hal itu tidak menjadi halangan bagi seorang perempuan separuh baya dengan selendang merah yang berkibaran itu.
Wajahnya masih tampak rupawan sekalipun kerut-kerut mulai menghampiri pada sudut matanya.

Langkahnya begitu cepat, bahkan telapak kakinya yang terbungkus kasut bertali itu nyaris tidak menginjak lautan pasir tersebut.
Namun yang sangat mencolok mata adalah pakaian yang dikenakannya sangatlah berbeda dengan daerah itu, yang kebanyakan mengenakan kemben dan sarung.

Sepertinya perempuan yang memakai pakaian serba hitam dan ringkas dengan selendang merahnya itu bukanlah penduduk asli. Matanya juga sipit dan berkulit putih bersih , sebuah gelang giok berukiran naga menghiasi pergelangan tangannya.

Ya, perempuan paruh baya itu berasal dari daratan tiongkok yang menjadi salah satu punggawa utama dari Wang Jing Hong, orang kedua dari tujuh pelayaran Laksamana Cheng Ho ke samudra hindia pada tahun 1405-1433 dan mampir kedaratan jawa.
Laksamana Cheng Ho / Cheng De atau Ma He nama aslinya, adalah seorang muslim dari suku hui didaratan tiongkok yang dijadikan kasim pada jaman kaisar Yongle dari dinasti Ming yang berkuasa pada kurun waktu 1403-1424.

Pada salah satu pelayarannya ke daratan jawa, Wang Jing Hong jatuh sakit dan memutuskan untuk tinggal ketika berlabuh di pelabuhan simongan atau semarang.
Sang punggawa utamanya juga ikut menetap dalam kesetiaannya kepada majikannya, yaitu Cheng Yin Fei yang berjuluk Ang I Niocu atau dewi selendang merah. Seorang pendekar sakti yang sudah kenyang malang melintang dalam dunia persilatan didaratan tiongkok.

Setelah majikannya menghembuskan napas terakhir karna sakitnya, Cheng Yin Fei pun merantau kepedalaman daratan jawa yang waktu itu diperintah oleh Raja Wikramawardharna dari kerajaan Majapahit.

Petualangan itulah yang membawa Cheng Yin Fei atau Ang I Niocu, si dewi selendang merah meluruk keangkeran gunung bromo dengan segara wedinya .
Perjalanan panjang menelusuri daratan jawa membuatnya mulai beradaptasi dan mempelajari bahasa, adat istiadat dan pertarungan-pertarungan dengan begundal maupun para jagoan kerajaan majapahit yang coba mengusiknya.

Namun tak satupun yang mampu mengalahkannya dan itu membuatnya bosan.
Cheng Yin Fei si dewi selendang merah akhirnya memutuskan untuk hidup tenang pada sebuah hutan yang pernah menjadi tempat perlindungannya dulu.
Hutan itu terletak disebuah lereng gunung merapi dan agak jauh dari pemukiman penduduk. Tempat itu subur dan tenang, apalagi para penduduk disekitarnya tidak berani sembaranfan memasuki hutan yang mereka sebut sebagai hutan larangan itu.

Dan ketika dalam perjalanannya menuju ke hutan larangan itulah, dia menemukan sebuah kampung kecil yang luluh lantak oleh perampokan.

Segera langkahnya dipercepat untuk melihat keadaan dan hanya menemukan sebuah kampung yang telah mati dan bau anyir darah bercampur hawa kematian deras menyambutnya.

Matanya menyorotkan kemarahan. Rasa kemanusiaannya menggelegak sehingga kampung kecil itu habis ditelusurinya.
Cheng Yin Fei menemukan anak perempuan kecil itu sedang duduk terpekur dengan air mata mengering dan pandangan tak berjiwa, menunggui tiga mayat keluarganya.

Cheng Yin Fei coba mengajaknya bicara namun tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut anak itu.
Diperiksanya pergelangan tangan anak itu, seketika wajahnya diterkam rasa terkejut. Hanya ada denyut nadi yang lemah dan tak beraturan.

Cheng Yin Fei tak berpikir panjang, segera disalurkannya sinkang (tenaga dalam) kepada anak itu. Namun anak itu jatuh tak sadarkan diri dalam pelukannya.
Segera ditinggalkannya tempat itu dengan ilmu ginkangnya ( ilmu meringankan tubuh ), berlari secepat angin topan dan berkelebat bagaikan tamparan halilintar.

Tiga hari tiga malam Cheng Yin Fei berlari menuju hutan larangan dan hanya berhenti untuk memeriksa anak itu agar tetap hidup.
Memberinya kekuatan melalui sinkangnya dan meneteskan air embun pada mulut anak itu.
Perutnya sendiri tak dirasakan karna pikirannya tertuju pada keselamatan anak tersebut.

Akhirnya pada fajar keempat, tibalah Cheng Yin Fei dihutan larangan dimana sebuah pondok kayu yang sederhana berdiri.
Hatinya sedikit lega, pondok itu masih tetap utuh sejak tiga tahun berlalu dalam pengembaraannya dipedalaman daratan jawa.

Hujan mulai turun dengan derasnya, menambah gigil yang merasuki jiwa diantara pagi yang masih gelap itu.

Cheng Yin Fei segera membaringkan anak itu pada amben kayu dan mulai duduk bersila. Dikerahkannya tenaga untuk melepaskan totokan pada beberapa titik ditubuh anak itu.

It Yang Cie , sebuah jurus sakti dari perguruan shaolin yang sempat dipelajarinya dari seorang hweesio (biksu) perantauan dengan mengakalinya lewat makanan-makanan enak.

It yang cie dasarnya merupakan sebuah ilmu pernapasan namun memiliki kekuatan yang mengerikan bila dipakai dalam pertempuran. Jurus ini hanya sedikit yang menguasainya di perguruan shaolin dan tidak boleh orang sembarangan yang menpelajarinya karna itu merupakan salah satu jurus rahasia perguruan. Namun hweesio Kwan yang suka merantau tak peduli, apalagi Cheng Yin Fei yang cantik dan pintar masak itu telah menyenangkan hatinya dengan berbagai makanan enak dan dia adalah pelanggar aturan kuil yang melarang para biksu makan daging.

Kini Cheng Yin Fei berkonsentrasi penuh menggunakan jurus it yan cie tersebut untuk menyembuhkan anak perempuan itu.
Dua jam kemudian selesailah pengobatan yang dilakukannya dan teramat menguras tenaganya.

Wajah anak perempuan kecil itu mulai hangat kembali dan napasnya lebih teratur.
Sejenak Cheng Yin Fei melakukan meditasi untuk sekedar menenangkan dirinya sendiri.
Dia tahu dan sadar untuk memulihkan tenaga dalamnya membutuhkan waktu yang lama.
Beberapa saat kemudian barulah dia bangkit dan menyalakan tungku api untuk memberi kehangatan pada pondok kayu itu.

Dengan telaten tangannya menyuapkan sedikit demi sedikit bubur yang dibuatnya dengan tungku api itu. Anak perempuan kecil itu belum sepenuhnya sadar dan hanya beberapa sendok kecil saja yang mampu ditelannya setelah bersusah payah menyuapkan bubur putih itu.

Wajah Cheng Yin Fei sedikit lega dan menyelimuti tubuh kecil itu dengan sehelai selimut tipis agar tidak kedinginan.

~ ri uri..
ri uri njang anjang widodari..
kepleret tibo nyemplung kecemplung kembange opo...
cah angon...
cah angon penekno blimbing kuwi lunyu...
lunyu penekno kanggo sebo mengko sore...
mumpung jembar kalanganne...
mumpung padhang rembulanne...~

Sebuah senandung berbahasa jawa meluncur dari mulut Cheng Yin Fei. Meski tak mengerti artinya namun dendang lagu itu menenangkan hatinya.

Sementara fajar kian jatuh dan hujan terus turun dengan lebatnya.
Hutan karangan itu menyiratkan aroma keangkeran yang mengerikan.

 nyambung lagi ntar ya...capee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar