Selasa, 17 September 2013

Fall The Dawn ( 9 ) - Fall The Dawn part three

FALL THE DAWN

( part three )

Kirana Qi terbeliak. Tak ada kesempatan untuk menghindar lagi, terjangan lelaki itu terlampau cepat.

Kirana Qi hanya bisa melihat siluet pisau gurkha yang melesat itu, pinggangnya terasa patah ketika menghantam sofa serta tangan kirinya sulit bergerak.

Kirana Qi nyaris memejamkan mata namun tak bisa lepas dari pandangan lelaki itu. Dia bisa merasakan pisau gurkha itu menyentuh belahan dadanya .

Jaket kulitnya terbuka dan tanktop putih yang dikenakannya terasa dingin oleh logam dan keringat dinginnya.

Lelaki itu menghentikan hunjaman pisau gurkhanya dengan tepat dan hanya menyentuh belahan dada Kirana Qi yang tampak turun naik oleh napasnya yang sesak.

Tak jauh dari situ, Fe tertelungkup dan tak kuasa menyaksikan.

Tak juga dilihatnya ketika lelaki itu bangkit berdiri dan melangkah menjauhi Kirana Qi yang masih tersengal oleh napasnya yang memburu.

Kirana Qi masih tertegun. Tak mengerti mengapa dirinya masih dibiarkan hidup. Tatapan matanya mengikuti langkah lelaki itu yang menjauh dan menuju ke arah tempat tidurnya.

~ 05:40....05:39...05:38...hitung mundur masih terus berjalan...~

~ aku telah melanggar aturanku sendiri, kali ini kubiarkan kalian hidup tetapi tidak untuk kali berikutnya....~

Terdengar ucapan lelaki itu dingin sembari mengeluarkan sebuah tas ransel dari bawah tempat tidur tersebut. Pisau gurkha itu masih terpegang erat ditangan kanannya.

Lelaki itu berbalik. Menatap kedua perempuan penyerangnya itu dengan tajam. Kirana Qi dan Fe yang lega karna partnernya tidak jadi terbunuh.

~ sebaiknya kalian menghilang kalau tidak bisa memberikan alasan bagus kepada pengirim kalian...~

~ pergilah, sebelum aku berubah pikiran...~ lanjutnya sambil menghentakkan tangan kanannya .

~ tempat ini akan hancur.......~ lanjutnya.

Pisau gurkha itu berdesing kencang dan menemui sasarannya pada sebuah bingkai lukisan kecil disamping kanan tempat tidur itu.

Terdengar sebuah suara dan tempat tidur itu berputar pada poros tengahnya.

Sebuah lubang menuju jalan rahasia yang lain !

Sebelum memutar badannya, tatapan mata lelaki itu sekali lagi beradu dengan pandangan Kirana Qi.

Kemudian lelaki itu melompat turun dan tempat tidur itu kembali pada posisinya, kali ini diikuti dengan suara yang cukup keras.

Kirana Qi dan Fe bergegas meninggalkan tempat itu tanpa pikir panjang lagi.

Keduanya berlari dan berlari menerobos ruangan dari mana tadi mereka masuk. Mereka tepat mencapai jalan ketika terdengar ledakan tertahan dan debu mengepul dari rumah itu ditengah hujan.

Kirana Qi dan Fe saling bertatapan lalu meneruskan langkah dengan cepat sebelum kehadiran mereka disitu teridentifikasi.

Keduanya tak bicara. Kini hanya ada satu tujuan yaitu pergi secepatnya dan menunggu perintah lanjutan.

Disebuah sudut gelap , Art Hammerfist bersembunyi dan mengawasi keduanya. Tangannya sibuk menulis sesuatu pada gadgetnya, tetapi tanpa disadarinya ada orang lain yang juga sedang mengawasinya.

Jaraknya cukup jauh namun binokular kecil versi militer dengan night view itu dapat melihat sasarannya dengan jelas.

Pendaran layar gadget ditangan pengintai kedua itu membiaskan sebuah wajah, seorang perempuan.

Mrs Glorieux begitu sebutannya a.k.a Aurellia Pinatih , sang bartender !

Bagaimana dia masih hidup setelah menerima dua tembakan pada dadanya ?

Rasa sakit pada dadanya terasa amat menyiksa tetapi merasa beruntung bahwa peluru-peluru itu masih mengenai vest yang dikenakannya.

Diapun bersyukur bahwa vest itu telah menyelamatkan nyawanya dari sebuah strategi nekatnya.

Darah yang terlihat itu hanyalah beberapa kantung darah yg dijahit khusus pada vest tersebut untuk upaya pengelakan.

Namun dia tetap terluka meski tak parah, hanya itu yang bisa dilakukannya demi menyelamatkan sang buah hati yang berada ditangan pemberi perintah itu.

Peluru modifikasi itu menyebabkan ledakan ketika menghantam vest tersebut dan telah melukai dadanya dan itu patut disyukurinya.

Naluri seorang ibu telah membuat dia bertahan dan berusaha mencari dimana putra kesayangannya disekap. Dia hanya merasa bahwa keterlibatan lelaki itu dalam mencari putranya, akan membawa hasil .

Mrs Glorieux segera mengirimkan sederetan pesan sembari meringis menahan sakit.

~ penyergapan gagal, kurir perusahaan telah pergi, burung hantu Alpha Hotel menampakkan diri, target hilang, tunggu perintah lanjutan ~ tombol Send pun ditekan.

Mrs Glorieux kemudian melangkah pergi.

Art Hammerfist terlebih dahulu menyelinap dalam kegelapan dan menghilang.

Malam kembali lengang, perburuan telah gagal dan sayup~sayup sirene polisi meraung pilu.

~ ~ ~

Sosok perempuan berumur tiga puluhan itu sangat cantik dan semakin langsing dengan kaki indahnya yang jenjang. Blouse orange dengan belahan dada yang rendah dipadu dengan skirt ketat nan pendek, sungguh memanjakan mata menatap kulitnya yang bagaikan pualam itu.

Rambut hitamnya yang panjang dibiarkan terurai bebas dan kaki jenjang itu tanpa sepatu meresapi lantai marmer langka abad pertengahan.

Pandangannya menatap dikejauhan dari sebuah jendela besar dari rumah abad ke 19 diatas bukit itu.

Pemandangan dengan kerlip lampu semarak diujung seberang sana dan tampak mengesankan sekalipun tungkup oleh kegelapan malam.

Rumah tua nan mewah dan megah itu berdiri angkuh diatas bukit serta dikelilingi dengan pekarangan yang sangat luas.

Perempuan cantik itu adalah istri dari seorang menteri luar negeri yaitu Bintang James Matakusepet, seorang profesional karir yang cemerlang dan dekat dengan pihak militer dan berlatar belakang pendidikan jurusan hukum internasional Yale University.

Perempuan itu sendiri bernama Cynthia Myrra Unsulangi, seorang profesional lulusan Harvard jurusan hubungan internasional. Dikalangan pemerintahan, dia juga dikenal sebagai sosok yang cenderung keras terhadap kebijakan pemerintah yang sedikit lemah dalam menghadapi rongrongan negara tetangga diperbatasan.

Madam Myrra, begitulah pers suka menyebutnya dan dia tak peduli. Matanya terus menatap dikejauhan, sesekali meneguk martini on the rock ditangannya.

Siapapun tahu dengan sikap kerasnya dalam sebagai utusan khusus di PBB yang membidangi pemberantasan terorisme dunia.

Nada getar telepon selular menghentikan sejenak derap pikiran yang mengikatnya sedari sore tadi.

~ penyergapan gagal, kurir perusahaan telah pergi, burung hantu Alpha Hotel menampakkan diri, target hilang, tunggu perintah lanjutan ~

Matanya sejenak membara ketika membaca pesan tersebut. Segera tangan kiri yang memegang telepon selular itu mengetik beberapa kalimat dengan lincahnya sedangkan tangan kanannya tetap memegang gelas.

~ the jasmine tuscany. asap. follow the train to Noordwijk-Leiden ~

Pesan itu segera terkirim dengan saluran aman yang terintegrasi dalam telepon selularnya.

Wajah cantik itu kembali tenang walau tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. Terdengar dengusan lirih untuk menumpahkan emosinya sesaat itu.

Tangannya kembali lincah menekan beberapa nomor telepon lain.

~ aku tak suka dengan keterlibatan si burung hantu, siapa yang punya kontrak ? ~ desisnya tajam.

~ itu kontrak dari agency , kebocoran ini makin meluas : hanya boleh free agent yang terlibat sebagai perencana operasi..~ jawab sebuah suara tanda nada dari seorang lelaki.

~ seberapa jauh bisa dipercaya ? siapa operative yang menghidupkan asset tidur ? ~ cecarnya lagi.

~ sejauh ini tidak mengecewakan, bisa dipercaya : bukan operative tapi konsultan atas persetujuan direktur perusahaan..~ suara lelaki masih tetap tanpa irama.

~ dapatkan kunci itu sebelum sidang PBB jam sepuluh nanti, tutup kebocoran yang ada..~ telepon itu segera dimatikannya tanpa menunggu jawaban.

Madam Myrra kemudian melangkah menuju meja kerja dan membuka laptopnya.

Tangannya mengetik beberapa password dan tampaklah dimonitor itu wajah Tya dan wajah lelaki operative yang jadi buronan itu.

Mata itu tajam seakan ingin mencari jawaban atas keingin-tahuannya.

~ dimana kunci itu kau sembunyikan, Tya ? Apa yang kau katakan kepada lelaki yang telah merengut nyawamu itu ? ~ bibir indahnya yang basah oleh martini on the rock itu menggumam lirih , gelasnya telah kosong.

~ apa yang engkau lakukan di Noordwijk-Leiden ? sekedar mengunjungi ibumu ? ~

~ untuk apa engkau mengunjungi hotel the jasmine ? ada yang engkau sembunyikan disana atau...ada hubungannya dengan William de marchisio, sang seniman penjagal itu ? ~ benaknya berpikir keras sehingga meninggalkan kerut-kerut kecil pada keningnya, tak melukai kecantikan pada wajah itu.

Ruangan luas tersebut kembali senyap, Madam Myrra kembali berkutat dengan perang yang merasuki pikirannya.

Malam terus merambat dalam kesunyian yang menggigil.

~

Noordwijk. Dua puluh menit dari Leiden, Nederland.

Perempuan paru baya itu nyaris kehilangan semangat. Putrinya telah tewas dalam sebuah demonstrasi menuntut reformasi yang berujung pada kerusuhan.

Begitulah berita yang diterimanya beberapa jam yang lalu dari salah seorang keluarganya.
Airmata sudah terasa kering, perempuan itu terhempas jiwanya dan terus termenung ditaman belakang rumahnya.

Padahal baru dua minggu yang lalu putrinya itu mendadak mengunjunginya. Ada rasa heran namun rasa rindu telah memupus keraguannya.

Nyaris sepuluh tahun tidak pernah bertemu dan hanya sebulan sekali mengirimkan surel, itupun hanya cerita-cerita biasa.

Perempuan itu Kiki Nauly , ibunya Tya atau Sekar Suket.

Pikirannya kembali menerawang pada saat kedatangan sang putri dua minggu yang lalu.

Tya memeluknya sangat erat seakan tak ingin berjauhan, begitu pula dirinya.

~ Ki, aku hanya kesini sebentar saja dan beberapa jam lagi aku harus mengejar pesawat untuk kembali...~ bisik Tya lirih dan tak canggung memanggil nama ibunya.

~ engkau baru saja datang setelah sekian lama kita tidak bertemu...~ protes Kiki.

Tya dengan lembut menutup bibir ibunya dengan jari telunjuknya sambil menggeleng.

~ jangan Ki...jangan lakukan itu, aku harus mampir kesini tetapi aku juga harus pulang karna ada pekerjaan penelitian yang tak bisa kutinggal...~

~ sebelum kesini aku juga datang ke hotel jasmine untuk menitipkan sesuatu, masih ingat dengan Jonah ? Jonah Lee ? ~

~ dia akan kesana juga nanti untuk mengambil apa yang kutitipkan itu....~

Tya menjelaskan dengan suara lembutnya sembari menatap sang ibu yang sedikit agak bingung itu .

~ tentu saja ingat dengan Jonah , apa kabarnya dia ? Dia masih....? ~ Kiki agak mengerutkan keningnya.

Tya tertawa kecil .

~ ya Ki..dia satu-satunya orang yang kupercayai dalam hidup ini, tentu saja selain dirimu Ki...~

~ oh, ya...aku punya sesuatu untuk Jonah disini, tadi telah kusimpan dimana dulu kami pernah duduk semalaman hanya untuk menulis puisi, Ki...~

~ berjanjilah padaku, Ki...bahwa hanya Jonah saja yang boleh mengambilnya dan tak seorangpun boleh tahu, ini sangat penting Ki...kumohon berjanjilah padaku..~

Kiki Nauly menatap putrinya lekat-lekat dan tanpa ragu mengangguk. Dua tahu sifat Tya yang sedikit keras itu.

Tya, anak gadis dari perkawinannya yang pertama itu tersenyum dan kembali memeluknya erat. Dia telah coba melupakan wajah kepala klan marchisio itu namun amat merindukan putri mereka.

Hanya itu saja kenangan pertemuan mereka dua minggu yang lalu.
Kiki juga tak berusaha mencari tahu apa yang disembunyikan Tya untuk Jonah, ditempat mereka berdua menghabiskan waktu semalaman hanya sekedar menulis puisi.

Kiki masih ingat batu dipinggir pantai itu sekalipun sepuluh tahun sudah berlalu.

Kiki juga masih ingat dengan Jonah Lee, lelaki dengan tatapan mata menghunjam itu.

Kiki pun masih bisa merasakan betapa dalam keduanya memancarkan rasa cinta yang teramat dalam.

Kiki kini hanya bisa meratapi kepergian Tya yang sangat tragis itu , sendirian ditaman belakang rumahnya yang penuh dengan tanaman mawar sebagai pengingat akan putrinya Tya.

Dua puluh menit dari kediamannya, sebuah mobil melaju kencang di high way kota Leiden menuju Noordwijk.

Sang supir tampak menggeram tanpa berani bersuara dan terus memacu kendaraannya.

Dibelakang duduk dua orang perempuan cantik yang tampak sedikit dilanda kegelisahan.

Mereka itu adalah Kirana Qi dan Fe !

~

Sementara itu 2 klik dari kediaman Kiki Nauly yang sedang dirundung duka, seorang lelaki tampak memasuki area lobby sebuah hotel.

Grand Hotel Huis ter Duin terletak dipinggir pantai dan jadi tempat favorit para pesepak bola terkenal yang berkecimpung dalam hiruk pikuknya Eredivisie, liga sepak bola profesional negeri kincir angin itu.

Lelaki itu berparas cukup tampan untuk seorang yang telah mencapai usia empat puluhan. Matanya tajam dan nyalang, penuh kewaspadaan akan keadaan sekitarnya.

Art Hammerfist !

Sedang disebuah lounge yang berada tepat didepan front desk hotel itu, duduk pula seorang lelaki berperawakan lugu dan tampak serius dengan laptopnya .

Namun tak seorangpun menyadari betapa lelaki bertampang lugu itu, menempati sebuah sudut yang sangat ideal dalam mengamati keseluruhan lobby tersebut.

Letnan Zenno a.k.a the cobra !

Sesaat kemudian muncul seorang perempuan berwajah asia yang tampak menonjol dengan kulit kuning langsatnya, melangkah masuk ke dalam lobby hotel itu.

Perempuan itu langsung menuju lounhe tersebut dan mengambil tempat tak jauh disebelah kiri lelaki berwajah lugu yang tampak menyibukkan diri dengan laptopnya itu.

Mrs Glorieux a.k.a Aurellia Pinatih !

Art Hammerfist yang duduk menghadap kaca cermin pada meja bartender tak luput memperhatikan situasi lounge tersebut. Kewaspadaannya mencuat, ada rasa tegang yang mengusiknya.

Dia juga tak luput mengamati lelaki lugu yang sedang sibuk dengan laptopnya itu. Perawakan lelaki itu tak terlalu menarik tetapi dia bisa merasakan bahwa meremehkannya adalah suatu kesalahan, entah apa itu namun mengingatkannya untuk waspada.

Sedangkan wajah perempuan itu mengingatkan dia pada sebuah operasi diselatan perancis beberapa tahun yang lalu namun dia tak mengetahui dengan jelas nama dan untuk siapa dia bekerja.

Hal yang sama juga dilakukan oleh letnan Zenno, tanpa ada yang menyadari posisinya amat menguntungkan untuk saat itu.

Kamera pada laptopnya sudah berputar membelakanginya dan menangkap aktivitas yang ada di lounge tersebut.

Kedatangan Art Hammerfist dan Mrs Glorieux pun tak luput dari kamera kecil itu.

Letnan Zenno , segera mengirimkan foto keduanya ke bagian analis perusahaan tempat dia mengabdi.

~

Sementara itu ribuan mil dari situ, sebuah jet Gulfstream tampak melesat diketinggian langit.

Pesawat Gulstream itu biasa digunakan para jetset dan eksekutif yang tak mau terusik oleh kebisingan penerbangan komersial.

Pesawat jet itu terbang dari bandara internasional Frankfurt menuju Leiden.

Penumpangnya hanya satu orang saja dan tampak sedikit keletihan terpancar dari mata elangnya.

Lelaki itu sesekali mereguk scotch on the rock ditangannya tanpa melepaskan pandangannya pada layar monitor aspire p3 tersebut.

Saat itu senja musim panas masih benderang merubungi Noordwijk namun udara terasa begitu dingin, seperti aroma kematian datang menyapa.

Noordwijk , sebuah kota kecil yang tenang di pinggiran pantai dan dua puluh menit jaraknya dari kota pendidikan Leiden yang terkenal itu.

Mungkin ketenangan itu akan berubah dalam sekejap dan menjadi sebuah ketegangan mencekam....

  ( see ya in the next note )

1 komentar:

  1. i love being one of the character in your story <3
    keep up the good work Dear :-)

    BalasHapus