Sepotong roti dipersimpangan
Entah berapa sudah , jalan yang kami tempuh telah berpisah dipersimpangan itu .
Ketika sedang hangatnya gelora rindu dan cinta yang membakar jiwa kami. Justru
itulah saatnya kami saling membalikkan badan dan melangkah ke lain arah.
Mungkin keadaan kami waktu itu tidaklah menguntungkan. Kalau tidak ingin dikata
bahwa kami mengalami masa-masa sulit ketika melepaskan diri dari kegiatan orga-
nisasi yang menguras tenaga dan pikiran, untuk kemudian beralih mengembangkan
diri kepada pekerjaan untuk menghasilkan uang.
Ya , kami memang bukan berasal dari keluarga berkecukupan. Kalau tidak buat apa
kami mengembara dan mengemis pekerjaan di kota besar ?
Aku sendiri begitu idealisnya ketika selepas sma menuju ke ibukota ini. Mungkin itu
juga gambaran sebagian besar lulusan sma yang berasal dari daerah. Memiliki cita-
cita setinggi gunung everest dan impian-impian sebesar gunung papadayan.
Aneh memang, tetapi kenyataannya tidaklah seindah impian semusim atau seindah
sepotong roti diatas bantal.
Kota besar tidak memiliki hasrat terhadap kehadiranku, maupun dengan impian
dan cita-cita yang kutakdirkan untuk kusinggahi. Tidak . Tidak ada keramahan
sedikitpun yang mencuat ketika aku setengah linglung menatapi kebungkahan se-
buah kota metropolitan .
Malah kalau aku bisa mendengar gedung-gedung itu berbicara, mungkin mereka
mentertawakan idealisme yang kusandang bagaikan ransel ketika kakiku melintasi
jalan setapak menuju ke sebuah puncak gunung.
Segala kepandaian dan ilmu harapan yang kudapat dari dua buah sekolah masa
sma ter-nyata tidak berdaya ketika dikalahkan oleh peta ruwet lokasi
ujian sipen-maru di gelora BungKarno . Keberuntungan ketika sma bisa menimba
ilmu di sekolah negeri dan sekolah swasta,ternyata tidaklah cukup untuk menun-
dukkan keangkuhan kota besar.
Segala cita-cita dan impian untuk meraih salah satu kursi fakultas tehnik di UGM
kandas.Bahkan terpuruk bagai dihantam metromini yang kebut-kebutan mencari
setoran.
Aku terbengong-bengong menatap geletar ibukota yang demikian sangarnya itu.
Namun itu tidak menyurutkan nyali dan keinginan untuk menambah ilmu penge-
tahuan. Selain hasrat untuk kuliah , aku juga menyimpan sebuah senjata kecil
dalam hutan antah berantah ke-organisasian. Aku juga pandai menulis , entah
itu puisi, cerpen ataukah ulasan sebuah makalah. Tak apa , gerutuku. Mungkin
kota ini perlu kutundukkan dengan cara-cara yang lain pula.
Ku kesampingkan niat kuliah dan menyerusuk kepada kelamnya dunia organisasi.
Ternyata dibidang ini aku dengan mudahnya menguasai dan menundukkan segala
kebengalan orientasi para organisatoris. Mulailah tahun-tahun penuh kesibukan
yang nyaris merengut nyawa-ku . Raga tidak lagi terjaga dengan baik, bahkan
nyaris terabaikan dengan segala kesibukan itu.
Aku telah terpuruk tanpa kusadari . Aku telah tenggelam terlalu jauh ke dalam
lautan ini sedangkan aku sendiri tak pandai berenang.
' Rika ' , begitu ucapnya ketika wajah lugu itu tersenyum dan menggenggam erat
tanganku.
Itulah awal pertemuanku dengan perempuan yang masuk katagori 7,5 , nilai untuk
sebuah kecantikan. Namun bukan itu maknanya. Kelembutan dan keramahannya
telah menunduk-kan hatiku yang keras bagaikan batu karang itu.
Awalnya memang kami tidak saling memeriahkan hati dengan rasa tertarik
yang diam-diam telah mengikat jiwa kami. Ketika itu aku sedang mabuk oleh cinta
dan hasrat membara terhadap rekan kerjaku pula. Wajah nan cantik yang setiap
hari kutemui di kantor telah membutakan mata hatiku. Demikian juga halnya de-
ngan perempuan yang menyandang nama Francis Xavier Ellianingsih itu.
Bahkan hidupku serasa melayang ke atas awan. Bahkan berciuman pun di kantor !
Astaga , mungkin aku sudah gila dan diapun ikut merajuk dalam kegilaan. Tak ada
yang sepi, sepu-lang kantor pun masih tak terlewati untuk makan ataupun ke
bioskop.
Namun sayang , hal itu tidaklah seindah impian apalagi menikmati sepotong roti
diatas bantal.
Ketika ulang tahunku yang bersamaan dengan salah seorang teman organisasi dan
seorang dokter perempuan yang mengabdikan prakteknya untuk kemanusiaan itu
berlangsung.
Francis Xavier Ellianingsih yang cantik itu memberikan pelajaran istimewa kepada
ku. Sebagai kekasih , dia telah merasa diremehkan dan diabaikan ketika aku
membiarkannya berga-bung dengan teman-teman perempuan lainnya sedangkan
aku bergabung dengan kaum lelaki , teman-temanku pula.
Itulah kesalahan terbesar yang pernah kulakukan dan telah melukai hatinya, sekali
gus menikam dalam-dalam hatiku sehingga terus terluka bertahun-tahun kemudian.
Akupun berhenti bekerja dan mencari kerja ditempat lain supaya aku tidak menam
bah luka hatinya, sekalipun berjuta maaf telah kumohonkan kepadanya. Namun
rasa cintanya yang dalam telah terluka demikian parah tanpa kusadari . Kututup
episode cintaku yang berdarah disana, dikawasan monas.
Kegilaan akan organisasi terus meracuni seluruh sendi hidupku. Namaku bahkan
dikenal sampai ke Vatikan . Tetapi itu tidak membuatku bangga. Aku telah dikalah
kan oleh sebuah cinta yang telah melukai orang yang kukasihi. Tak apa, itulah hi-
dup kalau tidak mau dikatakan sebagai salah satu ketidak-beruntungan dalam
menjalankan hidup .
Aku pun kemudian seperti didekatkan kepada sosok lugu yang menyambutku de-
ngan ramah saat pertama bergabung dalam keorganisasian itu. Aku tahu dari
pengakuannya bahwa dia juga sedang menjalin hubungan dengan seorang
pemuda lain yang berasal dari satu kampung dengannya.
Itu tidak menjadi sebuah aib bagiku. Begitu banyak perempuan yang kemudian
hadir silih berganti menempelkan namanya ke dinding hatiku. Sebut saja Elisabeth
yang lembut. Wahyu , sang sekretaris organisasi yang suka berdandan itu. Tuti
Ambarwati yang berkaca mata dan sangat keibuan. Dan beberapa perempuan lagi
yang tak ku-ingat namanya.
Oh, iya..aku ingat juga ketika sedang mengadakan tour ke Bromo . Bahkan ada
dua orang perempuan bersaing mendekatkan diri kepadaku. Yang seorang
bernama Tuti ( aku lupa de-ngan nama chinese nya ) . Dia begitu cemburu ketika
aku pergi nonton diajak menemani beberapa anggota tour. Nonton di sebuah
bioskop di kota Malang.
Kebetulan yang duduk disampingku adalah perempuan yang juga sejak awal me-
maksaku untuk duduk disamping-nya dalam bus.
Yang ini sungguh memalukan, tetapi aku benar-benar lupa namanya. Walaupun
sempat kencan beberapa kali tetapi tidak juga menentukan kemana halte yang
harus kusinggahi untuk berhenti. Kisahnya buyar begitu saja , mungkin aku tidak
cocok dengan seorang perempuan yang sedikit agresif.
Dengan Tuti yang super lembut inipun tak lama berakhir karna dia akan pindah
ke Singapura. Bahkan dia menangis ketika harus berpisah dan mengirimkan
sebuah jaket ketika tiba di kota singa itu. Kisahnya juga tak berujung.
Bahkan semua cerita itu tak pernah mencapai ujungnya. Semuanya berakhir
ketika senja belum lagi usai mempermainkan hasrat dan gelora hati.
Hanya dengan perempuan yang bernama Rika ini saja sempat kulewatkan waktu
bertahun-tahun lamanya sebelum kami akhirnya harus berpisah juga.
Namun yang patut kusyukuri bahwa hanya dengan Rika sajalah yang menimbulkan
begitu banyak gejolak dalam hidupku. Dari situlah aku mulai menata kembali hidup
yang mulai tak terkendali. Tak ada yang tahu bahkan untuk Rika sekalipun , bahwa
aku masih menyiman namanya erat-erat berdampingan dengan Francis Xavier
Ellianingsih yang telah kulukai hatinya.
Lalu untuk siapa sebenarnya hati ini ? Entahlah , jiwaku seakan meronta ketika tali
kekang mulai diikatkan dalam hidupku. Sekalipun jujur ku akui , bahwa aku hanya
ingin dicintai secara jujur dan apa adanya. Demikian pula aku ingin mencintai sese
orang tanpa harus menipu perasaanku sendiri.
Cintaku berlalu dalam sepi . Menelikung dalam kesenyapan malam . Entah kapan
akan tiba di persimpangan itu lagi dan mengikat sebuah cinta yang lain untuk me-
nyibak keresahan malam.
Cinta bagaikan menikmati sepotong roti di sebuah persimpangan bersama seorang
kekasih yang rindu dan mencintai kita juga.
~~~~~~
.jpg)