Selasa, 17 September 2013

Perawan dari hutan larangan ( 3 )

PERAWAN DARI HUTAN LARANGAN

by : j.lie hardi

Bagian ketiga.

Tiga hari telah berlalu sejak kembalinya Cheng Yin Fei ke pondoknya di hutan larangan.
Selama itu seluruh perhatiannya tercurah pada kesembuhan anak perempuan tersebut. Dia hanya bisa berusaha sekuat kemampuan yang dimilikinya demi menyelamatkan jiwa rapuh itu.
Selama tiga hari pula anak itu entah berapa kali sadar dan kemudian jatuh pingsan lagi. Beban yang terlampau berat untuk dihadapi oleh usianya yang baru enam tahun.

Namun Cheng Yin Fei tidak putus asa dan terus merawatnya. Pada hari keempat akhirnya anak itu sadar sepenuhnya. Walau badannya masih lemah tetapi dia berusaha untuk bangun.

~ sssttt....tenanglah anakku...tenanglah dulu...~ bisik Cheng Yin Fei lembut.

Anak itu menatapnya penuh curiga dan menyimpan ketakutan.

~ siapa namamu nak..? jangan takut..engkau aman bersamaku...~ bujuknya lagi ketika menangkap pandangan curiga tersebut.

Anak itu diam. Mungkin tak mengerti ucapan perempuan asing itu dan logatnya sangat aneh. Dia tidak mengerti bahasa melayu yang digunakan oleh Cheng Yin Fei apalagi dengan logat fukiannya.

Berkali-kali Cheng Yin Fei mencoba untuk mendapatkan keterangan namun akhirnya hanya diam anak itu yang diperolehnya.
Juga diam yang didapatnya ketika mencoba dengan bahasa jawa yang belum dikenalnya secara mendalam.

Akhirnya Cheng Yin Fei menyerah dan menggunakan bahasa gerak. Disodorkannya bubur bercampur ubi merah yang didapatnya dari penduduk diluar hutan itu. Juga sepotong paha ayam hutan yang telah dipanggangnya.

Anak itu terus menatapnya curiga lalu menunduk dalam diam. Tak ada gairah lain.
Cheng Yin Fei membiarkannya sendiri, tak ada gunanya memaksakan kehendak dengan seorang anak kecil yang mengalami trauma yang begitu hebat.

Cheng Yin Fei menggunakan waktunya untuk terus memulihkan tenaga dalamnya yang hilang namun tak pernah melepaskan perhatiannya pada anak itu. Hari berlalu hari, minggu lewati minggu dan akhirnya sebulan lewatlah sudah.

Bulan purnama tampak merekah penuh ketika senja baru saja datang. Itu jadi penanda bagi Cheng Yin Fei bahwa sebulan sudah terlewati sejak membawa anak itu kembali ke hutan larangan. Anak itu masih membisu tetapi mulai menumpuk rasa aman dan percaya kepadanya.
Sesekali dia mengikuti kemana langkah Cheng Yi Fei pergi.

~ Golek golek..capunge tak golek golek
Capunge golek golek dewe...
Golek golek...capunge tak golek wae..
Capunge golek golek dewe..
Capunge tak golek dewe..
Capunge modar kuwi...
golek golek...tak golek kuwi...~

Tembang dolanan yang jenaka ini sangat menarik perhatian anak itu. Kadang tersungging senyum sekilas tanpa mau bicara dan Cheng Yi Fei mengerti bahwa tembang dolanan bisa menjadi jembatan berkomunikasi dengan anak itu. Jadi dia berusaha menarik perhatian anak itu dengan tembang-tembang dolanan yang pernah didengarnya selama ini.

Namun untuk membuatnya bicara bukanlah perkara mudah, mungkin kemarahan fan kesedihan yang luar biasa itulah yang memicu anak itu untuk bicara.
Cheng Yin Fei tidak berputus asa dan tidak juga memaksa , yang penting baginya adalah menimbulkan rasa aman serta percaya anak itu.

~ ri uri..
ri uri njang anjang widodari..
kepleret tibo nyemplung kecemplung kembange opo...
cah angon...
cah angon penekno blimbing kuwi lunyu...
lunyu penekno kanggo sebo mengko sore...
mumpung jembar kalanganne...
mumpung padhang rembulanne...~

Tembang ini dinyanyikannya untuk menemani ketika mengantar anak itu tidur.

~ kelek....kelek...
biyung sira aning ngendi
enggal tulungana
awakku kecemplung warih
Gulagepan wus me pijah.....~

Dan tembang ini dinyanyikannya dengan sedikit susah payah dengan keterbatasannya menyelami bahasa jawa, untuk menenangkan ketika anak itu bermimpi buruk. Tembang ini bercerita tentang seekor anak ayan yang kehilangan induknya dan dia nyaris mati tenggelam karna tidak ada sang induk yang selalu datang menyelamatkannya.

Hanya dengan tembang-tembang itulah Cheng Yin Fei bisa melihat perkembangan anak itu kian hari kian semakin baik.
Akhirnya anak itu di panggilnya dengan nama Yi Lin, artinya singa api. Nama itu diberikannya mengingat betapa besar kemarahan dan kesedihan yang membakar jiwa dan hati anak itu.
Cheng Yi Lin , nama marganya sendiri menjadi tanda bahwa dia sangat menyayangi anak itu.

Dua belas purnama telah berlalu, Yi Lin mulai percaya kepada Cheng Yi Fei dan selalu menenaninya kemanapun dia pergi. Yi Lin amat tertarik ketika melihat Cheng Yin Fei berlatih silat dan mulai menirukannya.
Kemudian dengan telaten Yi Lin pun diajari dasar-dasar ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Yi Lin amat senang dan antusias dengan senyum mulai menghiasi bibirnya.

Namun hal itu belum bisa membuatnya bicara lagi dan segalanya dilakukan hanya dengan mendengarkan kalimat yang diucapkan gurunya.
Tak terasa lima tahun sudah berlalu dan itu berarti enam puluh purnama telah terlewati pula .
Tak ada kegusaran ataupun kekecewaan yang membersit , Cheng Yin Fei menjalaninya dengan kegembiraan bersama murid tunggalnya, Cheng Yi Lin.

Cheng Yi Lin sendiri kini berusia sebelas tahun dan mulai menapak masa remaja. Kecantikan wajahnya mulai bersinar dan tampak begitu menyilaukan dengan sinar mata setajam tatapan seekor harimau.
Kesehariannya habis untuk berlatih silat dengan gurunya dan menanam berbagai sayur untuk keperluan hidup mereka sehari-hari.

Cheng Yin Fei pun mulai memasuki usia senja dan terus menurunkan semua ilmu kesaktian yang dimilikinya. Terutama ilmu pernapasan dan tenaga dalam It Yang Cie , ilmu pedang Hoa san pai dimana dulunya dia adalah murid perguruan tersebut dan ilmu-ilmu silat yang dipelajarinya selama malang melintang di dunia persilatan serta ilmu selendang merah pencabut nyawa, hasil ciptaannya sendiri.

Namun Yi Lin tak suka dengan selendang dan akhirnya Cheng Yin Fei membuatkan sebuah tali yang terbuat dari tujuh belas urat harimau yang berhasil ditaklukkannya ketika berburu. Ketujuh belas urat harimau itu dipilinnya dengan beberapa ramuan kuno tiongkok yang selalu dibawanya dan diikat pula memakai sembilan lembar benang emas warisan gurunya dari gunung Hoa san. Benang emas itu mampu melawan pedang setajam apapun tanpa putus dan urat harimau yang telah direndam dengan ramuan kuno itu liat bagaikan seekor naga .

Cemeti Lengkingan Naga , begitulah Cheng Yin Fei memberi julukan bagi tali urat harimau berikat benang emas itu. Suaranya melengking tajam seperti jeritan seekor naga mengamuk dan tampak ada kredepan sinar keemasan ketika diayunkan.
Cheng Yin Fei sendiri telah menguji kehebatan cemeti itu, batu kali sebesar pondoknya itu terbelah dengan mudahnya. Juga sebuah pohon sepelukan orang putus dan tumbang seperti kayu lapuk.

Yi Lin amat senang dengan Cemeti Lengkingan Naga itu dan selalu digunakannya untuk berlatih ilmu selendang merah pencabut nyawa yang diajarkan gurunya tersebut. Selain itu Yi Lin bisa mengikat rambutnya yang panjang dan warna kemerahan cemeti itu amat sangat menarik hatinya.
Sang guru pun tak kalah bahagianya melihat bakat Yi Lin yang luar biasa dan mampu menyerap ilmunya dengan cepat.

Tak terasa enam puluh purnamapun terlewati tanpa terasa.

Cheng Yin Fei menemukan rambut panjangnya kini sebagian telah berubah menjadi putih.
Kerut diwajahnya makin banyak sekalipun lekuk tubuhnya tetap terjaga berkat latihan ilmu silatnya setiap hari.

Dia sendiri tak mengingat usianya, mungkin sudah memasuki kepala enam namun wajahnya masih membiaskan keanggunan akan sebuah kecantikan masa lalunya.

Sedangkan Cheng Yi Lin telah tumbuh menjadi seorang gadis yang teramat cantik namun masih terkungkung oleh trauma masa kecilnya. Namun hal itu tidak menjadi halangan untuk mengerti segala perkataan sang guru yang sudah dianggapnya sebagai ibu sendiri.

Siang itu Yi Lin sedang berlatih dengan gurunya didekat sebuah air terjun tak jauh dari pondok mereka. Keduanya saling menyerang dan bertahan dengan sama baiknya. Kemampuan Yi Lin telah menyamai kehebatan sang guru bahkan dalam hal tenaga dalam telah mengungguli Cheng Yin Fei yang berjuluk dewi selendang merah didaratan asalnya itu.

Cheng Yin Fei tersenyum puas, tak sia-sia usaha kerasnya sepuluh tahun belakangan.

~ bagus sekali , Yi Lin...bagus sekali anakku..~ pujinya sedikit terengah-engah dalam usia senja itu.
~ kemampuanmu telah menyamaiku..~ sang guru terus menyerang muridnya dengan ganas.

Selendang merah itu meliuk-liuk dengan lincah mematuk dari segala arah. Namun Yi Lin tak mau kalah, Cemeti Lengkingan Naga ditangannya menyambut serangan itu dengan ganas pula. Suara lengkingan cemeti itu kadang terdengar amat menyayat hati dan menyakitkan pendengaran.
Begitulah keduanya saling serang dengan sungguh-sungguh dan kadang mereka hanya tampak seperti bayangan yang saling melengkapi satu sama lain.

~ hikk...hikk..hikk...hikkk...~ sebuah tawa mengejutkan mereka dan seketika itu juga mereka bersiap menghadapi segala kemungkinan yang ada.

~ sebuah pertarungan ilmu selendang yang hebat....tenaga dalam yang kuat pula....~ suara itu kembali terdengar seperti gaung pada ruang tak berdinding.

~ perlihatkan dirimu , kisanak...tak perlu bersembunyi dalam pujianmu....~ jawab Cheng Yim Fei dingin untuk memancing kehadiran perempuan pemilik suara itu.
Yi Lin tampak waspada disamping gurunya dan tampak ada rasa was-was mengusiknya.

Gema suara tawa itu terus mengusik, membuat Cheng Yin Fei semakin waspada dan pandangannya lurus menuju arah datangnya tawa itu.

Tak perlu menunggu lama, sipemilik suara tawa itu tampak melangkah mendatangi mereka.

Cheng Yin Fei melihat seorang perempuan dengan delapan pengikutnya melangkah dengan tenang. Dia dapat merasakan desauan hawa panas ketika perempuan yang tampak tak lebih tua dari dirinya itu, menatapnya dari kejauhan. Para pengiringnya itu semua perempuan dan berusia rata-rata diatas Cheng Yi Lin, murid tunggal kesayangannya.

~ selamat datang kisanak, ada keperluan apakah gerangan dengan kedatangan kisanak ini ? ~ sambut Cheng Yin Fei tanpa banyak basa basi.

Perempuan itu tak langsung menjawab dan pandangannya menyapu keadaan sekitar dengan tajam.

~ maafkan, bila kedatangan kami ini mengusik ketenangan kisanak...~ jawabnya kemudian, ada nada bengis tersimpan disana.
~ aku yang tak berguna ini bernama Nyi Kikinauli Kumahaeta dan lebih sering dikenal sebagai Nyi Pandera Wirogeni dari riungan Gunung Kidul. Ini adalah delapan murid kesayanganku....~ katanya sambil memperkenalkan diri dan murid-muridnya.

~ murid pertama : Ni Prili Junetto alias si Bengal Kucing Mabuk...~ sambut seorang muridnya yang mengenakan kemben merah dan celana hitam selutut dengan sebuah kendi arak dipinggang kirinya serta sebuah clurit dipinggang yang lain. Rambutnya terikat tali rami warna warni. Wajahnya cantik-cantik judes.

~ murid kedua : Qi-munk Longoklemake alias si Bengal Kucing Gandrung..~ timpal muridnya yang lain dengan gaya cengengesan. Si Qi-munk ini memakai celana selutut warna hijau dengan kemben warna kuning berlurik merah. Sebuah keris berlekuk sembilan tampak menyolok terselip dipinggangnya. Rambutnya juga terikat dengan sehelai tali berwarna kuning dan wajah cantik walaupun agak gendut.

~ murid ketiga : Ni Utami Windagondolangit alias si Bengal Kucing Wedus...~ seorang perempuan berwajah bulat dan lucu dengan dua bilah golok terikat dibelakang punggungnya. Tubuhnya yang agak bongsor juga memakai kemben warna ungu dan celana hitam selutut. Rambutnya pendek dan tampak selalu mesem-mesem senyumnya.

~ murid keempat : Ni Lince Gegapgeminta alias si Bengal Kucing Hitam...~ seorang lagi menyambung, kemben dan celana selututnya hitam-hitam dengan selendang kuning terikat dipinggangnya dan sebuah cambuk tergelung dilehernya. Sinar matanya berkedip liar.

~ murid kelima : Ni Plur Bungopante alias si Bengal Kucing Wadas...~ seorang perempuan berambut lurus dan terikat dengan tali rami warna hijau. Kemben dan celana selutut yang dikenakannya juga berwarna hijau dengan lurik hitam. Sebuah pedang terselip dipinggangnya.

~ murid keenam : Ni Sari Ratna Gandulecapung alias si Bengal Kucing Ragil...~ seorang lagi memperkenalkan dirinya. Wajahnya tampak galak namun tertutup oleh senyum dan sinar matanya yang tajam. Mengenakan kemben biru lurik kuning dan celana merah selutut. Tangannya memegang gelang-gelang kecil kekuningan yang menyatu seperti rantai, sesekali rantai itu gemerincing.

~ murid ketujuh : Ni Gepaure Metikemangi alias si Bengal Kucing Kejora...~ timpal seorang muridnya yang paling tinggi diantara semuanya. Wajahnya kian cantik dengan kemben warna merah muda berlurik biru dan celana selutut warna jingga. Rambutnya terikat tali rami berwarna tanah dan sepasang badik menghiasi pinggang belakangnya.

~ murid kedelapan : Nike Meidirosokecut alias si Bengal Kucing Garong...~ jawab muridnya yang terakhir. Hidungnya terlalu mancung untuk wajahnya yang agak ramping itu. Kemben merah darah dengan lurik hijau dan celana selutut warna biru tua dengan dua buah trisula tampak menonjol dikedua sisi pinggangnya.

Cheng Yin Fei dan muridnya Cheng Yi Lin tampak memandangi kesembilan tamu tak diundang itu dengan seksama, sambil mengukur kemampuan mereka lewat senjata yang mereka bawa.

~ kalau boleh tahu, siapakah kisanak ini ? Tampaknya kisanak bukan berasal dari tanah jawa ini ...~ sambung Nyi Pandera Wirogeni dengan tatapan penuh selidik.

~ maafkan aku, kisanak...aku hanyalah seorang perantauan dari negeri seberang lautan. Namaku Cheng Yin Fei dan ini murid tunggalku Cheng Yi Lin, begitulah dia kupanggil karna dia tidak bisa bicara sejak sepuluh tahun yang lalu...~ jawab Cheng Yin Fei sambil sedikit membungkuk sebagai penghormatan.

~ rupanya pendekar hebat dari negeri seberang...~ Nyi Pandera Wirogeni mengangguk-angguk, ~ pernah kudengar selentingan bahwa punggawa utama dari Laksamana Cheng Ho, Wang Jing Hong menetap didaerah Simongan pantai utara karna sakitnya dan diikuti oleh seorang pendekar wanita yang hebat pula. Betulkah dugaanku bahwa kisanak adalah pendekar itu ?~ pandangnya penuh selidik.

Cheng Yin Fei tertawa kecil, dalam hatinya dia memuji ketajaman mata dan pengetahuan tamu tak diundang itu.
Sekali lagi dia membungkuk dan memberi soja.

~ berita itu terlalu dibesar-besarkan , aku hanyalah seorang pengawal biasa dan memenuhi kewajibanku...tak lebih dari itu, kisanak...~ jawabnya tetap merendah.

Nyi Pandera Wirogeni tertawa dan lengkingan tawa itu menderap penuh magis bagi siapapun yang mendengarnya.

Namun Cheng Yin Fei tetap tenang dan memgimbanginya dengan tertawa pula. Suara tawanya yang merdu seakan menelingkup daya magis tawa Nyi Pandera Wirogeni.

~ hmm...tak salah dugaanku dan benar juga kabar selentingan yang terdengar diseantero kerajaan majapahit belasan tahun silam...~ angguk Nyi Pandera Wirogeni sedikit tercengang dengan kehebatan perempuan asing yang telah meredam ilmu jagat harimau mengaum miliknya. Seketika dia waspada.

~ tak salah pula bila seorang punggawa utama patih kerajaan majapahit, Ki Grendeng Situmorangmaring terluka hebat dalam pertarungannya dengan kisanak...~ jelasnya kemudian, ~ aah, dasar lelaki hidung bengkok...tak bisa melihat perempuan ayu...~

~ apa hubungannya kisanak dengan Ki Grendeng Situmorangmaring ?~ tanya Cheng Yin Fei tetap tenang sekalipun sudah menangkap tujuan tamu-tamunya itu.

Nyi Pandera Wirogeni atau Nyi Kikinauli Kumahaeta tersenyum menatap perempuan cantik sebaya didepannya itu.

~ dia pernah menjadi suamiku dulu dan kegilaannya terhadap perempuan telah menjauhkan kami...~ tuturnya pelan, ~ tetapi entah mengapa, aku masih tetap sayang kepadanya...~

~ jadi, apa maksud kisanak ini ?~ kejar Cheng Yin Fei tak mau berlama-lama.

~ seharusnya kisanak tidak melukainya, seharusnya aku sendiri yang menghajarnya..~ bentak Nyi Pandera Wirogeni melengking.
~ kedatanganku kesini bukan untuk menuntut balas tetapi aku ingin menjajal ilmu pendekar hebat yang pernah menjadi buah bibir seantero kerajaan majapahit belasan tahun yang lalu....~ sambungnya gusar dan matanya nyalang sambil maju kedepan tiga langkah sedangkan kedelapan muridnya mundur teratur.

Kali ini Cheng Yin Fei balas tertawa.

~ tak kusangka hari ini aku berjumpa dengan kisanak...lama kudengar bahwa penguasa gunung kidul amatlah sakti dan bijaksana. Ilmu lima racun ular berbisa miliknya sangatlah mengerikan dan tiada obat penyembuhnya. Sangatlah tidak pantas kita bertarung hanya karna seorang Ki Grendeng Situmorangmaring yang doyan perempuan itu...~ ujar Cheng Yin Fei dingin sambil melangkah kesamping menjauhi Yi Lin muridnya.

Sejenak keheningan mencekam mereka, hanya tatapan-tatapan mata saling menyerang.

~ kisanak, pertarungan ini hanya sekedar jajal ilmu saja...~ ujar Nyi Pandera Wirogeni tak mau gegabah, ~ kita hanya akan bertarung dalam tiga jurus, apapun hasilnya aku akan pergi dan kuharap tidak ada dendam kesumat nantinya....~ sambung Nyi Pandera Wirogeni tak mau pula kehilangan muka.

Cheng Yin Fei menganggukkan kepalanya, cerdik orang ini, gumamnya dalam hati.

~ baiklah, tiga jurus tak lebih dan tanpa dendam apapun...~

Keduanya saling mencari posisi penuh kewaspadaan.

~ hhhyyyyaaaaaaaattttttt.......~ satu teriakan panjang terdengar memekikkan telinga mengikuti lesatan tubuh Nyi Pandera Wirogeni ke arah lawannya.
Tubuhnya melesat dan berputar dengan deras dengan tangan terukur menuju tenggorokan lawan.
Itulah jurus ke sembilan dari ilmu kucing garong wedus mencakar langit yang puluhan tahun disempurnakannya.

Tak mau gegabah, Cheng Yin Fei dengan cepat menggeser kakinya dan sebuah tebasan tangannya yang berisi sinkang/tenaga dalam menerpa cengkraman tangan Nyi Pandera Wirogeni. Tak hanya sampai disitu, sebuah tendangan kaki kirinya melesat kedepan menuju dada lawannya. Itulah salah satu jurus dari ilmu rahasia perguruan shaolin , It Yang Cie . Mengendarai awan menopang langit namanya.

Nyi Pandera Wirogeni terkesiap dan tak lagi punya kesempatan mengelak dari tendangan itu.
Dengan nekat dia menerima tendangan itu sambil mengerahkan segenap tenaga dalamnya menurut ilmu lima racun ular berbisa.

~ Blaaarrrrrr.......! ~ sebuah benturan keras terdengar ketika dua tenaga dalam yang berbeda aliran saling bertemu.

Nyi Pandera Wirogeni terpental kebelakang lima depa, sedangkan Cheng Yin Fei hanya terdorong dua langkah.
Nyi Pandera Wirogeni merasakan sesak yang luar biasa sampai darah segar mendesak keluar diantara bibirnya.

Cheng Yin Fei sendiri terkejut bukan kepalang, ternyata tenaga dalam lawannya mengandung hawa racun, membuat tangannya kesemutan. Segera disentakkannya tangan itu dengan sebuah gerakan dari jurus Im Yang Kun Hoat untuk menghilangkan hawa racun tersebut.

 hihihi..lanjutannya ntar lagi ya...






Tidak ada komentar:

Posting Komentar