Selasa, 03 Desember 2013

TIRAI HUJAN DIATAS SEHELAI DAUN PISANG







Erica menatap hujan yang menderai ditirisan jendela kaca kamar tidurnya dengan pandangan rindu. Entah mengapa setiap hujan turun, hatinya kadang gundah dan kadang begitu terlilit rasa rindu. Rindu ? Rindu dengan siapa ? Kadang hati kecilnya suka nakal mempertanyakannya. Tanpa sadar Erica cuma bisa tersenyum. Geli menggelitik hatinya. Dasar . Entah apa lagi.

Tiba-tiba pikirannya melayang jauh dan jauh, seakan menembus ruang waktu yang tak berbilah . Pikirannya memberontak seakan ingin menyingkirkan segala awan dan badai petir yang seringkali menghiasi langitnya kini . Benaknya menggoda dengan eloknya dan hal itu menyunggingkan sebuah senyum termanis yang pernah dimilikinya . Erica meraba wajahnya yang mendadak menjadi panas.

“ Ah...Alfons , engkau membuat hatiku memberontak lagi...” bisiknya sembari menorehkan jari jemarinya yang lentik itu menelusuri jendela kaca yang sedang dijadikan rintik hujan sebagai panggung untuk menari.

“ Dimanakah engkau sekarang ? Adakah engkau juga sedang menatap derai hujan yang sedang menari ? Aaiihhh...aku ingin menari bersamamu saat hujan turun sama seperti ketika kita melakukannya waktu itu . Kasihan, engkau habis kena omelan oma-ku yang memang bawel namun hatinya adalah yang terbaik. Yang terbaik dari apa yang kumiliki..” bisiknya lagi diantara sendunya Christina Perry melantunkan A Thousand Miles-nya. Erica menyilangkan kedua tangannya bagaikan orang yang sedang berpelukan dan kakinya melangkah bak berdansa dalam senyum diantara mata yang setengah tertutup .

Tanpa disadarinya sepasang mata menikmati langkah kaki Erica yang sedang berdansa sendirian itu . Mata itu milik Kimberly Mascalova, putri angkatnya yang berumur 4 tahun . Kim ,nama yang biasa dipanggil untuk sosok cantik dengan rambut hitamnya yang panjang dan curly itu. Kim diasuhnya sejak umur sepuluh bulan dimana Erica dulu tinggal bersama keluarga Mascalova yang berasal dari campuran bulgaria dan brazil itu. Dalam satu liburan ternyata kecelakaan menimpa kedua orang tua Kimberly dan menewaskan mereka . Sebagai satu-satu orang yang mengenal keluarga itu secara dekat maka Erica memutuskan untuk menjadi orang tua angkat Kimberly. Erica sendiri saat itu sedang kuliah dan nyambi bekerja di salah satu majalah yang ada dikota Seattle , dimana dia menuntut ilmu seperti cita-citanya semasa sma.

Erica merasa sangat terbantu oleh dosen-dosennya dimana mereka membantunya untuk mendapatkan hak asuh dari Kimberly . Setelah melewati masa tiga tahun yang penuh perjuangan , akhirnya Erica memperoleh Green-card sebagai US-Citizen dan memperoleh juga hak asuhnya terhadap Kimberly Mascalova yang memang sangat dekat dengannya. Namun dibalik itu semua , kadang Erica juga rindu dengan gemerlapnya masa muda dimana sewaktu berangkat ke Amerika, dia baru berusia 19 tahun dan setelah 5 tahun tinggal serta memperoleh apa yang diidam-idamkannya dulu, yaitu green-card . Ternyata dia juga harus mengasuh Kimberly yang baru berumur 4 tahun . Tetapi Erica tidak mau terbebani. Kimberly merupakan bintang yang selalu menyala dan berkelip untuknya.

Kuliah dan gelar sudah beres . Kini Erica adalah seorang single mother yang bekerja sebagai seorang editor majalah dari Seattle Gazette , anak perusahaan Seattle Metropolitan Magazine , yang bergerak dalam dunia pendidikan anak dalam kehidupan single mother. Like her and Kimberly , of course .

Ruangan itu kembali sunyi. Hanya ada derap air hujan yang masih setia berdendang ria diatas atap . Hujan adalah hal yang cukup jarang terjadi di Seattle dan itu juga menjadi salah satu sebab , Erica sangat merindukan hujan dengan rindu yang melayang didalamnya.

Erica membuka matanya dan menemui sebuah senyum yang sangat dikasihinya. Senyum Kimberly Mascalova yang baru saja terbangun dari tidur siangnya.

“ Hi..honey...” sapa Erica sambil menghampiri si cantik curly itu.

“ Hi..mommy...” peluk Kim dengan rasa gembira. Mencium Erica dan menatapnya, “ Are dancing with whom mommy..?” tanya Kim polos.

Erica tertawa kecil. Menciumi Kimberly seakan esok takkan datang lagi. Kim selalu membuatnya tertawa dan melepaskan segala penatnya jauh-jauh.

“ Mommy dancing alone , honey...because I love you so much..”

“ I love you mommy..” Kim kembali memeluk Erica erat-erat seakan tak ingin melepaskan kekuatan jiwanya itu.

Erica kemudian membawa Kim kedalam pelukannya dan mengajaknya untuk mengenal beberapa gambar dalam buku yang sangat disukai gadis kecil itu. Kim sangatlah pandai dan dalam usianya yang baru 4 tahun itu, dia sudah bisa membaca dan menulis beberapa kata dalam bahasa Indonesia. Kim sangat senang mengenal kata-kata dalam bahasa Indonesia dan selalu bertanya tentang apa itu Indonesia , dimana letaknya dan apa serta bagaimana pantainya. Kim amatlah suka dengan pantai . Kim senang bermain pasir . Diam-diam dalam bahagianya bersama Kim kecil yang semeringah , Erica merasakan denyut perih yang melintas dalam hatinya. 

Kadang Erica suka terbayang dengan masa-masa dipenghujung sekolah menengah yang banyak memercikkan cerita-cerita yang seringkali menggodanya untuk terbang kembali ke masa itu. Saat-saat weekend nyaris menjadi hari tifosinya untuk menggelitik masa lalu yang menyenangkan sekaligus rasa pahit yang ditimbulkannya. Dan kala aroma hujan menyergapnya kedalam pilu yang menggigit namun tetaplah menjadi kerinduannya. Hanya saja Seattle agak jarang hujan dan terkadang Erica membenci hal itu. Ingin rasanya pindah ke suatu negara dimana hujan selalu datang . Mungkin akan pindah ke Belize, candanya suatu hari kepada teman-teman kerjanya.

Erica membayangkan laut biru yang jernih dan hamparan pasir putih dengan sebuah pondok diatas sebuah tebing yang menjorok ke laut. Kalau aku putus asa , tinggal terjun saja ke laut, candanya sembari tertawa. Mungkin aku akan memanjakan kaki telanjang ini dan bikini yang terbalut kemeja gombrang putih kesukaanmu itu, sambil menelusuri rasa dingin air jernih yang mengelus-elus pasir putih dipantai ini. Aku hanya berharap , suatu hari akan menemukan engkau kembali dalam satu tirai hujan yang kita nikmati bersama . Angan Erica terkadang melampaui batas imaginasinya sendiri. 

Ketegarannya seakan runtuh ketika hujan datang dan ada rasa yang menggila menggelitiknya untuk menyesap setiap tetes hujan yang memercik . Entah dari mana datangnya kecintaan Erica akan hujan. Bahkan sang oma harus mengancam Erica dengan sebatang rotan bila nekad juga keluar kalau hujan tiba-tiba turun mengguyur bumi. Namun sang oma yang bule Belanda itu takkan mampu mengejar langkah lincah Erica yang menerobos hujan dipekarangan belakang rumah mereka. Bahkan pernah satu kali Erica berlari seakan berpacu dengan angin ketika hujan deras itu menerpa . Tanpa disadarinya langkah itu telah membawanya jauh dari rumah dan menggigil kedinginan dalam keadaan basah kuyup. Tidak ada tempat berteduh kecuali meringkuk dibawah pohon-pohon kecil yang tak kuat menahan beban air hujan. 

Namun ada yang tak pernah diduga oleh Erica pada saat itu. Masa kecilnya kala sekolah menengah pertama itu sangat jarang memiliki teman apalagi yang disebut sahabat. Erica memang cenderung menjadi seorang remaja yang introvert dan bahagia dengan kegembiraannya sendiri. Tiba-tiba saja derasnya hujan seperti menghilang menerpa tubuhnya yang menggigil. Erica mendongak. Erica melihat seorang remaja seumuran dirinya sedang menudunginya dengan sehelai daun pisang yang besar. Wajah itu seperti dikenalnya tapi entah dimana, Erica tidak mau lelah memikirkannya. Erica seketika berdiri dan menatap tajam.

“ Siapa kamu ?” tanyanya nyaris terdengar seperti orang menggumam.

“ Aku ? Aku adalah Alfons. Aku adalah putra altar di gereja bawah bukit sana. Kau mau ikut berteduh disana ?” jawab remaja yang bernama Alfons itu dengan suara jernih, “ Kita satu sekolah tapi kau tak pernah mau berteman seperti layaknya yang lain..” lanjutnya lagi.

Hahh. Erica baru ingat sekarang. Iya, betul..aku satu sekolah dengan si Alfons ini. Aku juga tahu kalau ibunya Alfons itu seorang chinese dan bapaknya seorang flores yang berasal dari Lembata. Wajah Alfons tampak seperti orang chinese mengikuti gen ibunya namun dengan gaung yang garang dari mata bapaknya yang orang Lembata itu. Rambutnya ikal . Pendek . Ruwet . ERica nyaris tertawa bila mengingat hal itu.

“ Siapa bilang ? “ sergah Erica dengan mulut mengatup. Cemberut. 

“ Aku yang bilang barusan kan ?” tantang Alfons tersenyum. Cuek.

“ Ahh...itu alasanmu saja. Aku punya banyak teman koq..” bantah Erica lagi. 

“ Coba kau sebutkan satu saja yang kau kenal dekat..” tantang Alfons tak mau kalah. Alfons ingat kalau Erica selalu berpindah jalur ketika mengantri komuni bilamana melihatnya mendampingi pastor. Entah apa sebabnya. Alfons tidak tahu , padahal dia senang menikmati wajah Erica ketika menerima hosti sebagai tanda penyerahan diri kepada Tuhan dalam misa minggu di gereja.

Erica terdiam. Siapa ya ? Ah, bodo amatlah. Aku kedinginan , tau..! Bahtinnya menggerutu dan membayangkan sang oma akan kelabakan menggosok badannya dengan minyak kayu putih sambil ngomel panjang pendek dengan bahasa belanda. Satu hal yang amat dibencinya. Sepanjang malam hidungnya akan mencium bau minyak kayu putih dan membuat ketiaknya kemerahan.

Namun Erica menikmati rasa hujan yang selalu melegakan napasnya itu. Pada mulaya dia merasa begitu sebal dengan Alfons tetapi yang punya nama tetap cuek dan memayunginya dengan daun pisang itu. Bahkan Alfons memberikan jaket yang dipakainya untuk Erica agar tidak menggigil kedinginan. Mulanya Erica agak enggan namun ketika teringat dengan sang oma , maka diapun menerima jaket itu dan memakainya. Ada rasa hangat mengguyur tubuhnya dan rasanya begitu menyenangkan.

“ Hayu sekarang kita jalan ke gereja sana dan berteduh. Disana kita bisa mengeringkan badan dan berdiang didekat api unggun. Nanti kubuatkan..” ajak Alfons tanpa canggung menggamit tangan Erica yang manut saja mengikutinya.

“ Mungkin didapur pastoran ada makanan hangat kalau bibi Kasnem tidak pulang hari ini..” lanjut Alfons sambil menjajari langkah Erica yang mendekap tangannya dan tampak bibirnya mulai berona kebiruan saking dinginnya.

“ Emang boleh apa ?” tanya Erica gemetaran dan itu nyaris membuat Alfons terbahak. Dasar cucu oma belanda, gumamnya dalam hati dengan geli.

“ Boleh saja. Aku kan putra altar disana. Aku dan teman-teman suka dijamu sama bibi Kasnem. Dia orangnya baik dan ramah. Kamu pasti suka kepadanya “ angguk Alfons kemudian.

“ Jangan terlalu yakin..” sergah Erica sedikit jengah karna beberapa kali lengannya bersentuhan dengan lengan Alfons. Daun pisang tidak ada yang selebar rumah ya ? Gerutunya sesekali. Kesal. Hatinya berdenyut. Aduuh !

“ Ah, kamu kayaknya gak mudah percaya ya. Gak apa-apa , itu baik tapi ada juga lho jeleknya..” ledek Alfons mulai merasa nyaman dengan kekakuan Erica.

“ Ah, jangan sok tahu . Umurmu sama denganku, kan ?” bantah Erica agak terpojok dengan kebenaran ucapan teman barunya itu. Hatinya kembali berdenyut. Aduh !

“ Memangnya kenapa ? Apa gak boleh kalau pikiran kita berkembang biak dengan baik dalam menyerap ilmu ?” Alfons jadi ikut membantah dan meranggas dengan gayanya yang sangat yakin itu.

“ Gayamu luar biasa. Memang kamu sudah kuliah ? Sekolah saja sama denganku, kelas 2 SMP . Masih jauh tuh bangku kuliahnya..” semprot Erica sedikit gerah dan disambut oleh gelak Alfons yang memecah hujan. Erica melotot.

“ Kenapa tertawa ? Ada yang lucu ?” suara Erica kian gemas.

“ Sekolah kita memang sama. Itu benar adanya. Tapi itu tidak menghalangi kita untuk belajar dan memahami ilmu diluar sekolah bukan ? Makanya jangan biarkan otak kananmu menganggur. Kalau kebanyakan pakai otak kiri , bisa kepanasan dan akibatnya bisa hang..” lanjut Alfons semakin senang dengan godaannya yang membuat Erica kesal . Senyummu itu membuatku nyaris pingsan, keluh Alfons diantara hujan yang membuat becek jalanan tanah berbatu itu .

Erica terdiam. Erica kesal. Erica ingin mendorong Alfons biar jatuh kesawah. Tetapi bahtinnya menolak. Baru kali ini ada yang berani berucap seperti itu kepadanya. Selama ini dia dikenal sebagai bintang kelas dalam hal kepintaran namun ternyata itu tidak berlaku bagi Alfons. Erica tidak mau bicara lagi. Mogok , kata hatinya lalu berdenyut lagi dan membuatnya meringis. Aduuh !

“ Koq diam ? Biasanya disekolah kamu selalu mendebat siapapun yang tidak sepaham denganmu..” usik Alfons lagi,” Aku minta maaf kalau itu mengusikmu. Aku hanya bicara apa adanya. Aku sering belajar melalui internet. Numpang dipastoran, lumayan jadi tidak usah beli barang mahal. Modalnya cuma jalan kaki saja. Kadang aku mengingap disana dan membantu pastor , lumayan dapat uang saku untuk bayar sekolah..” lanjutnya bercerita tanpa diminta.

Erica masih mogok untuk bicara. Tetapi kupingnya menyimak dengan cermat setiap ucapan Alfons walaupun suara hujan kian menggila. Untunglah jaket Alfons itu memiliki topi jadi dapat sedikit menutupi wajahnya yang bersemu kala bersentuhan dengan Alfons. Rasa jengah kerap menyergap Erica yang baru pertama kalinya berjalan berdua dengan seorang cowok . Apalagi dengan Alfons teman satu sekolah yang tidak pernah disapanya. Erica merasa jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Ngeri membayangkan berita ini menjadi issue disekolah dan dia nyaris pingsan membayangkan betapa anak-anak yang lain membicarakan mereka . Erica ngeri dengan vonisnya, mereka pacaran ! 

Alfons terus bicara. Erica tidak tahu lagi apa yang disimaknya tentang cerita Alfons itu. Hatinya terus berdenyut. Jantungnya berdetak tidak keruan. Mudah-mudahan tidak ada yang melihat mereka berdua jalan ditengah hujan seperti itu. Erica berharap hari sabtu itu berlangsung seribu tahun lamanya sehingga tidak harus menghadapi hai senin dan menatap senyum-senyum yang lahir dari wajah teman-temannya satu sekolah. Akhirnya perjalanan menembus hujan itu berakhir juga dihalaman belakang gereja yang berbentuk joglo itu. Ada rasa lega tetapi disusul oleh rasa tak rela karna daun pisang itu telah menjadi penghuni temat sampah. Erica melihat Alfons yang basah kuyup sibuk menyiapkan kayu-kayu kering yang banyak terdapat didekat gudang. Erica tak mau lagi dicap sombong lalu membantu Alfons yang kemudian pergi mengambil minyak dan korek api didapur bibi Kasnem.

Tak lama merekapun berdiang didekat api unggun itu sambil berdiam diri. Bibi Kasnem memberikan selembar handuk untuknya dan Alfons sambil geleng-geleng kala melihat kenekatan mereka berdua. Bibi Kasnem juga menyediakan teh hangat dan masing-masing semangkok kolak ubi merah yang manis. Alfons terkadang mencuri pandang kepada Erica yang pura-pura tidak mengacuhkannya. 

“ Bagaimana kolaknya ? Enak ? Bibi Kasnem selalu membuat ini kalau setiap sabtu siang. Kemarin pulang sekolah aku membantunya memanen ubi merah dikebun belakang sana..” ucap Alfons sedikit rikuh dengan sikapnya sendiri.

Erica hanya mengangguk. Teh hangat dan kolak itu membuat tubuhnya makin hangat sekalipun bajunya basah kuyup. Untunglah handuk pemberian bibi Kasnem itu dapat sedikit menutupi bukitnya yang mulai ranum itu. Erica agak rikuh dengan persoalan yang satu ini apalagi dalam keadan kuyup. Sama sekali tidak terpikirkan dalam benaknya bagaimana nanti sang oma akan mengomelinya habis-habisan.

“ Kamu kenapa tidak bicara ? Terlalu dinginkah..?” tanya Alfons sedikit khawatir, “ Ini pakailah handukku supaya kamu tidak terlalu dingin..” katanya sembari melingkarkan handuk miliknya menutupi pundak Erica yang berusaha mencegahnya namun Alfons tetap tidak peduli.

“ Untuk kamu saja..” cegahnya merasa egois.

“ Gak apa-apa, aku sudah terbiasa disini. Jadi tidak dingin lagi..” tawa Alfons senang melihat betapa Erica juga mengkhawatirkan dirinya. Duuh, rindu !

“ Terima kasih, Alfons. Kamu sungguh baik. Maaf, mungkin aku selama ini tampak menyebalkan bagimu..” angguk Erica sambil menyodorkan tangannya bersalaman dan Alfons menerimaya dengan hati senang. Erica sedikit menggigil dengan genggaman tangan Alfons yang begitu kuat dan mantap Hatinya mendengking dengan denyut yang lebih memperosokkan dirinya seperti jatuh kedalam jurang yang dalam. Erica seperti terayun keatas awan.

“ Hahahaha...aku juga minta maaf sekali lagi kalau aku terlalu banyak bicara. Padahal inilah pertama kalinya kita bicara biarpun satu sekolah sejak kelas 1 SD...” gelak Alfons dengan suara beningnya.

Kali ini Erica ikut pula tertawa. Sepertinya berhujan-hujan dengan Alfons yang sedikit cerewet itu telah membuyarkan kekakuannya. Mereka terus bicara sampai akhirnya sang oma datang menjemputnya setelah mendapat telepon dari pastor. Rupanya kehadiran kedua remaja itu tak lepas dari pandangan passtor gereja dan melihat hujan yang juga tidak reda, maka dia menelepon sang oma yang dikenalnya. Rupanya sang pastor yang bernama Lambregs itu adalah teman sekampung sang oma dari belanda sana. Mungkin itulah sebabnya sang oma tidak sekalipun memarahinya, bahkan membawa baju ganti untuk cucu kesayangannya itu. Entah apa yang dibicarkan sang pastor dengan sang oma, namun Erica merasa sangat berterima kasih karna lolos dari omelan.

Kadangkala Erica suka tersenyum geli ketika masa-masa indah atau menyebalkan itu mengintip dikala lamunannya mengular . Persahabatannya dengan Alfons telah mengubah jalan pikiran Erica dan membuatnya menjadi seorang Erica yang baru dan tidak lagi acuh terhadap lingkungannya. Namun tidak pernah terjadi dan tidak akan mengurangi kesenangannya akan hujan. Hujan adalah rindu dan cntanya yang pertama. Lalu rindu dan cintanya yang kedua ? Erica memendam rasa itu rapat-rapat didalam dinding hatinya. Ada senyum yang ngilu ! Erica dan Alfons kemudian berpisah disaat memasuki sekolah menengah atas lantaran orang tuanya yang tinggal di belanda mendesaknya untuk pindah dan mandiri di kota dalam meneruskan sekolah. Hanya sesekali Erica kembali kekampung bila ada waktu libur sekolah untuk mengunjungi sang oma. Juga menemui Alfons yang bersekolah dikota lain dalam janji temu mereka. Begitu banyak cerita yang mereka umbar ketika bertemu sekalipun sering berhubungan melalui surel. Tak ada yang bisa mengalahkan kegembiraan mereka tiap kali bertemu, sampai-sampai Erica sama sekali tidak tahu jelas dengan sekolah yang diambil oleh Alfons.

Erica baru saja menyelesaikan sekolah menengahnya. Tekadnya akan melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri. Begitulah issuenya ketika derai tawa mengiringi keberhasilannya menyabet peringkat satu disekolahnya itu. Ya , itulah kebanyakan mimpi yang berserakan kala masih mengenakan seragam putih abu. Persoalan klasik yang timbul adalah kepintaran otak tidak dibarengi dengan kekuatan finansial dalam melangkah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tetapi tidak dengan Erica. Langkah itu telah dipersiapkan nya jauh-jauh hari ketika baru menginjak bangku smp. 

Erica seorang gadis cantik ( dan memang cantik ) selalu dilekatkan dengan mitos keberuntungan. Namun tidak ada yang tahu sejelasnya mengenai kehidupan Erica yang merupakan anak kost ketika mengejar sekolah menengahnya. Erica sendiri terlalu tangguh untuk gadis seusianya dengan membeberkan cerita kehidupan yang sesungguhnya kepada orang lain. Erica bisa tertawa dan bercanda ketika hatinya sedang gundah. Namun Erica adalah Erica . Segala cerita dan tawa dalam persahabatannya dengan Alfons diturunkannya menjadi sebuah cerita bersambung dalam salah satu koran dan majalah remaja. Dengan berbekal kepintarannya merangkai kata dan kalimat, Erica dapat menunjang sekolahnya disamping rajinnya dia menjual pernak-pernik remaja dari tali-tali kecil yang dipelajarinya dari Alfons.

Banyak hal yang dipelajarinya dari Alfons yang sangat membekas dan mengubah hidup Erica. Sekalipun cita-citanya kandas untuk kuliah diperguruan tinggi negeri incarannya namun Erica tidak kecewa karna dia mendapat hadiah yang tak terhingga. Sebuah beasiswa dari Washington College ! Itu adalah hal yang paling membanggakan dan Alfons juga yang rajin memberinya link untuk sekedar diikuti. Ternyata dari sekian banyak link yang disediakan oleh Alfons, ada yang memberinya beasiswa pahal dia sendiri nyaris lupa dengan apa yang dilakukannya pada website Washington College tersebut.

Namun Erica tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya ketika tidak bisa menemui Alfons ketika hendak berangkat ke Amerika. Tidak ada surel. Tidak ada jawaban untuk janji temu. Tidak ada hujan juga dikampung mereka. Hanya ada sebuah rosario berbentuk gelang yang terbuat dari biji besi bulat berwarna merah tua dengan salib yang terbuat dari koin uang seribu perak yang ada kuningan bulat ditengahnya. Koin itu ditengahnya diberi lubang-lubang kecil yang membentuk salib. Hanya itu saja yang ditemuinya. Itu adalah titipan Alfons , kata sang oma . Sebuah hadiah keberangkatan dan beasiswa dari Alfons namun tanpa ada pesan atau sebaris kalimat candaan. Hanya ada keterangan dari bibi Kasnem kalau Alfons tidak bisa meninggalkan sekolahnya.

Erica berusaha memakluminya. Masih ada surel, yakinnya. Namun yang paling parah adalah Erica tidak mengetahui persis sekolah apa yang diambil oleh Alfons dan dia juga tidak tahu nama lengkap Alfons. Astaga, bodoh sekali kamu Erica, keluhnya kemudian dan bertahun-tahun setelahnya.

Erica pergi membawa segala kenangan itu dan berharap hujan akan setia datang mengunjunginya dimanapun dia berada. Hujan masih setia mengetuk jendela kaca apartment yag ditinggali Erica selama hidup dan tinggal di kota Seattle untuk mengejar impiannya. Kehadiran si curly Kim sedikit mengobati rasa sesalnya karna jarang sekali surelnya terbalaskan oleh Alfons. Itupun hanya cerita- cerita tentang kesibukannya kuliah dan begitu banyak pertanyaan Alfons yang menderanya untuk menjawab. Sehingga nyaris tak ada kesempatan untuk bertanya bagaimana dan apa yang dikerjakan oleh sahabatnya itu. Erica juga tak berani mengusik Alfons dengan perasaannya yang terkunci rapat itu. Ingin rasanya Erica berteriak dan kepada lelaki itu bahwa dia mencintainya sejak berhujan- hujan dengan sehelai daun pisang itu. Namun entah mengapa mulutnya serasa terkunci dan membiarkan rahasia hatinya itu tergeletak sendirian disudut jiwa miliknya.

“ Mommy...are okay ?” tiba-tiba suara si curly Kim menyadarkan Erica dari dunia lamunannya. Erica menatap Kim yang memandangnya penuh tanya. Erica cepat-cepat mengusir segala lamunan itu dan tersenyum.

“ Mommy okay, honey...” kecupnya lembut dan senyum Kim mengembang penuh rasa bahagia, “ Next week we’ll see your grandma, honey. Do you like it ?” tanya Erica mengingatkan rencana mereka untuk kembali mengunjungi sang oma di kampung kelahirannya.

“ Yes , I like it mommy. I want to see everything you told me..” angguk Kim dengan mimik semeringah,” A..pa ka..bar ?” ucapnya dalam bahasa Indonesia dengan logatnya yang lucu dan menggemaskan .

“ Kabar baik..” jawab Erica tergelak dengan Kim yang mulai mengenal beberapa kata dalam bahasa Indonesia yang diajarkannya. 

Erica dengan sabarnya mengajari gadis kecil itu untuk lebih mengenal bahasa Indonesia walaupun lidahnya berusaha keras menyamai logat Erica. Hujan dan hujan tak mau berhenti sedangkan udara diluar begitu dingin karna musim gugur akan segera berakhir. Berkali-kali surel yang dikirimkannya kepada Alfons tidak mendapat balasan. Erica sedikit khawatir. Kepulangannya adalah untuk melampiaskan keberaniannya dalam mengungkapkan isi hatinya. Apapun yang terjadi Erica harus mengatakannya kepada Alfons.

Seminggu kemudian Erica dan Kimberly telah berada dipesawat KLM yang menuju ke Jakarta . Udara dingin diawal desember yang mulai bersalju membuatnya lega ketika pesawat mengudara menuju tempat kelahirannya. Kimberly sangat aktif sehingga mengurangi kesempatannya untuk melamun. Gadis kecil itu seperti tak merasa puas bertanya dan bertanya tentang bahasa ibunya supaya nanti bisa menyapa sang grandma , katanya.

Penerbangan dari kota Washington DC menuju Jakarta sangatlah panjang karna harus transit terlebih dahulu di Hongkong , Tokyo dan Singapura . Penerbangan yang mencapai 30 jam lebih itu tak membuat Erica kendur. Gairahnya melonjak setiap kali transit karna mimpinya akan bertemu kembali dengan laki-laki yang telah mengubah hidupnya sejak SMP. Aku rindu hujan. Aku rindu kamu, Alfons..jerit hatinya menikam deras dan menghunjam dalam-dalam. Hampir setiap transit , Erica melihat gemerlapnya bandara dengan hiasan natal dan itu membuat hatinya semakin rindu. Entah bagaimana dengan hiasan natal di gereja bawah bukit itu. Aku tak peduli dengan hiasannya, aku ingin menghirup udara dalam hujan disana bersama rindu yang telah menyiksaku nyaris enam tahun ini , keluhnya dengan gerah.

Dalam surelnya, Erica teringat Alfons pernah mengatakan tentang sebuah misa natal yang diharapkannya terjadi di gereja bawah bukit itu suatu hari nanti bersamanya.

“ Dear Erica..

Masih ingat dengan suasana natal sederhana nan syahdu di gereja bawah bukit itu ? Aku yakin kamu ingat. Aku selalu bermimpi kita akan bertemu lagi disana suatu hari nanti. Aku ingin menikmati kolak ubi merah bibi Kasnem sambil berdiang didepan api unggun bersama kamu. Ah, tapi kamu jangan bawa kekasih atau suami , ya...itu hanya akan menyiksa api unggun itu dan membuat hambar rasa kolak bibi Kasnem yang enak hahahaha....

Dear Erica..

Bagaimana dengan kehidupanmu di Seatte ? Wah, tentu menyenangkan kuliah dan tinggal di kota yang pernah dibuat filmnya itu. Ingat Sleepless in Seattle ? Ah, sungguh beruntung itu duda karna dipertemukan dengan seorang penyiar radio yang cantik. Kayaknya kamu lebih cantik dari penyiar itu..hahaha..

Dear Erica...

Pernah juga aku berangan pergi ke Seattle untuk menemuimu. Disana kita bisa menikmati cangkir demi cangkir kopi dari seluruh cafe yang kamu bilang banyak bertebaran disebuah jalan. Tentu akan sangat menyenangkan dan mungkin akan membuat kita tidak bisa tidur selama seminggu karna kaffeinnya...

Dear Erica...

Ingat kita pernah menangkap kepiting sawah ? Ternyata kamu doyan makan kepiting sawah juga hahaha...Aku jadi ingin menikmati rajungan yang besar dan kata kamu banyak yang jual di fresh market di kota Seattle. Wah, bisa-bisa aku bangkrut dan kamu cemberut karna mesti membayar tiketku untuk pulang. Aku juga ingin merasakan nikmatnya fresh oyster ( seorang teman pernah bercerita kepadaku tentang fresh oyster ) yang dicampur dengan lemon dan menyeruputnya langsung dari cangkangnya. Kira-kira nanti bagaimana ya reaksi perut kampung kayak aku ini ? Ah, kamu jangan tertawakan kekampunganku Erica..., awas nanti aku tidak mau menemani kamu hujan-hujanan lagi..

Dear Erica...

Hidup ini penuh misteri ya. Ternyata kamu selalu menjadi sumber kekuatanku untuk terus melangkah. Aku terus berdoa dan berharap kamu menjadi apa yang kamu impikan selama masa kecil. Aku tahu kamu akan terus menyimpan dan berdoa Rosario melalui gelang yang kutitipkan dulu itu. Maafkan aku, Erica..waktu itu keadaan tidak memungkin untuk menemui kamu seperti yang sudah-sudah. Suatu hari nanti kalau kita bertemu, aku akan menceritakan semuanya. Mungkin akan kamu jadikan sebuah novel ya ? Ah, kamu memang seorang gadis yang hebat dan aku begitu bangga menyimpan dirimu agar selalu menyemangatiku dalam melangkah. Maafkan juga karna aku belakangan sangat sibuk, jadi tidak bisa selalu membalas surel yang kamu kirimkan...

Dear Erica...

Setiap kali hujan , aku selalu teringat dengan kenekatan kamu waktu itu. Entah mengapa aku begitu merindukan hujan dan rasanya ingin berlari sambil berpayung dengan sehelai daun pisang . Napasku sesak setiap kali hujan deras. Bagiku daun pisang itu bagaikan gairah hidup untuk selalu melindungi dan menjaga apa yang menjadi berkat hidup kita. Entahlah, apakah di Seattle ada pohon pisang, lalu kamu ambil daunnya ketika hujan mengguyur Seattle ? Mungkin akan ada tetangga yang menelpon 911 karna mengira ada orang gila menari-nari ditengah hujan sambil berpayungkan sehelai daun pisang. Hahahaha...maafkan aku , ya. Aku kira kamu tidak akan senekat itu sendirian...

Dear Erica...

Kabarkan kalau suatu hari nanti kamu akan kembali mengunjungi gereja kecil dibawah bukit itu. Mungkin Desember 2013 nanti aku akan kembali kesana untuk merayakan natal yang paling meriah disana. Kalau saja kamu ada kesempatan, pulanglah. Syaratnya tetap sama, jangan bawa kekasih atau suami. Aku masih ingin merasakan manisnya kolak ubi merah buatan bibi Kasnem. Kalau kamu tetap bawa kekasih atau suami , lebih baik ikat atau borgollah dia dihotel dan kamu sendirian kesini. Hujan pasti akan turun karna memang desember adalah musim hujan yang paling meriah. Akan kusediakan sehelai daun pisang yang paling lebar yang pernah tumbuh disini. Kita akan berhujan-hujanan sampai masuk angin dan napas tersengal karna pilek. Jangan khawatir , api unggunnya akan siap untuk kita berdiang sambil menggigil. Biarkan bibi Kasnem mencerca kita dengan omelannya. Dia sayang sama kamu. Dia juga sayang aku..

Dear Erica...

Ini adalah surel yang terpanjang dan menyentuh beberapa pokok yang mengusik pikiranku belakangan ini. Aku selalu berdoa dan berharap surel ini tidak pernah mengusik kelangsungan hidup kamu. Aku percaya karna kamu adalah sosok yang paling teguh dengan keyakinanmu sendiri. Aku pernah bermimpi kalau kamu adalah seorang malaikat yang diturunkan kedunia untuk menjadi pemicu semangat bagiku . Aku sungguh menghargai dan meletakkan kamu serta keyakinanmu itu diatas sebuah gerbang yang setiap saat kulewati untuk mengingatkanku akan sebuah harapan. Jangan pernah menyerah atas apapun, Erica karna aku juga tak pernah meletakkan kata ‘ menyerah ‘ dalam hidupku . Lif is so beautiful and so colorful . It’s a wonderful tonight, kata Eric Clapton. Kita pernah nyanyi itu sehingga membuat pastor tidak bisa tidur, bukan ? Aah, betapa aku sangat merindukan hari hujan di gereja kecil bawah bukit itu.

Dear Erica...

Baiklah , surel ini terlalu panjang dan mungkin akan membunuhku suatu hari nanti. Lain kali akan kukirimkan surel lagi . Dunia masih akan indah, Erica walau apapun yang akan terjadi nanti. Salam rindu dan sehelai daun pisang Erica , dari Alfons yang kamu lupa menanyakan nama belakangku ( aku tidak akan memberitahukannya disini..nanti saja, ya..)”

Erica tersenyum. Hatinya berdenyut lagi. Astaga, kenapa aku menyimpan rindu ini begitu lama ?, keluhnya dalam hati. Setitik air mata mengalir ketika membaca kembali surel Alfons dengan laptop yang dibawanya. Sedangkan Kimberly telah jauh lelap dalam letihnya dengan penerbangan panjang itu. Untunglah dia bisa menikmati kursi business class itu dengan leluasa sehingga tidurnya tidak terganggu . Erica bersyukur dengan keberhasilannya sehingga membeli tiket business class tidaklah menjadi masalah baginya. Erica menikmati kesendiriannya dipesawat yang sudah melewati transit terakhir yaitu bandara Changi Singapura. Itu berarti kurang lebih dua jam lagi dia akan tiba di Jakarta yang sudah cukup lama ditinggalkannya.

Erica menarik napas. Segala sesuatu telah dipersiapkannya agar kedatangannya tidak membuat sang oma yang sudah tua itu menjadi sibuk. Erica telah memesan kamar di Sheraton Hotel untuk semalam sebelum kembali ke kampungnya. Untunglah ada seorang temannya semasa sekolah dulu bersedia menyediakan mobil yang akan membawanya kembali kekampung menemui sang oma belanda yang sangat disayanginya itu. Erica membuka kembali surel-surel balasannya terhadap Alfons , seperti ingin mengingatkan kembali apa yang selama ini dipendam hatinya.

“ Dear Alfons..

Aah, kamu menyiksa hatiku dengan mengingatkan gereja kecil di bawah bukit itu. Tentu saja aku sangat merindukannya. Bagaimana kabar bibi Kasnem ? Aku rindu dengan kolak ubi merahnya yang manis itu. Aku juga rindu dengan hujan disana dan api unggun yang kamu buat itu. Rambutku bau kayu bakar berhari-hari dan kadang aku merasa seperti tinggal dijaman batu hahaha...Tenang saja, Alfons..takkan kubiarkan yang namanya kekasih atau suami mengusik kenangan kita disana. Sayangnya selama ini aku belum punya kekasih , apalagi suami. Mungkin mereka takut ketika kuceritakan tentang dirimu, Alfons. Mereka kira kamu adalah seorang dengan kepandaian black magic hahahaha...

Dear Alfons..

Aku selalu menyenangi kota Seattle. Mungkin karna gara-gara nonton film itu. Tentu saja aku lebih cantik , buktinya ada yang mencuri-curi pandang sewaktu kita berdiang di api unggun ketika hujan-hujanan dulu. Nah, ketahuan kan siapa ? Hayu...ngaku deh..

Dear Alfons...

Tentu saja akan menyenangkan bila kamu mau ke sini. Akan kutemani kamu menikmati kopi , aku jamin kamu akan merasakan matamu berkunang-kunang karna kopi hahahaha...aku suka menikmati kopi dipojokan itu, sekedar membaca surel kamu dan berharap kamu akan mengabarkan kedatanganmu. Tapi kapan, Alfons ?

Dear Alfons...

Hahaha...tentu saja masih ingat. Kamu juga ternyata doyan dengan kepiting sawah yang kita bakar itu. Itu saat-saat yang sangat menyenangkan dalam hidupku, Alfons. Menikmati kebersamaan dengan apa adanya. Aku suka kepiting dan disini di fresh market, banyak sekali resto yang menjual kepiting rajungan. Mungkin kamu akan ngeri melihatnya, Alfons..rajungannya kalau direntang bisa 50 sampai 60 senti panjangnya. Oh, iya mengenai oyster. Disini sangat fresh karna diambil langsung dari laut..Aku penah makan itu. Awalnya ngeri makan oyster mentah dan masih hidup itu tapi setelah dikasih perasan lemon jadi enak sekali. Tapi kalau kamu kesini dan makan oyster, jangan banyak-banyak ya..nanti perut kampungmu itu ngambek hahahaha...aku akan tetap tertawa, Alfons..habis kamu selalu menggodaku..dan kita akan tetap selalu hujan- hujanan bersama atau kamu akan rugi tidak bisa bersamaku...

Dear Alfons...

Terima kasih , Alfons. Kamu juga selalu menjadi inspirasi dalam hidupku. Ingat, kamu adalah orang pertama yang mencelaku pada saat baru bertemu. Aku sempat mogok bicara waktu itu, maafkan aku Alfons..Tetapi setelahnya aku harus berterima kasih karna kamu telah mengubah seluruh panduan hidupku. Kamu telah membuka sebuah pintu yang lain dan ternyata begitu semarak. Gelang rosario itu selalu kupakai dan setiap malam selalu kupanjatkan doa untukmu. Aku selalu ingin mendengar cerita-ceritamu, Alfons dan kekonyolan yang kadang kamu sisipkan didalamnya. Aku selalu rindu itu. Aku pun sedang mempersiapkan sebuah novel tentang kamu , aku dan gema ripah tentang hujan yang membuat kita selalu tersenyum . Aku ingin sekali bertemu denganmu, Alfons..jangan terlalu sibuk sehingga nanti bisa membuatmu melupakan aku. Kalau itu yang terjadi, maka kamu harus menerima hukumannya..menggendongku dalam hujan menuju ke gereja kecil itu...Aku serius, Alfons..jangan terlalu sibuk.

Dear Alfons...

Aku sedih tiap kali hujan disini dan aku sedih karna jarang sekali hujan. Aku juga sedih karna tidak mungkin disini aku hujan-hujanan, apalagi tidak ada pohon pisang yang bisa kuambil daunnya. Benar katamu, kalau aku nekad maka yang dipanggil adalah polisi yang akan segera memborgolku dan memasukkan aku kepenjara. Lalu siapa yang akan menjengukku ? Tidak, Alfons..aku hanya bisa memandangi hujan dan kadang menangis dari balik jendela kaca. Aku tinggal disebuah apartment dan itu sudah kuceritakan dulu. Disini harus serba praktis karna biaya hidup juga tinggi. Aku rindu dengan hujan kita, Alfons..juga daun pisang yang kamu ambil entah dari mana itu..

Dear Alfons...

Aku akan kembali desember 2013 nanti, Alfons. Tunggulah aku. Ketika menerima surelmu, aku telah mengajukan cuti untuk bulan desember agar aku bisa merayakan natal digereja kecil itu. Kita harus bertemu karna begitu banyak yang ingin kukatakan kepadamu, Alfons. Kamu harus menemuiku dan aku tidak mau mendengar apapun alasan ketidak-hadiranmu. Aku tidak membawa kekasih atau suami karna aku memang tidak punya . Kasihan sekali ya aku ini, Alfons ? Seorang gadis cantik dan pintar tapi tak laku untuk menggaet bule-bule disini. Itu karna aku tak ingin ada bule yang menggantikan tempat seseorang yang sudah menempati hatiku, Alfons. Jadi aku juga tak perlu beli borgol hahahaha..aku masih ingin merasakan manisnya kolak ubi merah bibi Kasnem dan tak akan kubiarkan omelannya mengusik keasyikan kita berhujan-hujanan, sekalipun harus sakit karnanya..

Dear Alfons...

Kenapa kita selalu berpikiran sama, ya ? Kupikir kamulah sang malaikat yang diutus Tuhan untuk menaungi hidupku. Seorang malaikat yang baik hati dan mengerti serta membuka pintu bagi kehidupanku. Tentu saja aku masih ingat dengan segala kegilaan kita di gereja kecil itu. Untunglah pastor Lambregs tidak usil melapor pada oma, kalau tidak bakalan aku kena cekal oma. Suaramu bagus dan selalu bisa kudengar sampai kapanpun, Alfons..suaramu selalu menemani aku kala aku sedih hanya bisa menatap hujan dari balik jendela kaca. Aah..kita harus bertemu, Alfons..jangan sampai kamu punya alasan lagi..

Dear Alfons...

Aku selalu merindukan surelmu , tak peduli betapa panjang atau berapa lama baru habis kubaca. Banyak yang harus kamu ceritakan kepadaku dan maafkan aku, Alfons...memang konyol, aku tak pernah menanyakan nama lengkapmu. Tapi bagiku kamu selalu lengkap dengan nama Alfons, aku tak perlu nama lengkapmu. Bagiku kamu adalah pijar matahari yang senantiasa menghangatkan aku dalam mengarungi hidup. Aku rindu, Alfons..rindu pada segala-galanya. Tunggulah, aku pasti kembali desember 2013 dan kita akan merayakan natal yang paling indah. Mungkin Tuhan sendiri akan merasa iri dengan keindahannya..Tunggu aku, Alfons.. Dari Erica yang sempat mogok bicara karna kamu rada angkuh mencelaku dulu hahahaha....”

Erica tersenyum kecut sembari mengusap kembali bening airmata yang mengusik wajahnya. Pesawat KLM yang ditumpanginya dan telah mengarungi perjalanan panjang itu akhirnya mendarat juga di bandara international Soetta. Waktu menunjukkan jam 17.46 menjelang malam. Erica perlahan membangunkan Kimberly yang tampak lelap menikmati keletihannya. Ini adalah perjalanan panjang pertamanya dengan pesawat terbang. Wajah cantik si curly tampak sedikit kebingungan karna terbangun bukan pada ranjang di apartment mereka. Erica tersenyum dan mengecup wajah cantik itu sepenuh hatinya. Kimberly memeluknya erat-erat . 

“ Are we here, mommy..?” tanya Kimberly lirih, masih mengantuk.

“ Yes, honey..we are here in Indonesia, remember gado-gado ?” angguk Erica sambil menciumi sang buah hati.

“ Yeaah..gado..gado..like salad, mommy..” jawab Kimberly tertawa kecil.

“ Yes honey..like salad , mommy has made it for you last week..” Erica ikut tertawa mendengar suara lucu Kimberly.

“ I like it, mommy..gado..gado..” tawa kecil itu nyaris mengalahkan deru pesawat jumbo jet tersebut, “ Can we get it here ?” tanyanya kemudian.

“ Of course , honey. We will hunting for many kind of good meal in here..You ‘ll fall in love with country..” angguk Erica tersenyum.

“ Thank you mommy..I love you so much..” peluk Kimberly kemudian.

“ I love you too , honey..” Erica balas memeluk Kimberly seakan tiada lagi hari esok untuk dilewati. Pesawat sedang mengambil posisi untuk parkir di bandara yang masih sangat sibuk itu.

Dua jam kemudian Erica dan Kimberly sudah menempati kamar di Sheraton Hotel dibilangan jalan protokol setelah menikmati makan malam bersama temannya yang menjemput mereka. Begitu besar kegembiraan Erica , sekaligus merasa asing dengan perkembangan kota Jakarta, terutama macetnya yang semakin parah. Bagi Erica yang memang mendidik dirinya untuk selalu disiplin dinegeri orang maka kehadirannya kembali dinegeri sendiri membuatnya merasa asing. Ternyata masyarakat tak ernah mau belajar mendisiplinkan dirinya sehingga kesan semerawut terutama berlalu lintas begitu mengerikan. Namun hal itu tak begitu mengusiknya karna ada hal yang lebih penting untuk dilakukan.

Kimberly yang masih kelelahan langsung terlelap lagi. Erica membiarkannya dan dirinya kemudian sibuk mengalihkan nomor telepon selulernya dengan provider lokal supaya bisa menghubungi sang oma. Tentu saja sang oma sangat gembira mendengar Erica telah tiba kembali di Jakarta. Erica sangat tidak sabar untuk segera menemui sang oma untuk melampiaskan rasa rindunya. Tentu saja rindu bertemu dengan Alfons. Surelnya belum dibalas oleh Alfons namun Erica percaya bahwa Alfons akan menepati janjinya untuk merayakan natal di gereja kecil bawah bukit tempat mereka dulu saling mengenal.

Menjelang tengah malam Erica baru bisa memejamkan matanya setelah sibuk mengirimkan surel maupun sms untuk menghubungi teman-temannya yang mengenal Alfons. Namun Erica tidak mendapatkan satu jawabanpun, Erica menyerah. Mungkin mereka semua sudah tidur atau tidak lagi mengenalnya. Erica membawa semua harapan dan pertanyaannya dalam letih yang lelap.

Tanggal 24 desember 2013, desa Cidahu - Sukabumi.

Hawa dingin yang dibarengi desah hujan menyambut kedatangan Erica menuju kerumah sang oma. Nyaris tak ada yang berubah pada rumah itu. Hanya saja makin banyak rumah yang berdiri disekelilingnya. Jalanan kini telah diaspal walau tidak sebagus jalanan kota. Lumayanlah kalau hujan tidak lagi harus melewati jalan becek penuh tanah merah menggumpal disepatu atau kaki. Erica dan sang oma saling berpelukan melepas rasa rindu yang hilang hampir enam tahun sejak kepergian Erica ke Amerika.

Pertemuan itu sangatlah membahagiakan masa tua sang oma dan begitu banyak cerita yang mereka sampirkan sehingga waktupun melewati senja . Tak ada waktu untuk menelusuri jalan menuju ke gereja kecil dibawah bukit dekat air terjun itu. Tak apa, pikir Erica karna misa natal hanya diselenggarakan pada tanggal 25 desember pagi dan itu adalah waktu yang dijanjikan Alfons untuk bertemu. Lagipula Erica harus memperhatikan Kimberly yang sedikit merasa asing dengan lingkungan dikampung itu. Begitu banyak pertanyaan Kimberly yang harus dijawab Erica mengenai kampung yang sunyi itu. Tentang saluran HBO yang tidak bisa dilihat pada televisi berukuran 21 inchi itu. Atau tentang tempat tidur sederhana milik Erica dulu dan masih terjada dengan baik hingga kepulangannya sekarang ini. 

Namun Kimberly sangat senang karna ada pohon natal dengan lamu-lampu kecil berkelap-kelip menemani suara jangkrik yang mendenging. Kerlap-kerlip lampu dipohon natal itu mengingatkan rumah yang ditinggalinya di Seattle dan itu sedikit banyak menenangkan hatinya. Sayup-sayup terdengar lagu White Christmas yang dinyanyikan oleh Bing Crosby memenuhi kesunyian dengan suara emasnya.

I’m dreaming of a white Christmas
Just like the ones I used to know
Where the treetops glisten and children listen
To hear sleigh bells in the snow

I’m dreaming of a white Christmas
With every Christmas card I write
May your days be merry and bright
And may all your Christmases be white

I’m dreaming of a white Christmas
With every Christmas card I write
May your days be merry and bright
And may all your Christmases be white

Sehari lagi terlewati sudah. Erica tidak pernah menyesali hari ini tidak bisa bertemu dengan Alfons. Dia percaya bahwa besok adalah hari yang paling membahagiakan baginya. Besok adalah hari natal yang sangat istimewa karna akan bertemu lagi dengan Alfons yang selalu memenuhi hatinya selama tahun- tahun penuh perjuangan dinegeri orang.

Erica juga telah menyiapkan hadiah-hadiah natal buat sang oma dan Kimberly didekat pohon natal yang berkelip sendirian dipojok ruang tamu itu. Sebuah hadiah natal juga khusus dipersiapkannya untuk Alfons serta bibi Kasnem.

Mereka adalah orang-orang yang tak pernah hilang dalam perjalanan hidupnya. Namun dimalam natal yang sunyi itu, Erica juga sempat menitikkan air mata mengingat kerinduannya akan Alfons . Mengingat kebodohannya memenjarakan perasaan hatinya kepada Alfons. Erica berdoa dikesunyian malam natal ini dan bertekad akan menuntaskan pembebasan perasaan yang sudah terpenjara dalam hatinya sekian tahun sejak kepergiannya ke Amerika. 

“ This is not about dream but this is my life, I love you Alfons..”, bisiknya terkulai dalam nyenyak dan bau bantal masa lalunya.

Merry Christmas. 25 Desember 2015. Hujan membasahi bumi.

Erica bersama Kimberly dan sang oma berangkat menuju ke gereja kecil dibawah bukit yang dekat air terjun itu. Sang oma yang usianya 65 tahun itu masih sigap mengendarai mobil datsun keluaran tahun jadul tersebut. Kimberly tampak senang menikmati pemandangan sawah-sawah yang belum pernah dilihatnya dan tawa kecilnya mengisi kegembiraan mereka. Erica senang memberikan pengalaman yang luar biasa itu kepada Kimberly agar mengikatnya erat-erat dalam benak anak itu bahwa negeri kelahiran sang mommy sangatlah menggiurkan. Mata anak itu berbinar-binar ketika menikmati pemandangan hijau yang ada disekeliling jalan yang mereka lalui. Kegembiraannya melonjak. Erica bahagia. Sang oma tersenyum melihat wajah-wajah cerah yang sangat dirinduinya itu.

“ Mommy...it’s green everywhere..” teriak Kimberly bernafsu melihat sawah yang sama sekali belum pernah dilihatnya itu.

“ Yes, honey. Just spell it...sawah..” goda Erica tertawa.

“ Sa..wa..h...” tirunya dengan suara lucu,” What is that mommy ?’ tanyanya kemudian.

“ That’s the rice come from these plans honey..do yo know about rice ? White color that we eat for lunch sometimes ? Nasi ?” jelas Erica sedikit kebingungan dengan pertanyaan itu.

“ Yeaahh..! I know it mommy...delicious..I like it..” angguknya dengan cepat sambil tertawa gembira. Semuanya tertawa dengan kecerdasan Kimberly. Erica bahagia. Namun ada yang mengusik hatinya. Entah apa.

Sepanjang perjalanan mereka banyak menemui orang-orang yang ingin merayakan mis natal dengan segala kegembirannya. Datsun tua itu merangkak dan berderit ketika jalanan mulai menanjak, untunglah jalan sudah cukup baik sekalipun dengan aspal yang kadangkala berlubang disana-sini. Akhirnya mereka tiba digereja kecil dibawah bukit itu. Hawa dingin semerbak menyergap mereka ketika turun dari mobil tersebut. Namun hal itu tidak terlalu mengusik Erica maupun Kimberly. Tidak juga ada sang oma yang mengenakan sweater tebalnya.

Sejenak Erica menikmati udara segar yang mengisi paru-parunya. Kenangan indah segera menangkap dan memenjarakan hatinya.

Pandangannya mencari-cari sosok yang ingin segera ditemuinya. Tidak ada. Tidak tampak sosok tersebut. Kemana dia ? Bahtin Erica ingin menjerit. Mungkin sedang sibuk, bujuk hatinya menghibur sedikit. Kadang memang sulit berharap kalau Alfons duduk santai digereja itu, ada saja kesibukannya. Erica maklum setelah sekian tahun mengenalnya. Lalu kemana bibi Kasnem ? Erica ingin berlari mendapatkan bibi Kasnem yang kesehariannya mengurusi dapur pastoran. Namun misa akan segera dimulai. Erica terpaksa mengurungkan niatnya dan menggandeng Kimberly memasuki gereja yang berbentuk joglo sederhana itu. Tak banyak yang berubah selama kepergiannya. Gereja kecil itu tak ingin bermegah sementara iman masih terus berjalan ditempat. Atau memang itulah kesan yang ingin ditampilkan, sederhana dalam iman seperti yang telah diteladani oleh kelahiran sang juru selamat, Yesus Kristus yang lahir di kandang. Iman haruslah sederhana dan tidak memaksakan diri, begitulah yang sering didengar Erica ketika pastor Lambregs sedang berkotbah. Seperti dirinya seorang misionaris yang jauh dari kampung halamannya hanya untuk membina iman umat gereja dan berbagi kasih dengan warga yang berbeda imannya tanpa memisahkan mereka dari kehidupannya. Makanya seringkali para warga yang lain hadir digereja itu tanpa harus berpindah agama. Mereka hanya merasa sejuk dengan keramahan dan keterbukaan pastor belanda tersebut. Iman harus menghidupkan jiwa dan bukan malah membuatnya kerdil, pesan pastor lambregs ketika misa- misa yang telah lalu dan diikutinya. Sebuah pesan sederhana namun memberi kesejukan bagi siapapun yang mendengarnya.

Namun Erica tidak lagi melihat kehadiran pastor Lambregs yang ramah dalam sinar kebiruan dimatanya itu. Yang mengadakan misa natal itu seorang pastor dari lain paroki. Mungkin sedang ada kesibukan lain atau sedang tidak enak badan karna usianya telah mendekati 80 tahun, hibur hati kecilnya. Kidung natal mengalun syahdu dengan iringan sebuah organ tua, sama seperti yang memainkannya, seorang koster yang juga lanjut usianya. Maklumlah status gereja itu hanyalah sebuah stasi, jadi seorang koster ( asisten pastor untuk mempersiapkan misa ) harus pula menjadi pemain organ tua itu. Yang memimpin menyanyi kidung-kidung indah itu juga seorang perempuan tua yang jalannya nyaris terbungkuk saking langkanya umat yang menguasai buku kidung itu. Tak apa , toh Yesus sendiri lahir dalam kesederhanaan di sebuah kandang. Jadi umatNya janganlah mengeluh karna sebuah simbol kesederhanaan. Sebuah pohon natal yang cukup tinggi dan telah rontok dibeberapa daunnya tampak anggun bermandikan cahaya lampu kerlap-kerlip mendampingi sebuah koreografi kandang dimana sang penebus dilahirkan.

Erica nyaris menangis melihat pemandangan yang nyaris tidak berubah itu. Erica menunduk penuh rasa syukur atas nikmat yang dilaluinya. Itu takkan terbantahkan sampai kapanpun. Ada rasa tenang dan sejuk menggulung jiwa serta hatinya ketika perjamuan kudus itu berlangsung nyaris dua jam. Begitulah kalau ada upacara khusus seperti natal atau paskah. Kimberly tampak seperti takjub mengikuti seluruh jalannya misa dan tak henti-hentinya dia tersenyum. Tingkahnya begitu lucu ketika berusaha keras mengikuti jalannya misa sekalipun tidak bisa mengerti dengan bahasa tersebut. Akhirnya misa itupun berakhir dan didalam penutupan misa itu sang pastor memberikan berkat natal kepada semua umat yang memenuhi gereja kecil dan mendoakan mereka agar gairah natal semakin mendekatkan mereka dengan sesama dan mengasihi mereka tanpa harus memandang siapakah mereka itu.

“ Saudara-saudari yang terkasih didalam Yesus..” ucapnya ketika dipenghujung misa dengan suara memendam rasa sedih,” Hari ini kita merayakan kelahiran sang juru selamat kita, Yesus Kristus. Bahwa didalam kelahiran sang juru selamat memberikan kita kegembiraan sekalipun hidup kita tidak selalu dalam keadaan gembira. Namun hendaknya kita berserah diri dalam iman kita...” lanjutnya sambil mengatur napas dan mengambil sehelai kertas yang tampak tak ingin dibacanya dihari yang membahagiakan itu.

“ Mungkin tidak banyak yang mengenal pastor pengganti dari pastor Lambregs yang telah pergi mendahului kita menuju kepada Bapa di surga, setahun yang lalu. Pastor Lambregs telah memberikan kita contoh yang sedemikian nyata dalam berkarya dan hidup diantara perbedaan. Hendaknya kita selalu meneladani beliau dalam hidup kita sehari-hari. Dan seperti kita ketahui penggantinya adalah pastor yang ditahbiskan pastor Lambregs sendiri sebelum pergi kerumah Bapa. Beliau adalah putra daerah yang terbaik dan lahir untuk mengabdi dalam kerajaan Bapa di surga. Beliau adalah pastor Alfonso Eduardus Kiapoli. Namun sayangnya beliau memendam sakit yang sudah terlalu lama dan begitu tegar menjalani pendidikannya sejak seminari pertama sampai kepada tahbisannya. Sehingga pastor Alfonso Eduardus Kiapoli pr ( projo ) harus menyerah pada sakitnya dua hari yang lalu dan kini telah beristirahat yang tenang disebelah mentornya yaitu pastor Lambregs yang kita cintai itu, dikebun belakang gereja ini....” jelasnya panjang lebar dengan suara letih.

Erica sendiri terpuruk sedih. Ternyata pastor Lambregs telah berpulang kerumah Bapa setahun yang lalu. Ah, kenapa Alfons tidak mengabarkannya ? Keluh Erica nyaris hiteris sendiri sambil mengusap bening air di matanya. Lalu siapa pastor Alfonso Eduardus Kiapoli ini ? Gumamnya dengan sedikit aneh. Ah...sudah telalu lamakah aku pergi ?, keluhnya kemudian.

“ Kemana Alfons ?” sebuah tanya menggelegar dalam benaknya.

“ Dan tadi malam kami telah menemukan sebuah surat yang ditinggalkan pastor Alfonso kepada seseorang yang telah menjadi inspirasi kekuatannya dalam melawan rasa sakitnya hingga pada saat terakhir ketika dipanggil Bapa untuk kembali kedalam kerajaan surga. Saya akan membacakan surat itu dan kiranya beliau menghendaki suratnya dibacakan pada saat misa natal hari ini...” ucap sang pastor dengan suara terdengar begitu sedih , membuat para umat yang hadir tercekam dalam kesedihan pula.

Erica meringis. Erica merasakan dentaman luar biasa pada detak jantungnya.

“ Selamat hari natal, saudara-saudaraku yang terkasih dalam Kristus. Saya berdoa dihari terakhir ini untuk saudara-saudaraku semuanya agar kasih Kristus selalu melindungi dan menjaga kita semua. Jangan sedih atau menangis kalau saya harus menulis dan berpamitan kepada saudara-saudaraku disini. Saya minta maaf karna hanya setahun bisa melayani gereja kita sekalipun saya ingin sampai seribu tahun untuk melayani. Namun Bapa disurga berkata lain dan saya harus menyerah ketika Bapa mengatakan, sudah cukup untuk saat ini. Namun selama ini saya selalu mendapatkan kekuatan untuk terus melangkah. Saya puya seorang sahabat dan akan selalu menjadi kerinduan saya. Darinya saya banyak belajar tentang keyakinan. Saya mencintainya. Saya mengasihnya. Saya merindukannya dan akan selalu merindukannya. Terutama pada saat hujan. Saya mencintai hujan dan menikmatnya. Saya tidak merasa berdosa atau menghianati sumpah imamat saya ketika saya mengatakan saya mencintainya. Karna dalam hidup imamat kita tidak cukup hanya mencintai hidup selibat saja. Saya juga seorang manusia yang memiliki segala kelemahan dan Bapa di surga tahu itu. Itulah sebabnya saya berani berkata, bahwa saya merindukan kehadirannya. Saya mencintai kehadirannya selama ini. Saya tidak merasa malu mengatakan saya mencintai dia dalam kehidupan selibat saya. Namun untuk kesekian kalinya saya telah mengabaikan janji temu saya. Seharusnya saya hadir pada misa natal ini karna banyak yang harus saya katakan tentang saya dan nama lengkap saya. Saya harus menjelaskan alasan-alasan saya mengapa tidak bisa selalu menjawab tiap surel yang dikirimkannya kepada saya...” pastor berhenti membaca.

“ Bruuukkkk...” suara tubuh Erica yang tak sadarkan diri memutus pastor yang sedang membacakan surat terakhir pastor Alfonso Eduardus Kiapoli itu.

Tampak beberapa umat panik termasuk sang oma untuk menyadarkan kembali Erica yang jatuh pingsan. Kemudian pastor itu mengambil keputusan untuk meneruskan membaca surat tersebut.

“ Maafkan saya karna saya telah menyimpan sakit ini sejak kita mulai bersahabat ketika hujan deras itu. Maafkan juga karna pada saat itu saya mendapatkan kekuatan yang luar biasa untuk meneruskan rencana dalam mengabdi kepada gereja. Maafkan saya karna tidak sanggup untuk menceritakan ini semua kepadamu, baik lewat surel maupun ketika bertemu langsung. Saya hanya tak ingin membuat engkau terusik ketika menuntut ilmu dinegeri orang. Maafkan saya untuk semua ini, juga untuk perasaan manusiawi yang saya simpan rapat ini. Mungkin engkau akan marah tetapi saya tahu bahwa engkau tidak memiliki kemarahan yang lama. Kini saya harus berbaring. Berbaring dibawah pohon-pohon pisang dikebun belakang. Saya ingin menjadi sehelai daun pisang yang lebar untukmu agar bisa menaungi engkau kala hujan deras menemani tarianmu. Saya akan memberi waktu untukmu berlari menuju tempat berteduh dengan sehelai daun pisang didekat rumah persinggahan terakhir ini. Engkau bisa memetiknya kalau ingin menikmati hujan kesukaanmu.
Dear Erica , salam damai sejahtera dan selalu dalam berkat melimpah kristus Yesus . Aku mencintaimu. Aku rindu kepadamu dan kepada hujan dimana kita selalu menikmati rasa gigilnya. Oh, iya..namaku adalah Alfonso Eduardus Kiapoli dan kamu hanya mengenalku sebagai Alfons. Selamat natal , Erica. Selamat natal Kimberly. Tuhan akan memberkati kalian selamanya.”

Ps: aku tahu tentang Kimberly dari seorang teman dan aku bangga denganmu, Erica. Terima kasih telah menjadi obor dan inspirasi dalam hidupku ini.”

Pastor itu selesai membaca surat terakhir dari Pastor Alfonso Eduardus Kiapoli pr yang diwasiatkannya untuk dibaca pada akhir misa natal itu.

“ Terberkatilah engkau , anakku. Terberkatilah dalam Kristus Yesus. Semoga damai senantiasa menyertaimu..” bisiknya penuh haru.

Erica tak bisa menahan rasa sedihnya. Erica menangis penuh dengan rasa sesal. Kepalanya serasa berputar dan hatinya seperti ditikam dengan cangkul tumpul.

Kesedihan merambat dalam kegembiraan natal itu. Sang pastor kemudian menyerahkan surat itu kepada Erica yang merasa jiwanya melayang jauh mengejar Alfons yang telah pergi dua hari yang lalu itu.Alfons telah membawa semua rindu dan cintanya yang terpenjara sekian lama itu entah kemana. Mungkin memeluknya ketika menapak masuk kedalam surga.

Erica telah kehabisan kata-kata untuk diucapkan ketika memandangi gundukan tanah merah yang kini telah menjadi tempat terakhir yang disinggahi Alfons. Bibi Kasnem memotong sehelai daun pisang yang paling lebar dan bagus kemudian menyerahkannya kepada Erica bersama setangkai mawar putih. Bibi Kasnem tidak bicara namun airmata menelusuri pipi keriputnya. Kimberly dan sang oma hanya berdiri dikejauhan dalam sunyi dan kesedihan mendalam.

Erica lalu meletakkan daun pisang itu menutupi pusara Alfons dan memberinya setangkai mawar putih sebagai tanda kesucian cinta dan rindunya kepada lelaki yang tidak diketahui nama lengkapnya itu sampai pada saat terakhir.

“ Pergilah Alfons..pergilah dalam damai kerumah Bapa disurga, Alfonso Eduadus Kiapoli. Pergilah bersama rinduku. Pergilah bersama cinta suci kita sekalipun kita tak pernah membicarakannya. Aku akan merindukanmu selamanya. Juga mencintaimu..Pergilah, Alfons..damai Kristus bersamamu..” bisik Erica nyaris tak terdengar.

“ Amin...” bisik bibi Kasnem tak sanggup melihat kesedihan ERica dan memeluk gadis itu dengan penuh kasih sayang dan penghiburan.


Gerimis mulai turun dan udara kian dingin. Tarian rindu dan cinta milik Erica menyatu dalam-dalam bersama dipusara Alfonso Eduardus Kiapoli.

“ Sampai bertemu kembali dalam rindu dan cinta kita , Alfons..” bisik Erica sembari memberi kecupan kepada pusara bisu itu.





                                                             ~~~~ s e l e s a i ~~~~~