Selasa, 03 Desember 2013

TIRAI HUJAN DIATAS SEHELAI DAUN PISANG







Erica menatap hujan yang menderai ditirisan jendela kaca kamar tidurnya dengan pandangan rindu. Entah mengapa setiap hujan turun, hatinya kadang gundah dan kadang begitu terlilit rasa rindu. Rindu ? Rindu dengan siapa ? Kadang hati kecilnya suka nakal mempertanyakannya. Tanpa sadar Erica cuma bisa tersenyum. Geli menggelitik hatinya. Dasar . Entah apa lagi.

Tiba-tiba pikirannya melayang jauh dan jauh, seakan menembus ruang waktu yang tak berbilah . Pikirannya memberontak seakan ingin menyingkirkan segala awan dan badai petir yang seringkali menghiasi langitnya kini . Benaknya menggoda dengan eloknya dan hal itu menyunggingkan sebuah senyum termanis yang pernah dimilikinya . Erica meraba wajahnya yang mendadak menjadi panas.

“ Ah...Alfons , engkau membuat hatiku memberontak lagi...” bisiknya sembari menorehkan jari jemarinya yang lentik itu menelusuri jendela kaca yang sedang dijadikan rintik hujan sebagai panggung untuk menari.

“ Dimanakah engkau sekarang ? Adakah engkau juga sedang menatap derai hujan yang sedang menari ? Aaiihhh...aku ingin menari bersamamu saat hujan turun sama seperti ketika kita melakukannya waktu itu . Kasihan, engkau habis kena omelan oma-ku yang memang bawel namun hatinya adalah yang terbaik. Yang terbaik dari apa yang kumiliki..” bisiknya lagi diantara sendunya Christina Perry melantunkan A Thousand Miles-nya. Erica menyilangkan kedua tangannya bagaikan orang yang sedang berpelukan dan kakinya melangkah bak berdansa dalam senyum diantara mata yang setengah tertutup .

Tanpa disadarinya sepasang mata menikmati langkah kaki Erica yang sedang berdansa sendirian itu . Mata itu milik Kimberly Mascalova, putri angkatnya yang berumur 4 tahun . Kim ,nama yang biasa dipanggil untuk sosok cantik dengan rambut hitamnya yang panjang dan curly itu. Kim diasuhnya sejak umur sepuluh bulan dimana Erica dulu tinggal bersama keluarga Mascalova yang berasal dari campuran bulgaria dan brazil itu. Dalam satu liburan ternyata kecelakaan menimpa kedua orang tua Kimberly dan menewaskan mereka . Sebagai satu-satu orang yang mengenal keluarga itu secara dekat maka Erica memutuskan untuk menjadi orang tua angkat Kimberly. Erica sendiri saat itu sedang kuliah dan nyambi bekerja di salah satu majalah yang ada dikota Seattle , dimana dia menuntut ilmu seperti cita-citanya semasa sma.

Erica merasa sangat terbantu oleh dosen-dosennya dimana mereka membantunya untuk mendapatkan hak asuh dari Kimberly . Setelah melewati masa tiga tahun yang penuh perjuangan , akhirnya Erica memperoleh Green-card sebagai US-Citizen dan memperoleh juga hak asuhnya terhadap Kimberly Mascalova yang memang sangat dekat dengannya. Namun dibalik itu semua , kadang Erica juga rindu dengan gemerlapnya masa muda dimana sewaktu berangkat ke Amerika, dia baru berusia 19 tahun dan setelah 5 tahun tinggal serta memperoleh apa yang diidam-idamkannya dulu, yaitu green-card . Ternyata dia juga harus mengasuh Kimberly yang baru berumur 4 tahun . Tetapi Erica tidak mau terbebani. Kimberly merupakan bintang yang selalu menyala dan berkelip untuknya.

Kuliah dan gelar sudah beres . Kini Erica adalah seorang single mother yang bekerja sebagai seorang editor majalah dari Seattle Gazette , anak perusahaan Seattle Metropolitan Magazine , yang bergerak dalam dunia pendidikan anak dalam kehidupan single mother. Like her and Kimberly , of course .

Ruangan itu kembali sunyi. Hanya ada derap air hujan yang masih setia berdendang ria diatas atap . Hujan adalah hal yang cukup jarang terjadi di Seattle dan itu juga menjadi salah satu sebab , Erica sangat merindukan hujan dengan rindu yang melayang didalamnya.

Erica membuka matanya dan menemui sebuah senyum yang sangat dikasihinya. Senyum Kimberly Mascalova yang baru saja terbangun dari tidur siangnya.

“ Hi..honey...” sapa Erica sambil menghampiri si cantik curly itu.

“ Hi..mommy...” peluk Kim dengan rasa gembira. Mencium Erica dan menatapnya, “ Are dancing with whom mommy..?” tanya Kim polos.

Erica tertawa kecil. Menciumi Kimberly seakan esok takkan datang lagi. Kim selalu membuatnya tertawa dan melepaskan segala penatnya jauh-jauh.

“ Mommy dancing alone , honey...because I love you so much..”

“ I love you mommy..” Kim kembali memeluk Erica erat-erat seakan tak ingin melepaskan kekuatan jiwanya itu.

Erica kemudian membawa Kim kedalam pelukannya dan mengajaknya untuk mengenal beberapa gambar dalam buku yang sangat disukai gadis kecil itu. Kim sangatlah pandai dan dalam usianya yang baru 4 tahun itu, dia sudah bisa membaca dan menulis beberapa kata dalam bahasa Indonesia. Kim sangat senang mengenal kata-kata dalam bahasa Indonesia dan selalu bertanya tentang apa itu Indonesia , dimana letaknya dan apa serta bagaimana pantainya. Kim amatlah suka dengan pantai . Kim senang bermain pasir . Diam-diam dalam bahagianya bersama Kim kecil yang semeringah , Erica merasakan denyut perih yang melintas dalam hatinya. 

Kadang Erica suka terbayang dengan masa-masa dipenghujung sekolah menengah yang banyak memercikkan cerita-cerita yang seringkali menggodanya untuk terbang kembali ke masa itu. Saat-saat weekend nyaris menjadi hari tifosinya untuk menggelitik masa lalu yang menyenangkan sekaligus rasa pahit yang ditimbulkannya. Dan kala aroma hujan menyergapnya kedalam pilu yang menggigit namun tetaplah menjadi kerinduannya. Hanya saja Seattle agak jarang hujan dan terkadang Erica membenci hal itu. Ingin rasanya pindah ke suatu negara dimana hujan selalu datang . Mungkin akan pindah ke Belize, candanya suatu hari kepada teman-teman kerjanya.

Erica membayangkan laut biru yang jernih dan hamparan pasir putih dengan sebuah pondok diatas sebuah tebing yang menjorok ke laut. Kalau aku putus asa , tinggal terjun saja ke laut, candanya sembari tertawa. Mungkin aku akan memanjakan kaki telanjang ini dan bikini yang terbalut kemeja gombrang putih kesukaanmu itu, sambil menelusuri rasa dingin air jernih yang mengelus-elus pasir putih dipantai ini. Aku hanya berharap , suatu hari akan menemukan engkau kembali dalam satu tirai hujan yang kita nikmati bersama . Angan Erica terkadang melampaui batas imaginasinya sendiri. 

Ketegarannya seakan runtuh ketika hujan datang dan ada rasa yang menggila menggelitiknya untuk menyesap setiap tetes hujan yang memercik . Entah dari mana datangnya kecintaan Erica akan hujan. Bahkan sang oma harus mengancam Erica dengan sebatang rotan bila nekad juga keluar kalau hujan tiba-tiba turun mengguyur bumi. Namun sang oma yang bule Belanda itu takkan mampu mengejar langkah lincah Erica yang menerobos hujan dipekarangan belakang rumah mereka. Bahkan pernah satu kali Erica berlari seakan berpacu dengan angin ketika hujan deras itu menerpa . Tanpa disadarinya langkah itu telah membawanya jauh dari rumah dan menggigil kedinginan dalam keadaan basah kuyup. Tidak ada tempat berteduh kecuali meringkuk dibawah pohon-pohon kecil yang tak kuat menahan beban air hujan. 

Namun ada yang tak pernah diduga oleh Erica pada saat itu. Masa kecilnya kala sekolah menengah pertama itu sangat jarang memiliki teman apalagi yang disebut sahabat. Erica memang cenderung menjadi seorang remaja yang introvert dan bahagia dengan kegembiraannya sendiri. Tiba-tiba saja derasnya hujan seperti menghilang menerpa tubuhnya yang menggigil. Erica mendongak. Erica melihat seorang remaja seumuran dirinya sedang menudunginya dengan sehelai daun pisang yang besar. Wajah itu seperti dikenalnya tapi entah dimana, Erica tidak mau lelah memikirkannya. Erica seketika berdiri dan menatap tajam.

“ Siapa kamu ?” tanyanya nyaris terdengar seperti orang menggumam.

“ Aku ? Aku adalah Alfons. Aku adalah putra altar di gereja bawah bukit sana. Kau mau ikut berteduh disana ?” jawab remaja yang bernama Alfons itu dengan suara jernih, “ Kita satu sekolah tapi kau tak pernah mau berteman seperti layaknya yang lain..” lanjutnya lagi.

Hahh. Erica baru ingat sekarang. Iya, betul..aku satu sekolah dengan si Alfons ini. Aku juga tahu kalau ibunya Alfons itu seorang chinese dan bapaknya seorang flores yang berasal dari Lembata. Wajah Alfons tampak seperti orang chinese mengikuti gen ibunya namun dengan gaung yang garang dari mata bapaknya yang orang Lembata itu. Rambutnya ikal . Pendek . Ruwet . ERica nyaris tertawa bila mengingat hal itu.

“ Siapa bilang ? “ sergah Erica dengan mulut mengatup. Cemberut. 

“ Aku yang bilang barusan kan ?” tantang Alfons tersenyum. Cuek.

“ Ahh...itu alasanmu saja. Aku punya banyak teman koq..” bantah Erica lagi. 

“ Coba kau sebutkan satu saja yang kau kenal dekat..” tantang Alfons tak mau kalah. Alfons ingat kalau Erica selalu berpindah jalur ketika mengantri komuni bilamana melihatnya mendampingi pastor. Entah apa sebabnya. Alfons tidak tahu , padahal dia senang menikmati wajah Erica ketika menerima hosti sebagai tanda penyerahan diri kepada Tuhan dalam misa minggu di gereja.

Erica terdiam. Siapa ya ? Ah, bodo amatlah. Aku kedinginan , tau..! Bahtinnya menggerutu dan membayangkan sang oma akan kelabakan menggosok badannya dengan minyak kayu putih sambil ngomel panjang pendek dengan bahasa belanda. Satu hal yang amat dibencinya. Sepanjang malam hidungnya akan mencium bau minyak kayu putih dan membuat ketiaknya kemerahan.

Namun Erica menikmati rasa hujan yang selalu melegakan napasnya itu. Pada mulaya dia merasa begitu sebal dengan Alfons tetapi yang punya nama tetap cuek dan memayunginya dengan daun pisang itu. Bahkan Alfons memberikan jaket yang dipakainya untuk Erica agar tidak menggigil kedinginan. Mulanya Erica agak enggan namun ketika teringat dengan sang oma , maka diapun menerima jaket itu dan memakainya. Ada rasa hangat mengguyur tubuhnya dan rasanya begitu menyenangkan.

“ Hayu sekarang kita jalan ke gereja sana dan berteduh. Disana kita bisa mengeringkan badan dan berdiang didekat api unggun. Nanti kubuatkan..” ajak Alfons tanpa canggung menggamit tangan Erica yang manut saja mengikutinya.

“ Mungkin didapur pastoran ada makanan hangat kalau bibi Kasnem tidak pulang hari ini..” lanjut Alfons sambil menjajari langkah Erica yang mendekap tangannya dan tampak bibirnya mulai berona kebiruan saking dinginnya.

“ Emang boleh apa ?” tanya Erica gemetaran dan itu nyaris membuat Alfons terbahak. Dasar cucu oma belanda, gumamnya dalam hati dengan geli.

“ Boleh saja. Aku kan putra altar disana. Aku dan teman-teman suka dijamu sama bibi Kasnem. Dia orangnya baik dan ramah. Kamu pasti suka kepadanya “ angguk Alfons kemudian.

“ Jangan terlalu yakin..” sergah Erica sedikit jengah karna beberapa kali lengannya bersentuhan dengan lengan Alfons. Daun pisang tidak ada yang selebar rumah ya ? Gerutunya sesekali. Kesal. Hatinya berdenyut. Aduuh !

“ Ah, kamu kayaknya gak mudah percaya ya. Gak apa-apa , itu baik tapi ada juga lho jeleknya..” ledek Alfons mulai merasa nyaman dengan kekakuan Erica.

“ Ah, jangan sok tahu . Umurmu sama denganku, kan ?” bantah Erica agak terpojok dengan kebenaran ucapan teman barunya itu. Hatinya kembali berdenyut. Aduh !

“ Memangnya kenapa ? Apa gak boleh kalau pikiran kita berkembang biak dengan baik dalam menyerap ilmu ?” Alfons jadi ikut membantah dan meranggas dengan gayanya yang sangat yakin itu.

“ Gayamu luar biasa. Memang kamu sudah kuliah ? Sekolah saja sama denganku, kelas 2 SMP . Masih jauh tuh bangku kuliahnya..” semprot Erica sedikit gerah dan disambut oleh gelak Alfons yang memecah hujan. Erica melotot.

“ Kenapa tertawa ? Ada yang lucu ?” suara Erica kian gemas.

“ Sekolah kita memang sama. Itu benar adanya. Tapi itu tidak menghalangi kita untuk belajar dan memahami ilmu diluar sekolah bukan ? Makanya jangan biarkan otak kananmu menganggur. Kalau kebanyakan pakai otak kiri , bisa kepanasan dan akibatnya bisa hang..” lanjut Alfons semakin senang dengan godaannya yang membuat Erica kesal . Senyummu itu membuatku nyaris pingsan, keluh Alfons diantara hujan yang membuat becek jalanan tanah berbatu itu .

Erica terdiam. Erica kesal. Erica ingin mendorong Alfons biar jatuh kesawah. Tetapi bahtinnya menolak. Baru kali ini ada yang berani berucap seperti itu kepadanya. Selama ini dia dikenal sebagai bintang kelas dalam hal kepintaran namun ternyata itu tidak berlaku bagi Alfons. Erica tidak mau bicara lagi. Mogok , kata hatinya lalu berdenyut lagi dan membuatnya meringis. Aduuh !

“ Koq diam ? Biasanya disekolah kamu selalu mendebat siapapun yang tidak sepaham denganmu..” usik Alfons lagi,” Aku minta maaf kalau itu mengusikmu. Aku hanya bicara apa adanya. Aku sering belajar melalui internet. Numpang dipastoran, lumayan jadi tidak usah beli barang mahal. Modalnya cuma jalan kaki saja. Kadang aku mengingap disana dan membantu pastor , lumayan dapat uang saku untuk bayar sekolah..” lanjutnya bercerita tanpa diminta.

Erica masih mogok untuk bicara. Tetapi kupingnya menyimak dengan cermat setiap ucapan Alfons walaupun suara hujan kian menggila. Untunglah jaket Alfons itu memiliki topi jadi dapat sedikit menutupi wajahnya yang bersemu kala bersentuhan dengan Alfons. Rasa jengah kerap menyergap Erica yang baru pertama kalinya berjalan berdua dengan seorang cowok . Apalagi dengan Alfons teman satu sekolah yang tidak pernah disapanya. Erica merasa jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Ngeri membayangkan berita ini menjadi issue disekolah dan dia nyaris pingsan membayangkan betapa anak-anak yang lain membicarakan mereka . Erica ngeri dengan vonisnya, mereka pacaran ! 

Alfons terus bicara. Erica tidak tahu lagi apa yang disimaknya tentang cerita Alfons itu. Hatinya terus berdenyut. Jantungnya berdetak tidak keruan. Mudah-mudahan tidak ada yang melihat mereka berdua jalan ditengah hujan seperti itu. Erica berharap hari sabtu itu berlangsung seribu tahun lamanya sehingga tidak harus menghadapi hai senin dan menatap senyum-senyum yang lahir dari wajah teman-temannya satu sekolah. Akhirnya perjalanan menembus hujan itu berakhir juga dihalaman belakang gereja yang berbentuk joglo itu. Ada rasa lega tetapi disusul oleh rasa tak rela karna daun pisang itu telah menjadi penghuni temat sampah. Erica melihat Alfons yang basah kuyup sibuk menyiapkan kayu-kayu kering yang banyak terdapat didekat gudang. Erica tak mau lagi dicap sombong lalu membantu Alfons yang kemudian pergi mengambil minyak dan korek api didapur bibi Kasnem.

Tak lama merekapun berdiang didekat api unggun itu sambil berdiam diri. Bibi Kasnem memberikan selembar handuk untuknya dan Alfons sambil geleng-geleng kala melihat kenekatan mereka berdua. Bibi Kasnem juga menyediakan teh hangat dan masing-masing semangkok kolak ubi merah yang manis. Alfons terkadang mencuri pandang kepada Erica yang pura-pura tidak mengacuhkannya. 

“ Bagaimana kolaknya ? Enak ? Bibi Kasnem selalu membuat ini kalau setiap sabtu siang. Kemarin pulang sekolah aku membantunya memanen ubi merah dikebun belakang sana..” ucap Alfons sedikit rikuh dengan sikapnya sendiri.

Erica hanya mengangguk. Teh hangat dan kolak itu membuat tubuhnya makin hangat sekalipun bajunya basah kuyup. Untunglah handuk pemberian bibi Kasnem itu dapat sedikit menutupi bukitnya yang mulai ranum itu. Erica agak rikuh dengan persoalan yang satu ini apalagi dalam keadan kuyup. Sama sekali tidak terpikirkan dalam benaknya bagaimana nanti sang oma akan mengomelinya habis-habisan.

“ Kamu kenapa tidak bicara ? Terlalu dinginkah..?” tanya Alfons sedikit khawatir, “ Ini pakailah handukku supaya kamu tidak terlalu dingin..” katanya sembari melingkarkan handuk miliknya menutupi pundak Erica yang berusaha mencegahnya namun Alfons tetap tidak peduli.

“ Untuk kamu saja..” cegahnya merasa egois.

“ Gak apa-apa, aku sudah terbiasa disini. Jadi tidak dingin lagi..” tawa Alfons senang melihat betapa Erica juga mengkhawatirkan dirinya. Duuh, rindu !

“ Terima kasih, Alfons. Kamu sungguh baik. Maaf, mungkin aku selama ini tampak menyebalkan bagimu..” angguk Erica sambil menyodorkan tangannya bersalaman dan Alfons menerimaya dengan hati senang. Erica sedikit menggigil dengan genggaman tangan Alfons yang begitu kuat dan mantap Hatinya mendengking dengan denyut yang lebih memperosokkan dirinya seperti jatuh kedalam jurang yang dalam. Erica seperti terayun keatas awan.

“ Hahahaha...aku juga minta maaf sekali lagi kalau aku terlalu banyak bicara. Padahal inilah pertama kalinya kita bicara biarpun satu sekolah sejak kelas 1 SD...” gelak Alfons dengan suara beningnya.

Kali ini Erica ikut pula tertawa. Sepertinya berhujan-hujan dengan Alfons yang sedikit cerewet itu telah membuyarkan kekakuannya. Mereka terus bicara sampai akhirnya sang oma datang menjemputnya setelah mendapat telepon dari pastor. Rupanya kehadiran kedua remaja itu tak lepas dari pandangan passtor gereja dan melihat hujan yang juga tidak reda, maka dia menelepon sang oma yang dikenalnya. Rupanya sang pastor yang bernama Lambregs itu adalah teman sekampung sang oma dari belanda sana. Mungkin itulah sebabnya sang oma tidak sekalipun memarahinya, bahkan membawa baju ganti untuk cucu kesayangannya itu. Entah apa yang dibicarkan sang pastor dengan sang oma, namun Erica merasa sangat berterima kasih karna lolos dari omelan.

Kadangkala Erica suka tersenyum geli ketika masa-masa indah atau menyebalkan itu mengintip dikala lamunannya mengular . Persahabatannya dengan Alfons telah mengubah jalan pikiran Erica dan membuatnya menjadi seorang Erica yang baru dan tidak lagi acuh terhadap lingkungannya. Namun tidak pernah terjadi dan tidak akan mengurangi kesenangannya akan hujan. Hujan adalah rindu dan cntanya yang pertama. Lalu rindu dan cintanya yang kedua ? Erica memendam rasa itu rapat-rapat didalam dinding hatinya. Ada senyum yang ngilu ! Erica dan Alfons kemudian berpisah disaat memasuki sekolah menengah atas lantaran orang tuanya yang tinggal di belanda mendesaknya untuk pindah dan mandiri di kota dalam meneruskan sekolah. Hanya sesekali Erica kembali kekampung bila ada waktu libur sekolah untuk mengunjungi sang oma. Juga menemui Alfons yang bersekolah dikota lain dalam janji temu mereka. Begitu banyak cerita yang mereka umbar ketika bertemu sekalipun sering berhubungan melalui surel. Tak ada yang bisa mengalahkan kegembiraan mereka tiap kali bertemu, sampai-sampai Erica sama sekali tidak tahu jelas dengan sekolah yang diambil oleh Alfons.

Erica baru saja menyelesaikan sekolah menengahnya. Tekadnya akan melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri. Begitulah issuenya ketika derai tawa mengiringi keberhasilannya menyabet peringkat satu disekolahnya itu. Ya , itulah kebanyakan mimpi yang berserakan kala masih mengenakan seragam putih abu. Persoalan klasik yang timbul adalah kepintaran otak tidak dibarengi dengan kekuatan finansial dalam melangkah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tetapi tidak dengan Erica. Langkah itu telah dipersiapkan nya jauh-jauh hari ketika baru menginjak bangku smp. 

Erica seorang gadis cantik ( dan memang cantik ) selalu dilekatkan dengan mitos keberuntungan. Namun tidak ada yang tahu sejelasnya mengenai kehidupan Erica yang merupakan anak kost ketika mengejar sekolah menengahnya. Erica sendiri terlalu tangguh untuk gadis seusianya dengan membeberkan cerita kehidupan yang sesungguhnya kepada orang lain. Erica bisa tertawa dan bercanda ketika hatinya sedang gundah. Namun Erica adalah Erica . Segala cerita dan tawa dalam persahabatannya dengan Alfons diturunkannya menjadi sebuah cerita bersambung dalam salah satu koran dan majalah remaja. Dengan berbekal kepintarannya merangkai kata dan kalimat, Erica dapat menunjang sekolahnya disamping rajinnya dia menjual pernak-pernik remaja dari tali-tali kecil yang dipelajarinya dari Alfons.

Banyak hal yang dipelajarinya dari Alfons yang sangat membekas dan mengubah hidup Erica. Sekalipun cita-citanya kandas untuk kuliah diperguruan tinggi negeri incarannya namun Erica tidak kecewa karna dia mendapat hadiah yang tak terhingga. Sebuah beasiswa dari Washington College ! Itu adalah hal yang paling membanggakan dan Alfons juga yang rajin memberinya link untuk sekedar diikuti. Ternyata dari sekian banyak link yang disediakan oleh Alfons, ada yang memberinya beasiswa pahal dia sendiri nyaris lupa dengan apa yang dilakukannya pada website Washington College tersebut.

Namun Erica tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya ketika tidak bisa menemui Alfons ketika hendak berangkat ke Amerika. Tidak ada surel. Tidak ada jawaban untuk janji temu. Tidak ada hujan juga dikampung mereka. Hanya ada sebuah rosario berbentuk gelang yang terbuat dari biji besi bulat berwarna merah tua dengan salib yang terbuat dari koin uang seribu perak yang ada kuningan bulat ditengahnya. Koin itu ditengahnya diberi lubang-lubang kecil yang membentuk salib. Hanya itu saja yang ditemuinya. Itu adalah titipan Alfons , kata sang oma . Sebuah hadiah keberangkatan dan beasiswa dari Alfons namun tanpa ada pesan atau sebaris kalimat candaan. Hanya ada keterangan dari bibi Kasnem kalau Alfons tidak bisa meninggalkan sekolahnya.

Erica berusaha memakluminya. Masih ada surel, yakinnya. Namun yang paling parah adalah Erica tidak mengetahui persis sekolah apa yang diambil oleh Alfons dan dia juga tidak tahu nama lengkap Alfons. Astaga, bodoh sekali kamu Erica, keluhnya kemudian dan bertahun-tahun setelahnya.

Erica pergi membawa segala kenangan itu dan berharap hujan akan setia datang mengunjunginya dimanapun dia berada. Hujan masih setia mengetuk jendela kaca apartment yag ditinggali Erica selama hidup dan tinggal di kota Seattle untuk mengejar impiannya. Kehadiran si curly Kim sedikit mengobati rasa sesalnya karna jarang sekali surelnya terbalaskan oleh Alfons. Itupun hanya cerita- cerita tentang kesibukannya kuliah dan begitu banyak pertanyaan Alfons yang menderanya untuk menjawab. Sehingga nyaris tak ada kesempatan untuk bertanya bagaimana dan apa yang dikerjakan oleh sahabatnya itu. Erica juga tak berani mengusik Alfons dengan perasaannya yang terkunci rapat itu. Ingin rasanya Erica berteriak dan kepada lelaki itu bahwa dia mencintainya sejak berhujan- hujan dengan sehelai daun pisang itu. Namun entah mengapa mulutnya serasa terkunci dan membiarkan rahasia hatinya itu tergeletak sendirian disudut jiwa miliknya.

“ Mommy...are okay ?” tiba-tiba suara si curly Kim menyadarkan Erica dari dunia lamunannya. Erica menatap Kim yang memandangnya penuh tanya. Erica cepat-cepat mengusir segala lamunan itu dan tersenyum.

“ Mommy okay, honey...” kecupnya lembut dan senyum Kim mengembang penuh rasa bahagia, “ Next week we’ll see your grandma, honey. Do you like it ?” tanya Erica mengingatkan rencana mereka untuk kembali mengunjungi sang oma di kampung kelahirannya.

“ Yes , I like it mommy. I want to see everything you told me..” angguk Kim dengan mimik semeringah,” A..pa ka..bar ?” ucapnya dalam bahasa Indonesia dengan logatnya yang lucu dan menggemaskan .

“ Kabar baik..” jawab Erica tergelak dengan Kim yang mulai mengenal beberapa kata dalam bahasa Indonesia yang diajarkannya. 

Erica dengan sabarnya mengajari gadis kecil itu untuk lebih mengenal bahasa Indonesia walaupun lidahnya berusaha keras menyamai logat Erica. Hujan dan hujan tak mau berhenti sedangkan udara diluar begitu dingin karna musim gugur akan segera berakhir. Berkali-kali surel yang dikirimkannya kepada Alfons tidak mendapat balasan. Erica sedikit khawatir. Kepulangannya adalah untuk melampiaskan keberaniannya dalam mengungkapkan isi hatinya. Apapun yang terjadi Erica harus mengatakannya kepada Alfons.

Seminggu kemudian Erica dan Kimberly telah berada dipesawat KLM yang menuju ke Jakarta . Udara dingin diawal desember yang mulai bersalju membuatnya lega ketika pesawat mengudara menuju tempat kelahirannya. Kimberly sangat aktif sehingga mengurangi kesempatannya untuk melamun. Gadis kecil itu seperti tak merasa puas bertanya dan bertanya tentang bahasa ibunya supaya nanti bisa menyapa sang grandma , katanya.

Penerbangan dari kota Washington DC menuju Jakarta sangatlah panjang karna harus transit terlebih dahulu di Hongkong , Tokyo dan Singapura . Penerbangan yang mencapai 30 jam lebih itu tak membuat Erica kendur. Gairahnya melonjak setiap kali transit karna mimpinya akan bertemu kembali dengan laki-laki yang telah mengubah hidupnya sejak SMP. Aku rindu hujan. Aku rindu kamu, Alfons..jerit hatinya menikam deras dan menghunjam dalam-dalam. Hampir setiap transit , Erica melihat gemerlapnya bandara dengan hiasan natal dan itu membuat hatinya semakin rindu. Entah bagaimana dengan hiasan natal di gereja bawah bukit itu. Aku tak peduli dengan hiasannya, aku ingin menghirup udara dalam hujan disana bersama rindu yang telah menyiksaku nyaris enam tahun ini , keluhnya dengan gerah.

Dalam surelnya, Erica teringat Alfons pernah mengatakan tentang sebuah misa natal yang diharapkannya terjadi di gereja bawah bukit itu suatu hari nanti bersamanya.

“ Dear Erica..

Masih ingat dengan suasana natal sederhana nan syahdu di gereja bawah bukit itu ? Aku yakin kamu ingat. Aku selalu bermimpi kita akan bertemu lagi disana suatu hari nanti. Aku ingin menikmati kolak ubi merah bibi Kasnem sambil berdiang didepan api unggun bersama kamu. Ah, tapi kamu jangan bawa kekasih atau suami , ya...itu hanya akan menyiksa api unggun itu dan membuat hambar rasa kolak bibi Kasnem yang enak hahahaha....

Dear Erica..

Bagaimana dengan kehidupanmu di Seatte ? Wah, tentu menyenangkan kuliah dan tinggal di kota yang pernah dibuat filmnya itu. Ingat Sleepless in Seattle ? Ah, sungguh beruntung itu duda karna dipertemukan dengan seorang penyiar radio yang cantik. Kayaknya kamu lebih cantik dari penyiar itu..hahaha..

Dear Erica...

Pernah juga aku berangan pergi ke Seattle untuk menemuimu. Disana kita bisa menikmati cangkir demi cangkir kopi dari seluruh cafe yang kamu bilang banyak bertebaran disebuah jalan. Tentu akan sangat menyenangkan dan mungkin akan membuat kita tidak bisa tidur selama seminggu karna kaffeinnya...

Dear Erica...

Ingat kita pernah menangkap kepiting sawah ? Ternyata kamu doyan makan kepiting sawah juga hahaha...Aku jadi ingin menikmati rajungan yang besar dan kata kamu banyak yang jual di fresh market di kota Seattle. Wah, bisa-bisa aku bangkrut dan kamu cemberut karna mesti membayar tiketku untuk pulang. Aku juga ingin merasakan nikmatnya fresh oyster ( seorang teman pernah bercerita kepadaku tentang fresh oyster ) yang dicampur dengan lemon dan menyeruputnya langsung dari cangkangnya. Kira-kira nanti bagaimana ya reaksi perut kampung kayak aku ini ? Ah, kamu jangan tertawakan kekampunganku Erica..., awas nanti aku tidak mau menemani kamu hujan-hujanan lagi..

Dear Erica...

Hidup ini penuh misteri ya. Ternyata kamu selalu menjadi sumber kekuatanku untuk terus melangkah. Aku terus berdoa dan berharap kamu menjadi apa yang kamu impikan selama masa kecil. Aku tahu kamu akan terus menyimpan dan berdoa Rosario melalui gelang yang kutitipkan dulu itu. Maafkan aku, Erica..waktu itu keadaan tidak memungkin untuk menemui kamu seperti yang sudah-sudah. Suatu hari nanti kalau kita bertemu, aku akan menceritakan semuanya. Mungkin akan kamu jadikan sebuah novel ya ? Ah, kamu memang seorang gadis yang hebat dan aku begitu bangga menyimpan dirimu agar selalu menyemangatiku dalam melangkah. Maafkan juga karna aku belakangan sangat sibuk, jadi tidak bisa selalu membalas surel yang kamu kirimkan...

Dear Erica...

Setiap kali hujan , aku selalu teringat dengan kenekatan kamu waktu itu. Entah mengapa aku begitu merindukan hujan dan rasanya ingin berlari sambil berpayung dengan sehelai daun pisang . Napasku sesak setiap kali hujan deras. Bagiku daun pisang itu bagaikan gairah hidup untuk selalu melindungi dan menjaga apa yang menjadi berkat hidup kita. Entahlah, apakah di Seattle ada pohon pisang, lalu kamu ambil daunnya ketika hujan mengguyur Seattle ? Mungkin akan ada tetangga yang menelpon 911 karna mengira ada orang gila menari-nari ditengah hujan sambil berpayungkan sehelai daun pisang. Hahahaha...maafkan aku , ya. Aku kira kamu tidak akan senekat itu sendirian...

Dear Erica...

Kabarkan kalau suatu hari nanti kamu akan kembali mengunjungi gereja kecil dibawah bukit itu. Mungkin Desember 2013 nanti aku akan kembali kesana untuk merayakan natal yang paling meriah disana. Kalau saja kamu ada kesempatan, pulanglah. Syaratnya tetap sama, jangan bawa kekasih atau suami. Aku masih ingin merasakan manisnya kolak ubi merah buatan bibi Kasnem. Kalau kamu tetap bawa kekasih atau suami , lebih baik ikat atau borgollah dia dihotel dan kamu sendirian kesini. Hujan pasti akan turun karna memang desember adalah musim hujan yang paling meriah. Akan kusediakan sehelai daun pisang yang paling lebar yang pernah tumbuh disini. Kita akan berhujan-hujanan sampai masuk angin dan napas tersengal karna pilek. Jangan khawatir , api unggunnya akan siap untuk kita berdiang sambil menggigil. Biarkan bibi Kasnem mencerca kita dengan omelannya. Dia sayang sama kamu. Dia juga sayang aku..

Dear Erica...

Ini adalah surel yang terpanjang dan menyentuh beberapa pokok yang mengusik pikiranku belakangan ini. Aku selalu berdoa dan berharap surel ini tidak pernah mengusik kelangsungan hidup kamu. Aku percaya karna kamu adalah sosok yang paling teguh dengan keyakinanmu sendiri. Aku pernah bermimpi kalau kamu adalah seorang malaikat yang diturunkan kedunia untuk menjadi pemicu semangat bagiku . Aku sungguh menghargai dan meletakkan kamu serta keyakinanmu itu diatas sebuah gerbang yang setiap saat kulewati untuk mengingatkanku akan sebuah harapan. Jangan pernah menyerah atas apapun, Erica karna aku juga tak pernah meletakkan kata ‘ menyerah ‘ dalam hidupku . Lif is so beautiful and so colorful . It’s a wonderful tonight, kata Eric Clapton. Kita pernah nyanyi itu sehingga membuat pastor tidak bisa tidur, bukan ? Aah, betapa aku sangat merindukan hari hujan di gereja kecil bawah bukit itu.

Dear Erica...

Baiklah , surel ini terlalu panjang dan mungkin akan membunuhku suatu hari nanti. Lain kali akan kukirimkan surel lagi . Dunia masih akan indah, Erica walau apapun yang akan terjadi nanti. Salam rindu dan sehelai daun pisang Erica , dari Alfons yang kamu lupa menanyakan nama belakangku ( aku tidak akan memberitahukannya disini..nanti saja, ya..)”

Erica tersenyum. Hatinya berdenyut lagi. Astaga, kenapa aku menyimpan rindu ini begitu lama ?, keluhnya dalam hati. Setitik air mata mengalir ketika membaca kembali surel Alfons dengan laptop yang dibawanya. Sedangkan Kimberly telah jauh lelap dalam letihnya dengan penerbangan panjang itu. Untunglah dia bisa menikmati kursi business class itu dengan leluasa sehingga tidurnya tidak terganggu . Erica bersyukur dengan keberhasilannya sehingga membeli tiket business class tidaklah menjadi masalah baginya. Erica menikmati kesendiriannya dipesawat yang sudah melewati transit terakhir yaitu bandara Changi Singapura. Itu berarti kurang lebih dua jam lagi dia akan tiba di Jakarta yang sudah cukup lama ditinggalkannya.

Erica menarik napas. Segala sesuatu telah dipersiapkannya agar kedatangannya tidak membuat sang oma yang sudah tua itu menjadi sibuk. Erica telah memesan kamar di Sheraton Hotel untuk semalam sebelum kembali ke kampungnya. Untunglah ada seorang temannya semasa sekolah dulu bersedia menyediakan mobil yang akan membawanya kembali kekampung menemui sang oma belanda yang sangat disayanginya itu. Erica membuka kembali surel-surel balasannya terhadap Alfons , seperti ingin mengingatkan kembali apa yang selama ini dipendam hatinya.

“ Dear Alfons..

Aah, kamu menyiksa hatiku dengan mengingatkan gereja kecil di bawah bukit itu. Tentu saja aku sangat merindukannya. Bagaimana kabar bibi Kasnem ? Aku rindu dengan kolak ubi merahnya yang manis itu. Aku juga rindu dengan hujan disana dan api unggun yang kamu buat itu. Rambutku bau kayu bakar berhari-hari dan kadang aku merasa seperti tinggal dijaman batu hahaha...Tenang saja, Alfons..takkan kubiarkan yang namanya kekasih atau suami mengusik kenangan kita disana. Sayangnya selama ini aku belum punya kekasih , apalagi suami. Mungkin mereka takut ketika kuceritakan tentang dirimu, Alfons. Mereka kira kamu adalah seorang dengan kepandaian black magic hahahaha...

Dear Alfons..

Aku selalu menyenangi kota Seattle. Mungkin karna gara-gara nonton film itu. Tentu saja aku lebih cantik , buktinya ada yang mencuri-curi pandang sewaktu kita berdiang di api unggun ketika hujan-hujanan dulu. Nah, ketahuan kan siapa ? Hayu...ngaku deh..

Dear Alfons...

Tentu saja akan menyenangkan bila kamu mau ke sini. Akan kutemani kamu menikmati kopi , aku jamin kamu akan merasakan matamu berkunang-kunang karna kopi hahahaha...aku suka menikmati kopi dipojokan itu, sekedar membaca surel kamu dan berharap kamu akan mengabarkan kedatanganmu. Tapi kapan, Alfons ?

Dear Alfons...

Hahaha...tentu saja masih ingat. Kamu juga ternyata doyan dengan kepiting sawah yang kita bakar itu. Itu saat-saat yang sangat menyenangkan dalam hidupku, Alfons. Menikmati kebersamaan dengan apa adanya. Aku suka kepiting dan disini di fresh market, banyak sekali resto yang menjual kepiting rajungan. Mungkin kamu akan ngeri melihatnya, Alfons..rajungannya kalau direntang bisa 50 sampai 60 senti panjangnya. Oh, iya mengenai oyster. Disini sangat fresh karna diambil langsung dari laut..Aku penah makan itu. Awalnya ngeri makan oyster mentah dan masih hidup itu tapi setelah dikasih perasan lemon jadi enak sekali. Tapi kalau kamu kesini dan makan oyster, jangan banyak-banyak ya..nanti perut kampungmu itu ngambek hahahaha...aku akan tetap tertawa, Alfons..habis kamu selalu menggodaku..dan kita akan tetap selalu hujan- hujanan bersama atau kamu akan rugi tidak bisa bersamaku...

Dear Alfons...

Terima kasih , Alfons. Kamu juga selalu menjadi inspirasi dalam hidupku. Ingat, kamu adalah orang pertama yang mencelaku pada saat baru bertemu. Aku sempat mogok bicara waktu itu, maafkan aku Alfons..Tetapi setelahnya aku harus berterima kasih karna kamu telah mengubah seluruh panduan hidupku. Kamu telah membuka sebuah pintu yang lain dan ternyata begitu semarak. Gelang rosario itu selalu kupakai dan setiap malam selalu kupanjatkan doa untukmu. Aku selalu ingin mendengar cerita-ceritamu, Alfons dan kekonyolan yang kadang kamu sisipkan didalamnya. Aku selalu rindu itu. Aku pun sedang mempersiapkan sebuah novel tentang kamu , aku dan gema ripah tentang hujan yang membuat kita selalu tersenyum . Aku ingin sekali bertemu denganmu, Alfons..jangan terlalu sibuk sehingga nanti bisa membuatmu melupakan aku. Kalau itu yang terjadi, maka kamu harus menerima hukumannya..menggendongku dalam hujan menuju ke gereja kecil itu...Aku serius, Alfons..jangan terlalu sibuk.

Dear Alfons...

Aku sedih tiap kali hujan disini dan aku sedih karna jarang sekali hujan. Aku juga sedih karna tidak mungkin disini aku hujan-hujanan, apalagi tidak ada pohon pisang yang bisa kuambil daunnya. Benar katamu, kalau aku nekad maka yang dipanggil adalah polisi yang akan segera memborgolku dan memasukkan aku kepenjara. Lalu siapa yang akan menjengukku ? Tidak, Alfons..aku hanya bisa memandangi hujan dan kadang menangis dari balik jendela kaca. Aku tinggal disebuah apartment dan itu sudah kuceritakan dulu. Disini harus serba praktis karna biaya hidup juga tinggi. Aku rindu dengan hujan kita, Alfons..juga daun pisang yang kamu ambil entah dari mana itu..

Dear Alfons...

Aku akan kembali desember 2013 nanti, Alfons. Tunggulah aku. Ketika menerima surelmu, aku telah mengajukan cuti untuk bulan desember agar aku bisa merayakan natal digereja kecil itu. Kita harus bertemu karna begitu banyak yang ingin kukatakan kepadamu, Alfons. Kamu harus menemuiku dan aku tidak mau mendengar apapun alasan ketidak-hadiranmu. Aku tidak membawa kekasih atau suami karna aku memang tidak punya . Kasihan sekali ya aku ini, Alfons ? Seorang gadis cantik dan pintar tapi tak laku untuk menggaet bule-bule disini. Itu karna aku tak ingin ada bule yang menggantikan tempat seseorang yang sudah menempati hatiku, Alfons. Jadi aku juga tak perlu beli borgol hahahaha..aku masih ingin merasakan manisnya kolak ubi merah bibi Kasnem dan tak akan kubiarkan omelannya mengusik keasyikan kita berhujan-hujanan, sekalipun harus sakit karnanya..

Dear Alfons...

Kenapa kita selalu berpikiran sama, ya ? Kupikir kamulah sang malaikat yang diutus Tuhan untuk menaungi hidupku. Seorang malaikat yang baik hati dan mengerti serta membuka pintu bagi kehidupanku. Tentu saja aku masih ingat dengan segala kegilaan kita di gereja kecil itu. Untunglah pastor Lambregs tidak usil melapor pada oma, kalau tidak bakalan aku kena cekal oma. Suaramu bagus dan selalu bisa kudengar sampai kapanpun, Alfons..suaramu selalu menemani aku kala aku sedih hanya bisa menatap hujan dari balik jendela kaca. Aah..kita harus bertemu, Alfons..jangan sampai kamu punya alasan lagi..

Dear Alfons...

Aku selalu merindukan surelmu , tak peduli betapa panjang atau berapa lama baru habis kubaca. Banyak yang harus kamu ceritakan kepadaku dan maafkan aku, Alfons...memang konyol, aku tak pernah menanyakan nama lengkapmu. Tapi bagiku kamu selalu lengkap dengan nama Alfons, aku tak perlu nama lengkapmu. Bagiku kamu adalah pijar matahari yang senantiasa menghangatkan aku dalam mengarungi hidup. Aku rindu, Alfons..rindu pada segala-galanya. Tunggulah, aku pasti kembali desember 2013 dan kita akan merayakan natal yang paling indah. Mungkin Tuhan sendiri akan merasa iri dengan keindahannya..Tunggu aku, Alfons.. Dari Erica yang sempat mogok bicara karna kamu rada angkuh mencelaku dulu hahahaha....”

Erica tersenyum kecut sembari mengusap kembali bening airmata yang mengusik wajahnya. Pesawat KLM yang ditumpanginya dan telah mengarungi perjalanan panjang itu akhirnya mendarat juga di bandara international Soetta. Waktu menunjukkan jam 17.46 menjelang malam. Erica perlahan membangunkan Kimberly yang tampak lelap menikmati keletihannya. Ini adalah perjalanan panjang pertamanya dengan pesawat terbang. Wajah cantik si curly tampak sedikit kebingungan karna terbangun bukan pada ranjang di apartment mereka. Erica tersenyum dan mengecup wajah cantik itu sepenuh hatinya. Kimberly memeluknya erat-erat . 

“ Are we here, mommy..?” tanya Kimberly lirih, masih mengantuk.

“ Yes, honey..we are here in Indonesia, remember gado-gado ?” angguk Erica sambil menciumi sang buah hati.

“ Yeaah..gado..gado..like salad, mommy..” jawab Kimberly tertawa kecil.

“ Yes honey..like salad , mommy has made it for you last week..” Erica ikut tertawa mendengar suara lucu Kimberly.

“ I like it, mommy..gado..gado..” tawa kecil itu nyaris mengalahkan deru pesawat jumbo jet tersebut, “ Can we get it here ?” tanyanya kemudian.

“ Of course , honey. We will hunting for many kind of good meal in here..You ‘ll fall in love with country..” angguk Erica tersenyum.

“ Thank you mommy..I love you so much..” peluk Kimberly kemudian.

“ I love you too , honey..” Erica balas memeluk Kimberly seakan tiada lagi hari esok untuk dilewati. Pesawat sedang mengambil posisi untuk parkir di bandara yang masih sangat sibuk itu.

Dua jam kemudian Erica dan Kimberly sudah menempati kamar di Sheraton Hotel dibilangan jalan protokol setelah menikmati makan malam bersama temannya yang menjemput mereka. Begitu besar kegembiraan Erica , sekaligus merasa asing dengan perkembangan kota Jakarta, terutama macetnya yang semakin parah. Bagi Erica yang memang mendidik dirinya untuk selalu disiplin dinegeri orang maka kehadirannya kembali dinegeri sendiri membuatnya merasa asing. Ternyata masyarakat tak ernah mau belajar mendisiplinkan dirinya sehingga kesan semerawut terutama berlalu lintas begitu mengerikan. Namun hal itu tak begitu mengusiknya karna ada hal yang lebih penting untuk dilakukan.

Kimberly yang masih kelelahan langsung terlelap lagi. Erica membiarkannya dan dirinya kemudian sibuk mengalihkan nomor telepon selulernya dengan provider lokal supaya bisa menghubungi sang oma. Tentu saja sang oma sangat gembira mendengar Erica telah tiba kembali di Jakarta. Erica sangat tidak sabar untuk segera menemui sang oma untuk melampiaskan rasa rindunya. Tentu saja rindu bertemu dengan Alfons. Surelnya belum dibalas oleh Alfons namun Erica percaya bahwa Alfons akan menepati janjinya untuk merayakan natal di gereja kecil bawah bukit tempat mereka dulu saling mengenal.

Menjelang tengah malam Erica baru bisa memejamkan matanya setelah sibuk mengirimkan surel maupun sms untuk menghubungi teman-temannya yang mengenal Alfons. Namun Erica tidak mendapatkan satu jawabanpun, Erica menyerah. Mungkin mereka semua sudah tidur atau tidak lagi mengenalnya. Erica membawa semua harapan dan pertanyaannya dalam letih yang lelap.

Tanggal 24 desember 2013, desa Cidahu - Sukabumi.

Hawa dingin yang dibarengi desah hujan menyambut kedatangan Erica menuju kerumah sang oma. Nyaris tak ada yang berubah pada rumah itu. Hanya saja makin banyak rumah yang berdiri disekelilingnya. Jalanan kini telah diaspal walau tidak sebagus jalanan kota. Lumayanlah kalau hujan tidak lagi harus melewati jalan becek penuh tanah merah menggumpal disepatu atau kaki. Erica dan sang oma saling berpelukan melepas rasa rindu yang hilang hampir enam tahun sejak kepergian Erica ke Amerika.

Pertemuan itu sangatlah membahagiakan masa tua sang oma dan begitu banyak cerita yang mereka sampirkan sehingga waktupun melewati senja . Tak ada waktu untuk menelusuri jalan menuju ke gereja kecil dibawah bukit dekat air terjun itu. Tak apa, pikir Erica karna misa natal hanya diselenggarakan pada tanggal 25 desember pagi dan itu adalah waktu yang dijanjikan Alfons untuk bertemu. Lagipula Erica harus memperhatikan Kimberly yang sedikit merasa asing dengan lingkungan dikampung itu. Begitu banyak pertanyaan Kimberly yang harus dijawab Erica mengenai kampung yang sunyi itu. Tentang saluran HBO yang tidak bisa dilihat pada televisi berukuran 21 inchi itu. Atau tentang tempat tidur sederhana milik Erica dulu dan masih terjada dengan baik hingga kepulangannya sekarang ini. 

Namun Kimberly sangat senang karna ada pohon natal dengan lamu-lampu kecil berkelap-kelip menemani suara jangkrik yang mendenging. Kerlap-kerlip lampu dipohon natal itu mengingatkan rumah yang ditinggalinya di Seattle dan itu sedikit banyak menenangkan hatinya. Sayup-sayup terdengar lagu White Christmas yang dinyanyikan oleh Bing Crosby memenuhi kesunyian dengan suara emasnya.

I’m dreaming of a white Christmas
Just like the ones I used to know
Where the treetops glisten and children listen
To hear sleigh bells in the snow

I’m dreaming of a white Christmas
With every Christmas card I write
May your days be merry and bright
And may all your Christmases be white

I’m dreaming of a white Christmas
With every Christmas card I write
May your days be merry and bright
And may all your Christmases be white

Sehari lagi terlewati sudah. Erica tidak pernah menyesali hari ini tidak bisa bertemu dengan Alfons. Dia percaya bahwa besok adalah hari yang paling membahagiakan baginya. Besok adalah hari natal yang sangat istimewa karna akan bertemu lagi dengan Alfons yang selalu memenuhi hatinya selama tahun- tahun penuh perjuangan dinegeri orang.

Erica juga telah menyiapkan hadiah-hadiah natal buat sang oma dan Kimberly didekat pohon natal yang berkelip sendirian dipojok ruang tamu itu. Sebuah hadiah natal juga khusus dipersiapkannya untuk Alfons serta bibi Kasnem.

Mereka adalah orang-orang yang tak pernah hilang dalam perjalanan hidupnya. Namun dimalam natal yang sunyi itu, Erica juga sempat menitikkan air mata mengingat kerinduannya akan Alfons . Mengingat kebodohannya memenjarakan perasaan hatinya kepada Alfons. Erica berdoa dikesunyian malam natal ini dan bertekad akan menuntaskan pembebasan perasaan yang sudah terpenjara dalam hatinya sekian tahun sejak kepergiannya ke Amerika. 

“ This is not about dream but this is my life, I love you Alfons..”, bisiknya terkulai dalam nyenyak dan bau bantal masa lalunya.

Merry Christmas. 25 Desember 2015. Hujan membasahi bumi.

Erica bersama Kimberly dan sang oma berangkat menuju ke gereja kecil dibawah bukit yang dekat air terjun itu. Sang oma yang usianya 65 tahun itu masih sigap mengendarai mobil datsun keluaran tahun jadul tersebut. Kimberly tampak senang menikmati pemandangan sawah-sawah yang belum pernah dilihatnya dan tawa kecilnya mengisi kegembiraan mereka. Erica senang memberikan pengalaman yang luar biasa itu kepada Kimberly agar mengikatnya erat-erat dalam benak anak itu bahwa negeri kelahiran sang mommy sangatlah menggiurkan. Mata anak itu berbinar-binar ketika menikmati pemandangan hijau yang ada disekeliling jalan yang mereka lalui. Kegembiraannya melonjak. Erica bahagia. Sang oma tersenyum melihat wajah-wajah cerah yang sangat dirinduinya itu.

“ Mommy...it’s green everywhere..” teriak Kimberly bernafsu melihat sawah yang sama sekali belum pernah dilihatnya itu.

“ Yes, honey. Just spell it...sawah..” goda Erica tertawa.

“ Sa..wa..h...” tirunya dengan suara lucu,” What is that mommy ?’ tanyanya kemudian.

“ That’s the rice come from these plans honey..do yo know about rice ? White color that we eat for lunch sometimes ? Nasi ?” jelas Erica sedikit kebingungan dengan pertanyaan itu.

“ Yeaahh..! I know it mommy...delicious..I like it..” angguknya dengan cepat sambil tertawa gembira. Semuanya tertawa dengan kecerdasan Kimberly. Erica bahagia. Namun ada yang mengusik hatinya. Entah apa.

Sepanjang perjalanan mereka banyak menemui orang-orang yang ingin merayakan mis natal dengan segala kegembirannya. Datsun tua itu merangkak dan berderit ketika jalanan mulai menanjak, untunglah jalan sudah cukup baik sekalipun dengan aspal yang kadangkala berlubang disana-sini. Akhirnya mereka tiba digereja kecil dibawah bukit itu. Hawa dingin semerbak menyergap mereka ketika turun dari mobil tersebut. Namun hal itu tidak terlalu mengusik Erica maupun Kimberly. Tidak juga ada sang oma yang mengenakan sweater tebalnya.

Sejenak Erica menikmati udara segar yang mengisi paru-parunya. Kenangan indah segera menangkap dan memenjarakan hatinya.

Pandangannya mencari-cari sosok yang ingin segera ditemuinya. Tidak ada. Tidak tampak sosok tersebut. Kemana dia ? Bahtin Erica ingin menjerit. Mungkin sedang sibuk, bujuk hatinya menghibur sedikit. Kadang memang sulit berharap kalau Alfons duduk santai digereja itu, ada saja kesibukannya. Erica maklum setelah sekian tahun mengenalnya. Lalu kemana bibi Kasnem ? Erica ingin berlari mendapatkan bibi Kasnem yang kesehariannya mengurusi dapur pastoran. Namun misa akan segera dimulai. Erica terpaksa mengurungkan niatnya dan menggandeng Kimberly memasuki gereja yang berbentuk joglo sederhana itu. Tak banyak yang berubah selama kepergiannya. Gereja kecil itu tak ingin bermegah sementara iman masih terus berjalan ditempat. Atau memang itulah kesan yang ingin ditampilkan, sederhana dalam iman seperti yang telah diteladani oleh kelahiran sang juru selamat, Yesus Kristus yang lahir di kandang. Iman haruslah sederhana dan tidak memaksakan diri, begitulah yang sering didengar Erica ketika pastor Lambregs sedang berkotbah. Seperti dirinya seorang misionaris yang jauh dari kampung halamannya hanya untuk membina iman umat gereja dan berbagi kasih dengan warga yang berbeda imannya tanpa memisahkan mereka dari kehidupannya. Makanya seringkali para warga yang lain hadir digereja itu tanpa harus berpindah agama. Mereka hanya merasa sejuk dengan keramahan dan keterbukaan pastor belanda tersebut. Iman harus menghidupkan jiwa dan bukan malah membuatnya kerdil, pesan pastor lambregs ketika misa- misa yang telah lalu dan diikutinya. Sebuah pesan sederhana namun memberi kesejukan bagi siapapun yang mendengarnya.

Namun Erica tidak lagi melihat kehadiran pastor Lambregs yang ramah dalam sinar kebiruan dimatanya itu. Yang mengadakan misa natal itu seorang pastor dari lain paroki. Mungkin sedang ada kesibukan lain atau sedang tidak enak badan karna usianya telah mendekati 80 tahun, hibur hati kecilnya. Kidung natal mengalun syahdu dengan iringan sebuah organ tua, sama seperti yang memainkannya, seorang koster yang juga lanjut usianya. Maklumlah status gereja itu hanyalah sebuah stasi, jadi seorang koster ( asisten pastor untuk mempersiapkan misa ) harus pula menjadi pemain organ tua itu. Yang memimpin menyanyi kidung-kidung indah itu juga seorang perempuan tua yang jalannya nyaris terbungkuk saking langkanya umat yang menguasai buku kidung itu. Tak apa , toh Yesus sendiri lahir dalam kesederhanaan di sebuah kandang. Jadi umatNya janganlah mengeluh karna sebuah simbol kesederhanaan. Sebuah pohon natal yang cukup tinggi dan telah rontok dibeberapa daunnya tampak anggun bermandikan cahaya lampu kerlap-kerlip mendampingi sebuah koreografi kandang dimana sang penebus dilahirkan.

Erica nyaris menangis melihat pemandangan yang nyaris tidak berubah itu. Erica menunduk penuh rasa syukur atas nikmat yang dilaluinya. Itu takkan terbantahkan sampai kapanpun. Ada rasa tenang dan sejuk menggulung jiwa serta hatinya ketika perjamuan kudus itu berlangsung nyaris dua jam. Begitulah kalau ada upacara khusus seperti natal atau paskah. Kimberly tampak seperti takjub mengikuti seluruh jalannya misa dan tak henti-hentinya dia tersenyum. Tingkahnya begitu lucu ketika berusaha keras mengikuti jalannya misa sekalipun tidak bisa mengerti dengan bahasa tersebut. Akhirnya misa itupun berakhir dan didalam penutupan misa itu sang pastor memberikan berkat natal kepada semua umat yang memenuhi gereja kecil dan mendoakan mereka agar gairah natal semakin mendekatkan mereka dengan sesama dan mengasihi mereka tanpa harus memandang siapakah mereka itu.

“ Saudara-saudari yang terkasih didalam Yesus..” ucapnya ketika dipenghujung misa dengan suara memendam rasa sedih,” Hari ini kita merayakan kelahiran sang juru selamat kita, Yesus Kristus. Bahwa didalam kelahiran sang juru selamat memberikan kita kegembiraan sekalipun hidup kita tidak selalu dalam keadaan gembira. Namun hendaknya kita berserah diri dalam iman kita...” lanjutnya sambil mengatur napas dan mengambil sehelai kertas yang tampak tak ingin dibacanya dihari yang membahagiakan itu.

“ Mungkin tidak banyak yang mengenal pastor pengganti dari pastor Lambregs yang telah pergi mendahului kita menuju kepada Bapa di surga, setahun yang lalu. Pastor Lambregs telah memberikan kita contoh yang sedemikian nyata dalam berkarya dan hidup diantara perbedaan. Hendaknya kita selalu meneladani beliau dalam hidup kita sehari-hari. Dan seperti kita ketahui penggantinya adalah pastor yang ditahbiskan pastor Lambregs sendiri sebelum pergi kerumah Bapa. Beliau adalah putra daerah yang terbaik dan lahir untuk mengabdi dalam kerajaan Bapa di surga. Beliau adalah pastor Alfonso Eduardus Kiapoli. Namun sayangnya beliau memendam sakit yang sudah terlalu lama dan begitu tegar menjalani pendidikannya sejak seminari pertama sampai kepada tahbisannya. Sehingga pastor Alfonso Eduardus Kiapoli pr ( projo ) harus menyerah pada sakitnya dua hari yang lalu dan kini telah beristirahat yang tenang disebelah mentornya yaitu pastor Lambregs yang kita cintai itu, dikebun belakang gereja ini....” jelasnya panjang lebar dengan suara letih.

Erica sendiri terpuruk sedih. Ternyata pastor Lambregs telah berpulang kerumah Bapa setahun yang lalu. Ah, kenapa Alfons tidak mengabarkannya ? Keluh Erica nyaris hiteris sendiri sambil mengusap bening air di matanya. Lalu siapa pastor Alfonso Eduardus Kiapoli ini ? Gumamnya dengan sedikit aneh. Ah...sudah telalu lamakah aku pergi ?, keluhnya kemudian.

“ Kemana Alfons ?” sebuah tanya menggelegar dalam benaknya.

“ Dan tadi malam kami telah menemukan sebuah surat yang ditinggalkan pastor Alfonso kepada seseorang yang telah menjadi inspirasi kekuatannya dalam melawan rasa sakitnya hingga pada saat terakhir ketika dipanggil Bapa untuk kembali kedalam kerajaan surga. Saya akan membacakan surat itu dan kiranya beliau menghendaki suratnya dibacakan pada saat misa natal hari ini...” ucap sang pastor dengan suara terdengar begitu sedih , membuat para umat yang hadir tercekam dalam kesedihan pula.

Erica meringis. Erica merasakan dentaman luar biasa pada detak jantungnya.

“ Selamat hari natal, saudara-saudaraku yang terkasih dalam Kristus. Saya berdoa dihari terakhir ini untuk saudara-saudaraku semuanya agar kasih Kristus selalu melindungi dan menjaga kita semua. Jangan sedih atau menangis kalau saya harus menulis dan berpamitan kepada saudara-saudaraku disini. Saya minta maaf karna hanya setahun bisa melayani gereja kita sekalipun saya ingin sampai seribu tahun untuk melayani. Namun Bapa disurga berkata lain dan saya harus menyerah ketika Bapa mengatakan, sudah cukup untuk saat ini. Namun selama ini saya selalu mendapatkan kekuatan untuk terus melangkah. Saya puya seorang sahabat dan akan selalu menjadi kerinduan saya. Darinya saya banyak belajar tentang keyakinan. Saya mencintainya. Saya mengasihnya. Saya merindukannya dan akan selalu merindukannya. Terutama pada saat hujan. Saya mencintai hujan dan menikmatnya. Saya tidak merasa berdosa atau menghianati sumpah imamat saya ketika saya mengatakan saya mencintainya. Karna dalam hidup imamat kita tidak cukup hanya mencintai hidup selibat saja. Saya juga seorang manusia yang memiliki segala kelemahan dan Bapa di surga tahu itu. Itulah sebabnya saya berani berkata, bahwa saya merindukan kehadirannya. Saya mencintai kehadirannya selama ini. Saya tidak merasa malu mengatakan saya mencintai dia dalam kehidupan selibat saya. Namun untuk kesekian kalinya saya telah mengabaikan janji temu saya. Seharusnya saya hadir pada misa natal ini karna banyak yang harus saya katakan tentang saya dan nama lengkap saya. Saya harus menjelaskan alasan-alasan saya mengapa tidak bisa selalu menjawab tiap surel yang dikirimkannya kepada saya...” pastor berhenti membaca.

“ Bruuukkkk...” suara tubuh Erica yang tak sadarkan diri memutus pastor yang sedang membacakan surat terakhir pastor Alfonso Eduardus Kiapoli itu.

Tampak beberapa umat panik termasuk sang oma untuk menyadarkan kembali Erica yang jatuh pingsan. Kemudian pastor itu mengambil keputusan untuk meneruskan membaca surat tersebut.

“ Maafkan saya karna saya telah menyimpan sakit ini sejak kita mulai bersahabat ketika hujan deras itu. Maafkan juga karna pada saat itu saya mendapatkan kekuatan yang luar biasa untuk meneruskan rencana dalam mengabdi kepada gereja. Maafkan saya karna tidak sanggup untuk menceritakan ini semua kepadamu, baik lewat surel maupun ketika bertemu langsung. Saya hanya tak ingin membuat engkau terusik ketika menuntut ilmu dinegeri orang. Maafkan saya untuk semua ini, juga untuk perasaan manusiawi yang saya simpan rapat ini. Mungkin engkau akan marah tetapi saya tahu bahwa engkau tidak memiliki kemarahan yang lama. Kini saya harus berbaring. Berbaring dibawah pohon-pohon pisang dikebun belakang. Saya ingin menjadi sehelai daun pisang yang lebar untukmu agar bisa menaungi engkau kala hujan deras menemani tarianmu. Saya akan memberi waktu untukmu berlari menuju tempat berteduh dengan sehelai daun pisang didekat rumah persinggahan terakhir ini. Engkau bisa memetiknya kalau ingin menikmati hujan kesukaanmu.
Dear Erica , salam damai sejahtera dan selalu dalam berkat melimpah kristus Yesus . Aku mencintaimu. Aku rindu kepadamu dan kepada hujan dimana kita selalu menikmati rasa gigilnya. Oh, iya..namaku adalah Alfonso Eduardus Kiapoli dan kamu hanya mengenalku sebagai Alfons. Selamat natal , Erica. Selamat natal Kimberly. Tuhan akan memberkati kalian selamanya.”

Ps: aku tahu tentang Kimberly dari seorang teman dan aku bangga denganmu, Erica. Terima kasih telah menjadi obor dan inspirasi dalam hidupku ini.”

Pastor itu selesai membaca surat terakhir dari Pastor Alfonso Eduardus Kiapoli pr yang diwasiatkannya untuk dibaca pada akhir misa natal itu.

“ Terberkatilah engkau , anakku. Terberkatilah dalam Kristus Yesus. Semoga damai senantiasa menyertaimu..” bisiknya penuh haru.

Erica tak bisa menahan rasa sedihnya. Erica menangis penuh dengan rasa sesal. Kepalanya serasa berputar dan hatinya seperti ditikam dengan cangkul tumpul.

Kesedihan merambat dalam kegembiraan natal itu. Sang pastor kemudian menyerahkan surat itu kepada Erica yang merasa jiwanya melayang jauh mengejar Alfons yang telah pergi dua hari yang lalu itu.Alfons telah membawa semua rindu dan cintanya yang terpenjara sekian lama itu entah kemana. Mungkin memeluknya ketika menapak masuk kedalam surga.

Erica telah kehabisan kata-kata untuk diucapkan ketika memandangi gundukan tanah merah yang kini telah menjadi tempat terakhir yang disinggahi Alfons. Bibi Kasnem memotong sehelai daun pisang yang paling lebar dan bagus kemudian menyerahkannya kepada Erica bersama setangkai mawar putih. Bibi Kasnem tidak bicara namun airmata menelusuri pipi keriputnya. Kimberly dan sang oma hanya berdiri dikejauhan dalam sunyi dan kesedihan mendalam.

Erica lalu meletakkan daun pisang itu menutupi pusara Alfons dan memberinya setangkai mawar putih sebagai tanda kesucian cinta dan rindunya kepada lelaki yang tidak diketahui nama lengkapnya itu sampai pada saat terakhir.

“ Pergilah Alfons..pergilah dalam damai kerumah Bapa disurga, Alfonso Eduadus Kiapoli. Pergilah bersama rinduku. Pergilah bersama cinta suci kita sekalipun kita tak pernah membicarakannya. Aku akan merindukanmu selamanya. Juga mencintaimu..Pergilah, Alfons..damai Kristus bersamamu..” bisik Erica nyaris tak terdengar.

“ Amin...” bisik bibi Kasnem tak sanggup melihat kesedihan ERica dan memeluk gadis itu dengan penuh kasih sayang dan penghiburan.


Gerimis mulai turun dan udara kian dingin. Tarian rindu dan cinta milik Erica menyatu dalam-dalam bersama dipusara Alfonso Eduardus Kiapoli.

“ Sampai bertemu kembali dalam rindu dan cinta kita , Alfons..” bisik Erica sembari memberi kecupan kepada pusara bisu itu.





                                                             ~~~~ s e l e s a i ~~~~~



Rabu, 27 November 2013

TUMENGGUNG KAKANGMAS BENDORO LANTING

Bagian ke-delapan

Kirara Kariri perempuan seronok yang telah menaklukkan si Kucing Garong Wedus dengan bubuk penyekat sukma yang memabukkan itu lantas membawa tubuh terkulai itu masuk kedalam hutan menuju bukit kecil yang ada disekitar gunung merapi itu. Tawanya masih menggema dan menyisakan aroma menyeramkan.

Si Kucing Bengal Ekor Belang yang sedang terlelap dibebatuan dengan badan sebagian terendam air , mendadak membuka matanya ketika suara tawa yang mengandung tenaga dalam itu mengusiknya. Dengan sigap dia bangkit dan memusatkan perhatiannya kepada suara tawa yang kini sayup terdengar . Si Kucing bengal seperti mengenali suara tawa itu dan kakinya menjejak bebatuan kali itu dan melesat menuju hulu sungai.

Perasaannya tidak enak dan ada kekhawatiran menyergap ketika teringat dengan kekasihnya si Kucing Garong Wedus Kiwilcemong yang juga tidak menemukan dirinya. Sebelumnya Kiwilcemong selalu menemukan dirinya kemanapun dia pergi. Lelaki itu seperti musang yang mampu menemukan dirinya hanya dengan mengendus-ngendus aroma kentutnya. Yah, itulah kebiasaan si Kucing Bengal Ekor Belang , selalu mengeluarkan kentut dimanapun dia ingin dan meninggalkan bau yang luar biasa serta melekat lama pada tempat yang didatanginya. Dengan itulah si Kiwilcemong kekasihnya menemukan jejaknya. Namun kali ini tidak dan itu membuat hatinya khawatir .

Si Kucing Bengal Ekor Belang mempercepat langkah kakinya menuju ke hulu sungai. Semakin lama dia semakin mengenali suara tawa yang mengandung tenaga dalam itu. Dia juga tahu dengan kebiasaan pemilik tawa tersebut yang senang meracik segala macam bubuk pembius dan mempraktekkannya kepada siapapun yang ditemuinya. Diam-diam dia merasa ingin muntah bila ingat dengan kebiasaan pemilik tawa yang juga adalah murid kesayangan Nyi Lampir Bukit Menoreh atau nama aslinya yang tidak banyak dikenal orang yaitu Ni Sekar Kusumadewi , yang dulunya adalah seorang keturunan penguasa terguling dari kerajaan Kediri yang melarikan diri jauh dari tempatnya.

Sambil menggeram si Kucing Bengal mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk berlari mendaki bukit didekat hulu sungai tersebut. Akhirnya samai juga si Kucing Bengal keatas bukit kecil itu. Dengan berhati-hati dia mengatur langkahnya agar tidak terlalu menyolok. Didekat hamparan atas bukit yang tidak terlalu luas itu terdapat sebuah pondok yang dibuat diantara pepohonan dan sebagian tertutup oleh daun-daun phon besar itu. Sebuah anak tangga yang terbuat dari potongan-potongan kayu kecil tampak meliuk-liuk menuju ke bagian pondok yang ditutupi dinding kayu pula .

Dalam kecemasannya si Kucing Bengal sedikit kehilangan kewaspadaannya dan tidak menyadari sepasang mata yang bersinar binal itu mengawasinya dari sebuah semak yang banyak terdapat disitu. Mata itu milik Kirara Kariri ! Rupanya Kirara Kariri mengetahui dengan siapa dia berhadapan dan siapa lelaki yang ditaklukkannya itu ! Rasa isengnya semakin menjadi ketika melihat si Kucing Garong Wedus bertelanjang saat berendam dihulu sungai lantaran biji anu-nya bengkak dan kepanasan saat sentilan batu dari Ki Nudis Jagat Kuning dengan tepat menghantam benda itu. Ketika mencium aroma kentut yang amat sangat bau itu, tahulah Kirara Kariri dengan siapa dia berhadapan. Siapa lagi kalau bukan sepasang murid Sang Rubah Jenggot Putih ?

Nama besar Sang Rubah Jenggot Putih yang menguasai pantai selatan tidak serta merta membuat Kirara Kariri takut. Gurunya pernah mengalahkan setan tua itu dalam perantauannya beberapa tahun yang silam. Dan kini dia telah menguasai nyaris seluruh kepandaian sang guru, ditambah lagi kemampuannya meracik segala jenis obat pembius untuk digunakannya sebagai senjata kala bertarung. Kirara Kariri sendiri mendapatkan ilmu meracik obat pembius itu dari seorang kyai yang tertangkap basah karna kebiasaannya menculik para perempuan desa. Kyai itu bernama Massudarto anak seorang penghulu yang cukup ternama dilingkungan keraton surakarta . Alhasil, Kirara Kariri lalu menggunakan kesempatan tersebut untuk menekan sang kyai agar mengajarinya ilmu meracik obat pembius itu atau melaporkannya kepada lingkungan keraton dimana hukumannya sangatlah mengerikan.

Kirara Kariri sendiri selalu mengadakan perjalanan tanpa ditemani oleh sang guru dalam beberapa tahun belakangan ini. Kebiasaannya semakin tak terkendali dan sering kali menjadi buronan pihak keraton maupun para penjaga kota. Kirara Kariri tidak bisa menahan hasrat hatinya terhadap benda-benda berharga milik para pejabat kota maupun para pedagang yang suka memamerkan kekayaannya. Namun karna kepandaian silatnya tinggi maka dia selalu lolos dari segala macam penyergapan dan intaian para penjaga yang sengaja disiapkan untuk menangkapnya.

Kini pandangannya menatap segala tindak tanduk si Kucing Bengal yang mengendap-ngendap hendak mendekati pondok miliknya. Selarik senyum nakal mengembang di bibirnya. Kirara Kariri tidak khawatir dengan kepandaian kedua murid Sang Rubah jenggot Putih itu. Dengan kepandaian silatnya dia mampu menandingi keduanya sekaligus , apalagi kelebihan yang dimilikinya yaitu bubuk penyekat sukma yang sangat ampuh.

Sedangkan si Kucing Bengal Ekor Belang akhirnya merasa tak ada gunanya mengendap ditempat itu. Setelah mengatur napasnya yang tadi tersengal bangkitlah dia berdiri dan melangkah tanpa merasa takut sedikitpun.

Tak ada gunanya menghadapi murid Nyi Lampir Bukit Menoreh itu dengan diam-diam karna itu hanya akan memuaskan si perempuan gatel itu, umpatnya dalam hati dengan perasaan kesal.

“ Heiiiii....perempuan seronok , keluarlah engkau menghadapiku..” teriak si Kucing Bengal tanpa tedeng aling-aling lagi .

“ Hihihihihihihihihi...akhirnya muncul juga engkau perempuan kutang hijau butut..” balas Kirara Kariri sembali melompat keluar dari tempat persembunyiannya. 

Perempuan itu memakai pakaian berbentuk kebaya yg sangat tipis dan tidak memakai kutang sehingga kedua bukitnya menjulang dan menantang dengan indah nya dari balik pakaian tipis itu . Sedangkan sehelai kain yang hanya dibalut seadanya menggantikan celana yang lazim dipakai pada jaman itu . 

Tentu saja ucapan Kirara Kariri itu sangat menyakitkan bagi si Kucing Bengal yang telah kehilangan kacing kutang hijau lecek miliknya ketika bertarung tadi dan kini lubang-lubang kancing itu hanya diikat dengan pilinan rumput saja. 

Kedua perempuan itu tampak seronok dengan pakaiannya masing-masing namun masih saling ejek . Rupanya hal-hal kecilpun digunakan bila merasa tersaingi atau cemburu .

“ Siyaallll...mendingan kutangku lecek daripada engkau yang tak mampu membeli kutang...kusumpahin biar tetekmu itu digigit semut api..” bentak si Kucing bengal dengan kesalnya.

“ Hihihihihihihihihi....dasar perempuan jelek, tetekmu itu sudah peyot makanya perlu ditutupi pakai kutang lecek segala..” balas Kirara Kariri tak mau kalah .

“ Jangan banyak bacot...serahkan kekasihku !” suara si Kucing Bengal terdengar semakin histeris dan tampak penuh kemarahan.

“ Kekasihmu ? Siapa bilang dia itu kekasihmu ? Aku yang melihat anu-nya terlebih dahulu...hihihihihihi..bentuknya bagus tapi sayang bijinya bengkak...mungkin kebentur buah durian.....hihi hihihi..” dengan gaya yang slengekan Kirara Kariri menjawab bentakan itu dan dengan sikap santai dia melangkah dan duduk diatas sebuah batu didepan pondok itu.

Keduanya terus berperang kata-kata dan tidak ada yang mengalah. Keduanya sama-sama keras kepala dan sepertinya takkan ada habisnya kata-kata yang mereka lontarkan. Pertarungan kata-kata itu semakin menggila dan segala caci maki dan kata-kata jorok saling berseliweran.

Akhirnya mereka merasa letih sendiri. Si Kucing Bengal tampak nyaris kehabisan napas dan kini duduk diatas sebuah batu seperti halnya Kirara Kariri yang merasa mual dengan kelakuan mereka yang konyol itu.

“ Hmm...istirahat sebentar..nanti kita lanjutkan lagi..” ujar Kirara Kariri yang merasa belum puas dengan kenakalannya itu, “ terserah nanti mau lanjut bagaimana. Saling memaki boleh , mau berkelahi juga tidak masalah...” lanjutnya sambil mengipas-ngipas dirinya dengan sehelai daun jati yang pohonnya banyak bertebaran disitu .

Si Kucing Bengal tidak menjawab, dadanya turun naik mengatur napas. Rasa kesal begitu membludak dihatinya dan rasanya ingin membunuh. Si Kucing Bengal hampir kehilangan akal karna ternyata perempuan seronok yang tidak memaki kutang itu sangat tajam lidahnya. Pikirannya berkecamuk untuk mencari jalan dalam membebaskan kekasihnya . Si Kucing Garong Wedus yang telah ditawan oleh perempuan itu. Dalam hati dia memaki sehabis-habisnya, mengapa si Kucing Garong Wedus begitu tolol sampai ditaklukkan perempuan ini ?

Sepeminum teh kemudian Kirara Kariri bangkit dari duduk selonjornya pada batu itu dan melangkah mendekati lawannya . Si Kucing Bengalpun melompat dari duduknya dan bersiap menghadapi perempuan itu. Kedua tangannya terkepal dan napasnya sudah mulai teratur lagi.

Kedua perempuan itu saling beradu pandang , sepertinya hendak mengukur kemampuan silat masing-masing . Kirara Kariri sendiri tidaklah meremehkan kemampuan silat murid Sang Rubah Jenggot putih ini. Satu kelebihan yang dimilikinya adalah kehebatan bubuk penyekat sukma yang kini semakin ampuh menundukkan kelengahan lawan . Untuk itu Kirara Kariri harus waspada karna dia sendiri belum pernah bertarung dengan siKucing Bengal Ekor Belang yang diketahuinya adalah seorang yang cukup tangguh. Sedangkan si Kucing Bengal Ekor Belang tampak bersiap sedia menghadapi perempuan seronok muridnya Nyi Lampir Bukit Menoreh dan menurut gurunya memiliki kemampuan setara dengan dirinya.

Entah siap yang memulai , keduanya mulai saling serang.Si Kucing Bengal menggerakkan selendang belangnya berputar dan meliuk mengincar kepala Kirara Kariri dengan hentakan sepertiga dari tenaga dalamnya, ditambah lagi dengan bantuan badannya yang doyong kedepan. Kirara Kariri sendiri tetap tenang dengan kuda-kuda besi mencengkram bumi sehingga pahanya yang putih mulus tampak menggoda dari kain yang menyibak kala ilmu itu dirapalnya. Kirara Kariri tidak menghindari hantaman bertubi- tubi dari selendang belang itu. Malahan dia sengaja menunggu datangnya serangan itu sembari mengerak-gerakan sebatang rotan kecil yang tiba-tiba saja sudah ada ditangannya. Batangan rotan kecil yang berwarna kehitaman itu menyambut datangnya serangan selendang si Kucing Bengal yang ganas. 

Beberapa letupan kecil akibat benturan kedua senjata itu membuat tubuh keduanya bergetar. Batangan rotan kecil yang kehitaman itu panjangnya sedepa dan amat lentur sehingga Kirara Kariri dapat menggerakkannya sesuka hati. Keduanya terus saling serang dan sepeminum teh pertama keduanya tampak berimbang dan semakin penasaran . Si Kucing Bengal terus menyerang dan mengurung Kirara Kariri dengan ilmu selendang setan arwah penasaran yang diajarkan oleh gurunya.

Namun Kirara Kariri sendiri tak mau kalah. Sebagai murid tunggal Nyi Lampir Bukit Menoreh , tentunya Kirara Kariri dibekali dengan ilmu silat yang mumpuni . Dengan batangan rotan hitam itu, Kirara Kariri menggeber ilmu ajaran gurunya yaitu rayuan perawan mendelik yang gayanya bagaikan seorang perempuan yang kegenitan. Namun lenggang lenggoknya itu menebarkan ancaman lewat batangan rotan hitam dengan dengungan seperti ribuan lebah yang seang marah. Tentu saja suara itu membuat kuping si Kucing Bengal Ekor Belang serasa mau pecah . Apalagi batangan rotan lentur itu selalu bisa menangkis setiap lecutan selendang belangnya. Pertarungan itu semakin menguras tenaga karna keduanya sama-sama seimbang dalam ilmu kepandaian.

Akhirnya si Kucing Belang mengambil keputusan nekat yaitu melancarkan ilmu kentut arwah penasaran sekali lagi. Ditengah kesibukannya menyerang dan menangkis serangan lawan , diam-diam si Kucing Bengal mengumpulkan tenaga dalamnya untuk melancarkan serangan sambil menanti waktu yang tepat. Namun gelagat itu tak lepas dari ketajaman mata Kirara Kariri yang banyak malang melintang di sepanjang pantai utara Simongan hingga ke tanah pasundan. Sambil menyerang Kirara Kariri menyiapkan jurus pamungkasnya yaitu , watugeni bablasangine. Sebenarnya itu bukanlah ilmu yang diajarkan gurunya, melainkan ciptaannya sendiri selama merantau dalam dunia persilatan. Ilmu itu merupakan sebuah jurus ilmu silat yang mengandalkan kehebatan tenaga dalam untuk mematahkan serangan mematikan dari lawan. Dengan ilmu itu Kirara Kariri tidak perlu menyentuh atau memukul lawan karna hentakan tenaga dalam itu menimbulkan dorongan bak angin puyuh.

Akhirnya saat itupun tiba. Si Kucing Bengal melihat peluang itu ketika lawannya melangkah mundur sepertinya hendak mengambil napas. Dengan cepat dia memutar balik dan melancarkan ilmu kentut arwah penasaran sambil mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kali ini dia tidak mau gagal lagi.

“ Breeeeeeeeeeeetttt...prrrriiiiiiiiiitttt...broooootttt...” suara kentut itu terdengar begitu panjang dan memilukan namun aroma yang menebar sungguh menyeramkan. Tupai-tupai yang sedang asyik menonton mereka diatas pepohonan langsung bergelimpangan dan terkapar tak sadarkan diri . Demikian juga dengan burung-burung yang sudah kembali kesarangnya tampak berjatuhan dengan mata melotot.Sedangkan ular-ular yang sedang merayap diantara dedaunan basah langsung terguling dengan tubuh kaku dn menghadap ke atas. Sungguh mengerikan . 

Kirara Kariri sudah menduga hal itu akan terjadi dan ketika melangkah mundur dia telah menghimpun kekuatan tenaga dalam pada puncaknya. Ketika si Kucing Bengal melancarkan ilmu kentut arwah penasaran itu Kirara Kariri membarenginya dengan sebuah hentakan pada kakinya yang berdiri pada posisi ilmu kuda-kuda besi sambil kedua tangannya mendorong kedepan dengan kedua belah telapak tangannya terbuka.

“Cuuuiiiiitttttt......Blllaaaaarrrrrrr...” suara tenaga dalam yang terhimpun itu mencuit dan menimbulkan ledakan keras ketika bertemu dengan ilmu kentut arwah penasaran milik si Kucing Bengal. Dan benturan hebat itu mengakibatkan keduanya terpental dengan keras berlawanan arah. Kirara Kariri terjengkang kebelakang dan pantatnya dengan telak menghantam batu yang tadi didudukinya. Akibatnya bisa dibayangkan , pantat milik perempuan seronok itu langsung membiru dan menimbulkan sakit yang luar biasa , ditambah lagi dengan aroma kentut yang sudah tak bisa dikatakan milik seorang manusia. Kirara Kariri roboh dengan mata nanar sambil muntah-muntah dan pantatnya terasa mau pecah. Perempuan seronok itu meringkuk setengah tak sadarkan diri dengan kain yang dikenakan itu robek panjang. Tentu saja pantat yang membiru itu tampak jelas menghiasi kulitnya yang halus dan mulus itu.Kirara Kariri merasa napasnya sesak dan tak peduli lagi dengan sebagian tubuhnya tampak terbuka. 

Sedangkan nasib nyaris serupa dialami juga oleh si Kucing Bengal Eko Belang. Benturn tenaga dalam itu mengakibatkan pantatnya seperti terbakar dan celana merah selutut yang dikenakannya itu robek dan memperlihatkan pantatnya yang memerah terkena hempasan tersebut. Si kucing Bengal menjerit panjang dan sialnya lagi, tubuhnya terhempas bagaikan melayang bagaikan terbang dan usahanya untuk mematahkan hempasan itu hanya bisa memutar tubuhnya saja. Si Kucing Bengal hanya pasrah saja ketika putaran tubuhnya itu malah menimpa batu yang juga tadi didudukinya. Pantat yang dibungkus celana merah yang robek itu dengan derasnya menimpa batu tadi dan menimbulkan rasa ngilu sehingga air matanya muncrat tanpa rasa malu lagi.

Sejenak pertarungan itu terhenti dan tidak menghasilkan satu pemenang karna kedua-duanya terkapar dalam kesakitan. Kirara Kariri masih meringkuk dengan kain dan kebaya yang berantakan sehingga sebagian besar tubuhnya memperlihatkan ketelanjangannya , demikian juga dengan si Kucing bengal yang tampak meringis dengan air mata bercucuran tidak lagi memperdulikan kutang hijau leceknya terbuka karna tali yang dibuatnya dari rumput untuk mengikat kutang itu telah terbang entah kemana. Kirara Kariri masih setengah sadar dan masih muntah-muntah sedangkan si Kucing bengal tampak tak sanggup bangun karna pantatnya mengalami siksaan luar biasa dari pukulan lawan dan hempasan pada batu tersebut . 

Tiba-tiba saja hembusan angin berkesiur dengan kencangnya dan mengusir pergi bau kentut yang luar biasa itu . Udara disekeliling tempat itu kembali bersih dan sejuk . Tampaklah diantara kabut yang mulai turun sebuah bayangan berkelebat dan mendarat dengan anggunnya diantara kedua perempuan yang sedang terkapar oleh ulah mereka sendiri itu.

Wajah yang memasuki usia lima puluhan itu masih tampak cantik dan kulitnya tak terlihat dikerubungi kerut-merut. Wajah perempuan baya itu terlihat anggun dan menampakkan aura kebangsawanan .Senyumnya yang sejuk dan menyegarkan mata siapa saja yang melihatnya itu ternyata tak sebanding dengan kenegrian kalau mendengar nama julukan yang disandangnya, yaitu Nyi Lampir Bukit Menoreh ! Namun diantara keanggunan itu tampak membersit rona kekecewaan yang besar dan tergeletak, tersembunyi jauh dalam sinar matanya .

Ni Sekar Kusumadewi , perempuan anggun paru baya itu tampak menggeleng kan kepalanya melihat keadaan kedua perempuan tersebut. Satu dikenalinya sebagai muridnya sendiri dan satu lagi diketahuinya sebagai murid bungsu dari tokoh perompak laut selatan yaitu Sang Rubah jenggot Putih yang dulu pernah dikalahkannya . Melihat keanggunan Ni Sekar Kusumadewi maka rasanya tak pantas bila harus disebut sebagai Nyi Lampir Bukit Menoreh , seorang tokoh persilatan yang bisa membuat napas seseorang terhenti bila mendengarnya . Perjalanan dan sepak terjang Ni Sekar Kusumadewi dalam dunia persilatan dikisahkan tersendiri dalam kisah Perawan Dari Hutan Larangan.

Sambil menghela napas panjang, Ni Sekar Kusumadewi atau Nyi lampir Bukit Menoreh menghampiri muridnya dan memberikan beberapa ketukan pada titik-titik jalan darahnya untuk mengembalikan kesadaran Kirara Kariri. Kemudian dia juga menghampiri si Kucing Bengal Ekor Kuning yang tergeletak beberapa depa dari muridnya itu. Ni Sekar Kusumadewi melakukan hal yang sama lalu mengempit si kucing Bengal dengn sebelah tangannya dan kemudian tangannya yang satu lagi mengempit Kirara Kariri . Dengan satu hentakan , tubuhnya melayang menuju pondok diatas pohon milik muridnya itu.

Kita tinggalkan sejenak kesibukan Ni Sekar Kusumadewi atau Nyi Lampir Bukit Menoreh yang sedang menolong keduanya akibat pertarungan tadi.

Sekarang kita menuju kepada kediaman sang penguasa Kadipaten Limbarawa yakni Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting setelah pertarungannya malam itu dengan Sang Rubah Jenggot Putih.

Kejadian malam itu lenyap tak berbekas. Tak seorangpun punggawa yang mengetahui hal itu berani bicara. Dan memang begitulah kebiasaan mereka untuk menyelamatkan diri sendiri. Bagi mereka setiap kata dari Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting sebagai penguasa Kadipaten Limbarawa, adalah hukum tak tertulis yang harus mereka patuhi dan mereka jalankan sebaik-baiknya. Itu kalau memang masih mau hidup.

Siang itu wajah Tumenggung Kkangmas Bendoro Lanting tampak kurang begitu bergairah . Selain sisa pertarungannya semalam telah membuat luka yang lumayan parah dan harus disembunyikannya dari siapapun. Setelah waktu bergulir melewati tengah hari , datnglah para punggawa yang diutusnya dalam misi untuk mencari seorang perawan seperti yang diinginkannya.

Setelah menerima semua laporan para punggawa itu, Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting tampak lekat mengamati sehelai daun lontar yang berisi data seorang perawan yang menurutnya pantas untuk dijadikan selirnya yang ke sembilan belas.

~ Kirana Qi, anak kepala desa Tambakboyo, Ki Nudis Jagat Kuning dan Lin Fung Lien, ibuku..~

Entah mengapa nama yang tertulis diatas sehelai daun lontar itu begitu menarik hatinya . Dengan satu helaan napas , dirapalnya kembali ajian Ki Neropong Pandiangan yang didapatnya dari Ki Genjing Bimantoro dan Nyi Genit Saksang Unsulangi di gunung manasehada.

Sepeminum teh kemudian wajah Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting tampak bersungging senyum. Ajian Ki Neropong Pandiangan itu memberikan sebuah gambaran cerah tentang keinginannya untuk mendapatkan puteri anak kepala desa Tambakboyo yang bernama Kirana Qi itu. Hal itu sedikit mengobati rasa gundah karna harus terluka dalam pertarungannya dengan Sang Rubah Jenggot Putih . Sang Tumenggung mulai mereka-reka rencana untuk mewujudkan impiannya itu .

Segera titahnya turun untuk memanggil Nyi Layung Lincar Geminta, sang istri pertama dan Nyi Tya Rembulan Cumanseparuh, selirnya yang ke-tiga belas.

Dari sekian belas istri dan selir , hanya kedua perempuan inilah yang memiliki kemampuan untuk memimpin dan memiliki wawasan yang sejalan dengan Tumenggung Kakangms Bendoro Lanting . Tak berapa lama kemudian keduanya segera datang memenuhi panggilan sang Tumenggung.

“ Istriku dan engkau juga selir kesayanganku..” sang Tumenggung mulai bersuara, “ Aku akan pergi untuk sementara waktu. Segala urusan mengenai Kadipaten Limbarawa ini kuserahkan kepada kalian berdua untuk mengurusnya selama aku pergi..” lanjutnya kemudian.

Tak ada jawaban atau bantahan dari keduanya, bahkan satu pertanyaanpun tidak terlontarkan dari mulut keduanya. Mereka tahu itu adalah perintah seperti biasa kalau sang junjungan yang juga suami mereka itu akan pergi kesuatu tempat. Mereka hanya mengangguk dan mengerti bagaimana harus menggantikan tugas sang Tumenggung dalam keadaan seperti ini.

“ Pergilah kalian dan mulai besok saat matahari terbit , Kadipaten Limbarawa ini adalah tanggung jawab kalian berdua. Jangan membuat aku kecewa..” tegasnya saat mengibaskan tangannya menyuruh mereka pergi.

Sang Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting kembali menekuri selembar daun lontar tadi dan Nyi Layung Lincar Geminta serta Nyi Tya Rembulan Cumanseparuh segera beringsut pergi meninggalkan pendopo agung Ki Gandulgandul .

Setelah meninggalkan pendopo itu Nyi Layung Lincar Geminta segera mengumpulkan para selir yang lain untuk berbagi tugas seperti yang biasa mereka lakukan kalau sang Tumenggung harus pergi meninggalkan Kadipaten. Tak ada yang kasak kusuk dan mereka semua menerima tugas itu dengan gembira karna itu berarti memberikan mereka kesibukan . Nyi Ratnasari Klipot, sang selir ke-delapan belas Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting tampak sedikit lega mendengar rencana kepergian sang Tumenggung. Dari matanya membersit seberkas angan yang mengusiknya dan itu tak lepas dari kerlingan mata sang selir ke sembilan, Nyi Arcellia Pinatih Sukanyambel yang diam-diam telah memergoki kegiatannya .

Nyi Ratnasari Klipot agak tersipu ketika matanya beradu pandang dengan selir ke-sembilan namun tetap berusaha menyembunyikan keinginan hatinya yang mengusik itu. Mungkin akan dibicarakannya dengan Nyi Arcellia Pinatih Sukanyambel atau tidak sama sekali , bahtinnya mendesah. Pertemuan itu hanya berlangsung singkat dan masing-masing kembali kepada kesibukan mereka. Selir kesembilan itu sengaja mendekat kepada Nyi Ratnasari Klipot dan melangkah bersama menuju keputren yang mereka tempati sekalipun masing-masing memiliki bagian tersendiri dalam komplek keputren itu.

“ Apapun yang engkau rencanakan diajeng Ayune , sebaiknya pikirkan dulu baik-baik dan jangan salah melangkah...” bisik Nyi Arcellia lirih, “ Salah melangkah tidak akan bisa kembali dan itu berarti menjadi pelarian selamanya atau kematian datang terlebih dahulu..” lanjutnya kemudian.

Mendengar itu Nyi Ratnasari Klipot sedikit bergetar namun masih hatinya masih tak rela untuk mengungkapkan apa yang menjadi rencananya itu. Dia hanya mengangguk pelan dan berjalan sembari menundukkan kepalanya. Keduanya tiba digerbang keputren dan hendak berpisah menuju tempat tinggal masing-masing.

“ Terima kasih, Nyi...maafkan aku untuk sekarang ini..” ucap Nyi Ratnasari Klipot sembari mengenggam jemari sahabatnya itu.

“ Kalau diajeng Ayune ingin bicara , pintu selalu terbuka untukmu..” bisik Nyi Arcellia Pinatih Sukanyambel seakan tak ingin pembicaraan mereka didengar oleh yang lainnya.

Nyi Ratnasari Klipot hanya menganggukkan kepalanya lagi dan segera menghilang disebuah sudut untuk menuju ketempatnya sendiri. Sedangkan Nyi Arcellia yang selama ini menjadi sahabatnya hanya bisa memandang dengan rasa yang membludak karna hatinya juga merasa pedih dengan keadaan mereka. Namun tak dapat disangkal pula bahwa keadaan mereka jauh lebih baik daripada sebelumnya sekalipun yang namanya kebebasan tentulah memiliki batas-batas tertentu. Sembari menarik napas diapun beranjak menuju ke tempatnya sendiri dan membiarkan benaknya melanglang entah kemana . Kompleks keputren itu kembali sibuk dalam kesenyapan seperti biasa . Senyap yang menyimpan banyak kesah yang tak terjawab .

Sekarang kita kembali menuju ke desa Tambakboyo dimana dua orang perempuan cantik itu sedang mengamati keadaan rumah sang kepala desa yaitu rumah Ki Nudis Jagat Kuning yang mereka ikuti dari lereng gunung merapi. Si kemben hitam dengan lurik merah menyala yang dipanggil dengan nama Fanny itu nama aslinya adalah Cheung Yang Fan. Dia adalah anak seorang taoke dari desa klaten kulon yang rumahnya dirampok serta dibakar habis oleh gerombolan perampok pelarian dari runtuhnya kerajaan Kediri. Guru mereka Nyi Gaharu Cindhe yang kebetulan lewat menemukan si Cheung Yang Fan kecil yang waktu itu baru berumur setahun lebih dan bersembunyi disebuah semak tak jauh dari rumahnya. Sang pembantu yang mengasuhnya tewas mengenaskan terkena sabetan golok para perampok dan suatu kebetulan tubuhnya jatuh menutupi si kecil yang sedang tertidur . Maka selamatlah si kecil Cheung Yang Fan dan tersadar dari tidurnya setelah semua kejadian itu lewat . Namun dia telah kehilangan keluarganya dan seluruh harta bendanya ikut terjarah. Nama itu sendiri tersulam diatas oto yang bergambar merak merah yang dikenakannya. Nyi Gaharu Cindhe yang menemukan si kecil Cheung Yang Fan kemudian membawanya pulang dan melimpahkan kasih sayangnya dalam membesarkan si kecil yang malang itu. Untuk memupus kemalangan yang menimpa si kecil itu, Gaharu Cindhe kemudian menamakannya Fanny, karna anak itu matanya suka berbinar-binar. Sedangkan si kemben kuning lurik merah yang cantik dan dipanggil Gebe itu juga mengalami nasib yang nyaris serupa. Gebe ditemukan dalam usia tiga tahun didalam perantauan Nyi Gaharu Cindhe di daerah kerajaan pasundan . Gebe terlunta-lunta disebuah pasar dan meringkuk kedinginan malam-malam yang bersurai disebuah warung yang hancur berantakan karna dijarah para perampok , sedangkan keberadaan orang tuanya tidak diketahui kemana rimbanya. Karna merasa iba dan tak ada yang bisa ditanyakan mengenai keadaan keluarganya, Nyi Gaharu Cindhe memutuskan untuk membawa Gebe kecil kembali ke padepokannya disebuah desa di daerah bandungan yang juga masih masuk daerah Kadipaten Simongan selatan. Gebe, nama itu digunakan Nyi Gaharu Cindhe untuk memanggilnya karna nama yang diingat anak kecil berumur tiga tahun agak rumit yaitu Genditabekaosoblong. Akhirnya Nyi Gaharu Cindhe memutuskan untuk memanggilnya Gebe, supaya mudah diingat. Dengan kepandaiannya Nyi Gaharu Cindhe kemudian mulai menempa mereka dengan ilmu silat dan menyayangi keduanya sebagai pengganti buah hatinya yang telah tewas secara mengenaskan itu.

Padepokan Nyi Gaharu Cindhe tidaklah terlalu menyolok dan terletak di dekat Air Terjun Tujuh Bidadari yang memiliki terjunan air sebanyak tiga susun dengan tiga kolam air dibawahnya. Ketiga susunan tersebut membentuk tujuh buah air terjun. Ketinggian total air terjun ini sekitar 10 meter dengan airnya jernih, segar, dan udaranya sejuk. Air terjun yang terletak di sebelah barat desa Bandungan ini masih alami, dikelilingi pohon dengan pemandangan terasering persawahan. Air terjun tiga susun ini masing-masing memiliki ketinggian sekitar 3 meter yang nantinya mengalir jatuh ke sela-sela batu pertemuan Kali Banteng dan Beringin di lereng Gunung Ungaran.

Konon, sejumlah bidadari pernah mampir untuk mandi di air terjun tersebut sehingga dinamakan Air Terjun Tujuh Bidadari. Juga di sekitar wilayah air terjun terdapat Makam Kyai Mandhung, seorang pengikut setia Pangeran Diponegoro yang dianggap sesepuh ( lelu hur yang di-tua-kan ) di desa tersebut. Di tepi air terjun terdapat sebuah sumur tua dengan kedalaman 1,5 meter dengan sumber air yang tidak pernah habis, dan dipercaya berkhasiat serta dapat menyebabkan seseorang menjadi awet muda, cepat memperoleh jodoh, rezeki, jabatan, pangkat dan sebagainya. 

Nyi Gaharu Cindhe sendiri memilih tinggal di Dusun Keseneng dimana air terjun tujuh bidadari ini berada untuk menghilangkan kejenuhannya hidup ditengah hiruknya ibukota kerajaan Majapahit. Ketenangan dusun itu menarik perhatian perempuan yang berumur hampir setengah abad tersebut setelah kegagalan rumah tangganya dengan seorang adipati kerajaan yang berujung bentroknya dia dengan sang suami dalam satu pertempuran. Kesedihannya bertambah dengan kematian sang buah hati yang baru berumur belasan tahun karna perkelahiannya dengan para pencari kenikmatan yang ada diibukota kerajaan itu. Hal itulah yang memicu keretakan rumah tangganya dan berujung terlukanya sang adipati karna kepandaian silat Nyi Gaharu Cindhe amatlah tinggi. Nyi Gaharu Cindhe sendiri merupakan anak dari salah satu selir dari sepupu sang maharaja kerajaan Majapahit dan sedari kecil sudah dilatih ilmu silat oleh sang pendeta agung kerajaan yaitu Pandita Keselekesemekijo Konpensidimokratetitit yang berasal dari kerajaan besar di India dan ditugaskan untuk menjadi pendeta agung kerajaan.

Itulah sebabnya sang Adipati kalah dan terluka , namun akibatnya Nyi Gaharu Cindhe tak lagi bersemangat menjalani kehidupannya diibukota kerajaan terlebih lagi dengan kebrutalannya menghabisi para pencari kenikmatan itu menimbulkan heboh dalam kerajaan. Berbekal keadaan itu lalu Nyi Gaharu Cindhe yang dulunya bernama Bendara Raden Ayu Penata Intan Mustikageni, memutuskan untuk pergi meninggalkan hidupnya yang telah kosong itu. Tak seorangpun tahu keberadaannya dan akhirnya nama itu terlupakan setelah puluhan tahun menghilang. Bendara Raden Ayu Penata Intan Mustikageni yang kala itu berusia 29 tahun kemudian mengganti namanya menjadi Nyi Gaharu Cindhe dan mengubah segala penampilannya dalam menjalani babak baru kehidupannya. Selama itu pula Nyi Gaharu Cindhe sering melakukan perantauan dan menemui banyak kegagalan kerajaan dalam menangani kehidupan rakyatnya terutama dengan maraknya perampokan maupun penjarahan. Hal itulah yang akhirnya mempertemukan dia dengan Genditabekaosoblong atau Gebe dan Cheung Yang Fan alias Fanny .

Itulah sekelumit latar belakang si kemben hitam dengan lurik merah menyala bermata binar Cheung Yang Fan yang dipanggil Fanny dan si kemben kuning lurik merah yang cantik Genditabekaosoblong dan dipanggil dengan Gebe tersebut. Keduanya kemudian berhasil pula merayu sang pemilik warung untuk menyewakan rumah kosong miliknya yang kebetulan menghadap tepat ke rumah sang kepala desa Tambakboyo , Ki Nudis Jagat Kuning. 

Si kemben hitam dengan lurik merah menyala bermata binar Cheung Yang Fan atau Fanny mulai mencari akal untuk mendekati keluarga sang kepala desa. Wajahnya yang memang khas sebagai keturunan tiongkok itu sedikit memberikan keuntungan ketika dalam pengamatannya seringkali melihat seorang perempuan setengah baya yang cantik dan wajahnya berkarakter sama dengan dirinya. Akhirnya tahulah dia , bahwa perempuan itu adalah istri sang kepala desa sendiri yaitu Lin Fung Lien. Sedangkan si kemben kuning lurik merah Genditabekaosoblong dan dipanggil dengan Gebe itu kebagian tugas untuk menyelidiki kehidupan rumah milik Ki Nantun atau kwe Tiau Aciap si Tinju Maosan yang tinggalnya tak jauh dari situ, didekat pasar utama desa Tambakboyo.

Ketika malam sudah terlewati dengan rumah sewaan itu , terlihat Lin Fung Lien pergi meninggalkan rumahnya menuju ke suatu tempat. Cheung Yang Fan atau Fanny segera pula beranjak dan mengikuti kemana Lin Fung Lien pergi. Sedangkan Gebe masih meringkuk dengan selimut karna udara dingin sehabis hujan malamnya sangat menggoda untuk melampiaskan keletihannya.

Namun sekali ini Cheung Yang Fan agak ceroboh dan biarpun diketahuinya Lin Fung Lien tidak bisa ilmu silat namun kepekaan perempuan itu sangatlah tajam. Setelah sepeminum teh lamanya Lin Fung Lien membiarkan perempuan berkemben hitam dengan lurik merah menyala itu mengikutinya, lalu tiba-tiba dia menghilang disebuah tikungan mendekati pasar utama Tambakboyo. Tentu saja hal itu membuat Fanny sedikit terkejut karna tib-tiba saja buruannya menghilang. Segera saja dia mempercepat langkahnya menyusul dan ketika dia melewati tikungan dimana buruannya lenyap , Fanny agak tercekat karna perempuan yang diikutinya itu sedang menantinya disebuah pohon dekat tikungan dimana para penjual banyak menjajakan dagangannya.

Fanny tak lagi bisa mengelak atau membalikkan langkah karna perempuan buruannya itu langsung mendekatinya. Lin Fung Lien menatap lekat-lekat perempuan muda berkemben hitam dengan lurik merah menyala itu tepat didepan mukanya dan hanya berjarak setengah depa. Untuk pertama kalinya Fanny gugup dan tak sanggup melakukan apapun karna tatapan mata Lin Fung Lien amatlah teduh dan menyejukkan baginya.

“ Siapakah engkau kiranya ? Kenapa engkau terus mengikutiku sepanjang perjalanan kesini ? “ tanya Lin Fung Lien dengan suara lembutnya. 

“ Aku...aku...maafkan aku , bibi..” ujar Fanny atau Cheung Yang Fan sebisanya menekan kegugupan yang melandanya, “ Aku tidak bermaksud jahat..dan aku baru pertama kesini . Aku hanya ingin menikmati suasana disini dan kebetulan kulihat bibi sedang berjalan, lalu kuikuti kesini..” lanjutnya kemudian setelah bisa menguasai dirinya kembali . Tak ada yang harus ditakutinya atau bersiap menghadapi bahaya karna perempuan didepannya itu sangatlah ramah.

“ Oh, begitu rupanya..” angguk Lin Fung Lien dengan tatapan ingin tahu,” Jadi apa yang engkau ingin ketahui dariku ? “ tanyanya lagi.

“ Namaku Lin Fung Lien. Namamu siapa ? Kulihat engkau juga seorang keturunan tionghoa..” todong Lin Fung Lien tanpa ragu lagi.

“ Namaku Cheung Yang Fan. Biasa dipanggil Fanny saja..” jawab Fanny dengan polosnya dan merasa kikuk karna tidak bisa mengatakan kebohongan didepan perempuan yang bernama Lin Fung Lien itu.

Sejenak Lin Fung Lien menatap Fanny, seakan ingin mencari kebenaran yang tersembunyi dibalik wajah cantik itu.

“ Baiklah Fanny..tapi aku lebih suka memanggilmu Yang Fan..” kata Lin Fung Lien dengan suara yang masih terdengar lembut.” Ikutlah denganku , hari ini aku ingin belanja sendiri dan memasak makanan ala tiociu . Engkau kenal itu ?” tanyanya lagi.

“ Aku sama sekali tidak tahu itu makanan apa bibi..” geleng Fanny sedikit sedih, “ Menurut guru , aku ditemukannya waktu masih berumur setahun lebih dan aku sama sekali tidak mengenal apa dan bagaimana kebiasaan leluhurku..” jelas Fanny sejujurnya lalu menceritakan sekilas dari apa yang pernah dituturkan gurunya Nyi Gaharu Cindhe . Selama bercerita itu pula tatapan Lin Fung Lien tak pernah melepas pandangannya dari Cheung Yang Fan dan entah kenapa ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Untuk itulah dia melontarkan ajakan untuk mengikutinya agar sesuatu yang mengusik pikirannya itu terjawab. Lin Fung Lien sekalipun tidak pandai silat namun memiliki ketajaman mata hati yang sulit untuk ditebak.

Lin Fung Lien merasa tidaklah sesederhana itu alasan Cheung Yang Fan mengikut dirinya. Desa itu jarang sekali kedatangan orang asing yang tanpa tujuan apalagi oleh perempuan muda seperti Cheung Yang Fan . Diam-diam menulis nama sang guru Cheung Yang Fan yaitu Nyi Gaharu Cindhe pada sehelai daun lontar dan memberikannya pada salah seorang tauke langganannya yang menjual daging. Dengan pengaruhnya sebagai istri kepala desa , maka Lin Fung Lien memiliki jaringan untuk mencari berbagai keterangan mengenai situasi desa itu bahkan untuk menyelidiki hal-hal yang dibutuhkannya dalam ilmu pengobatan ataupun informasi yang menunjang keingin-tahuannya akan sesuatu. Demikian pula saat dia ingin mendapatkan informasi mengenai siapa dan bagaimana seorang Nyi Gaharu Cindhe yang tinggal di dusun keseneng yang berada didaerah bandungan Kadipaten Simongan. Tentu saja sang penjual daging langsung mengerti karna dia adalah seorang perantauan yang terlindungi didesa itu berkat pengaruh Lin Fung Lien, yang bahkan secara diam-diam mereka membentuk jaringan mata-mata bagi kepentingan para keturunan tionghoa dimasa itu. Satu anggukan telah memuaskan Lin Fung Lien dan sang penjual daging langsung memberikan perintahnya kepada salah seorang anak buahnya untuk segera melaksanakan tugas tersebut. Mereka telah menganggap Lin Fung Lien sebagai pemimpin mereka walaupun tidak secara menyolok mengungkapkannya.

Kita tinggalkan sejenak Lin Fung Lien yang sedang memasang jaringnya terhadap niat Cheung Yang Fan sesungguhnya ketika datang kedesa tersebut. Kita kembali kepada Genditabekaosoblong atau Gebe yang terbangun tak lama setelah Fanny pergi . Namun hal itu tak begitu memusingkan Gebe lantaran Fanny juga telah meninggalkan pesan diatas sehelai potongan daun lontar kecil yang selalu dibawa adiknya itu. Setelah membersihkan diri , pergilah Gebe menelusuri jalan yang kemarin dilaluinya menuju kerumah Ki Nantun Kwe Tiau Aciap si Tinju Maosan tersebut. Namun ditengah perjalanan , Gebe melihat ketiga anak muda yang kemarin dilihatnya berada dirumah sang tauke toko kelontong tersebut. Mereka berjalan menuju ke sebuah pondok tak berdinding yang banyak berdiri disepanjang jalan untuk tempat berteduh. Jaraknya dengan berapa tak begitu jauh , kira-kira sepuluh depa . Setelah melihat keadaan aman , Gebe mengerahkan tenaga dalamnya sambil berlari dan melompat keatas sebuah pohon mangga yang rimbun dimana pondok yang dituju ketiganya berada dibawah. Dengan hati-hati dia mencari tempat berpijak yang aman agar leluasa mendengarkan percakapan ketiganya.

“ Ada apa Qi ? Kenapa engkau tampak tak bersemangat ?” tanya si Menoreh dengan nada sedikit khawatir, “ apakah paman terluka ? Sepertinya papa juga terluka tapi tidak mau bercerita apa sebabnya..” keluhnya ketika mereka merasa aman berada di pondok itu.

“ Ada apa ini sebenarnya ? Apa yang sedang terjadi ? “ tanya suara seorang pemuda yang tak lain adalah Xeng Juan Yuan atau Aditya Sameangkala. Suaranya ringan tanpa memiliki bobot sebagai milik seorang pemuda yang berkarakter kuat namun memiliki rasa yang jujur.

“ Entahlah...aku juga tak tahu..” terdengar jawaban Qimunk sambil menghela napas yang terdengar susah,” Bapak tidak mau bicara, ibu juga sama. Sedangkan paman guru mengurung dirinya dikamar. Entah siapa yang telah melukai mereka tapi aku yakin ini pasti menyangkut sesuatu yang besar...” lanjut Qimunk terdengar begitu skeptis alias bingung.

Menoreh alias Kwe Cap Mey dan Xeng Juan Yuan terdiam. Mulut mereka serasa terkunci dalam kebingungan yang mendadak menghampiri mereka.

“ Tadi pagi ibu bilang punya rencana mengirim kita ke daerah Kartasura kalau seandainya tidak bisa menemukan bibi Cheng Yue Lin yang katanya tinggal disuatu dusun di daerah Simongan..katanya bibi Cheng Yue Lin akan mengajar kita ilmu silat..” lanjut Qimunk dengan nada kurang bersemangat.

“ Terus bagaimana dengan orang tua kita kalau saja mereka harus menghadapi musuh yang melukai mereka kemarin ?” tanya Menoreh denggan perasaan khawatir.

“ Apakah ini berhubungan dengan desas-desus yang belakangan kian santer dibicarakan para pesilat ?” sambar Xeng Juan Yuan mendadak seperti ingat akan sesuatu yang pernah didengarnya.

“ Desas-desus apa ?” sentak Qimunk dengan nada tajam menatap si pemuda kurus itu lekat-lekat, demikian juga dengan Menoreh.

“ Apa yang engkau maksud ini ?” tanya Menoreh bingung.

Xeng Juan yuan menatap keduanya dan sedikit songong karna merasa dirinya menjadi orang penting yang mendapat berita penting pula. Ada kepuasan ketika dirinya merasa diharapkan orang, dasar kuper!

“ Bulan lalu ketika aku ikut mengantarkan barang kiriman ke ibukota, kudengar ada yang menyebut-nyebut kembali sebuah pedang pusaka yang telah lama hilang. Ibukota juga makin ramai dengan kedatangan para pendekar maupun para penjahat berilmu tinggi untuk ikut memburu keberadaan pedang itu..” jelasnya dengan sedikit sombong.

“ Pedang pusaka apa maksudmu, Cungkring ?” kejar Qimunk tak sabar.

“ Pedang Naga Giok Langit , begitulah yang kudengar..” jawab Xeng Juan Yuan sedikit mengerutkan keningnya, “ Hanya saja pedang itu telah hilang dan tak ada kabarnya selama hampir dua puluh tahun ini..berarti waktu kita belum lahir ya ?” senyumnya mengembang konyol.

“ Pedang apa itu ? Kenapa perasaan kalau pedang itu bukan berasal dari daratan ini ya ?” geleng Menoreh dengan bingung.

“ Thian-Yu-Kiam-Liong...?” desis Qimunk seakan tidak mempercayai apa yang keluar dari mulutnya saat itu .

Menoreh Kwe Cap Mey dan Xeng Juan Yuan serentak menatap Qimunk seakan menuntut penjelasan atas sebaris kata yang keluar itu .

“ Kenapa ? Ah, aku pernah membaca cerita itu dari buku milik paman guru waktu kita belajar di pondoknya..” jelas Qimunk tak begitu yakin akan kebenarannya.” Thian-Yu-Kiam-Liong atau Pedang Naga Giok Langit adalah legenda dari daratan negeri tiongkok ratusan tahun silam. Entah sudah berapa kali pedang itu hilang dan kemudian muncul lagi. Kalau engkau mengatakan ada desas-desus mengenai pedang itu disini, di tanah jawa ini..Nah, itu yang mengherankan. Apa mungkin pedang itu mengikuti sang pemiliknya dan kemudian hilang didaratan ini ?” lanjut Qimunk dengan suara pelan.

“ Apa maksudmu Qimunk ?’ tanya Menoreh lagi dengan bingung. Memang perempuan anaknya si Tinju Maosan Kwe Tiau Aciap ini tidaklah begitu pintar dan cerdik seperti Qimunk . Kadang sikapnya ini sangatlah mengesalkan Qimunk namun dia menyayanginya seperti adiknya sendiri.

“ Mungkin pedang itu terakhir dimiliki oleh salah seorang yang ikut dalam pelayaran utusan kaisar tiongkok dahulu waktu singgah ditanah jawa ini. Mungkin telah terjadi sesuatu dan akhirnya pedang itu kemudian menghilang atau disembunyikan..Entahlah, aku tidak tahu kebenarannya..” jawab Qimunk sambil menggeleng dan pandangan matanya menerawang jauh.

Qimunk seperti hendak menggali sesuatu yang jauh didalam ingatannya sementara Menoreh dan Xeng Juan Yuan teracuhkan keinginannya untuk mengetahui lebih jauh mengenai cerita Qimunk tersebut. Keduanya seperti serempak mengeluh mengapa mereka tidak memiliki kepintaran seperti Qimunk yang memiliki banyak pengetahuan itu. 

Samar-samar Qimunk akhirnya menemukan pengalamannya sewaktu masih berumur lima tahun , dimana waktu itu dia melihat sang ibu, Lin Fung Lien sedang membungkus sebuah kotak panjang dengan kain dan menyimpannya bersama barang-barang bawaannya ketika hendak bepergian. Waktu itu ibunya pergi sendiri selama seminggu dan ia tinggal bersama ayah dan pengasuhnya. Seperti nya kotak panjang itu sangatlah berharga dan itu tampak dari perlakuan ibunya terhadap kotak tersebut. Hanya saja ada yang mengusiknya, apa hubungan antara ibunya dengan pedang itu ? Apakah ibunya merupakan salah satu dari mereka yang ikut dalam pelayaran utusan kaisar tiongkok waktu itu ? Qimunk akhirnya memutuskan akan bertanya kepada ibunya setelah kembali nanti.

“ Aku harus kembali, ada sesuatu yang ingin kutanyakan pada ibu..” ujar Qimunk sambil menatap keduanya.

“ Aku ikut...” sambung Menoreh cepat.

“ Aku juga ikut..” kata Xeng Juan Yuan untuk memuaskan rasa ingin tahunya disamping tak ingin jauh-jauh dari Menoreh.

Ketika mereka hendak meninggalkan pondok itu untuk kembali ke rumah Qimunk, seorang laki-laki berparas tampan tampak mendekati mereka. Sepertinya orang yang belum pernah datang ke desa itu. Ada sedikit kebingungan membersit di wajahnya dan tampaknya berharap ada pertolongan.

“ Maafkan awak, kisanak..” sapanya ramah ketika berhadapan dengan Qimunk. Menoreh dan Xeng Juan Yuan yang hendak pergi.

“ Ada yang bisa kami bantu , kisanak?” tanya Xeng Juan Yuan mendahului kedua sahabatnya itu. Mereka menatap penuh selidik kepada lelaki pendatang yang menggendong satu buntalan kain dipundaknya itu. Pakaiannya tak terlalu mewah namun bersih. Rambutnya agak panjang dan tampak diikat dengan tali rami sehingga tampak seperti perempuan kalau dilihat dari belakang. Wajahnya tampan dan memiliki sepasang mata yang dalam sehingga agak memabukkan.

“ Maafkan awak mengganggu kisanak.Awak adalah seorang perantau yang kebetulan melewati desa ini. Kalau tidak keberatan awak ingin mengunjungi kepada desa untuk sowan agar kehadiran awak didesa ini tidak dianggap mengusik ketenangan yang ada...” tuturnya panjang lebar sembari menakar ketiga anak muda itu dengan tatapan matanya, “ Oh, iya..nama asli awak Arthammer Fistanul, masih keturunan arab. Awak biasa dipanggil Akhmed Baijuri...” sambungnya lagi.

Mendengar nama itu, hampir saja Qimunk melepaskan tawa gelinya. Namun hal itu bisa ditahannya agar tidak menyinggung perasaan orang. Sedangkan Menoreh mengalihkan pandangannya kearah lain.

“ Oh..begitu rupanya maksud tuan Akhmed..kebetulan kami sedang menuju kesana juga...” jawab Xeng Juan Yuan tanpa bisa dicegah lagi.

“ Wah, kebetulan sekali . Awak Akhmed Baijuri sangat berterima kasih sekali bila kisanak mau menunjukkan rumah kepala desa ini kepada awak..” angguknya dengan wajah berseri sambil memberi sedikit rasa hormatnya, “ Kalau boleh tahu, siapakah kisanak yang gagah dan siapakah puan-puan yang cantik ini ?” tanyanya kemudian dengan bahasa yang sedikit aneh ditelinga ketiganya.

“ Aku adalah Xeng Juan Yuan..” tunjuknya kepada diri sendiri.” Dan ini adalah Menoreh , lalu yang itu adalah Kirana Qi atau Qimunk. Dia adalah puteri kepala desa ini...” jawab Xeng Juan Yuan tersungkur dengan pujian lelaki yang menyebut dirinya dengan Akhmed Baijuri atau Arthammer Fistanul itu.

“ Alhamdulilah. Allahu Akbar..ternyata begitu besar rahmat Allah mengiringi langkah awak. Ternyata awak telah bertemu dengan seorang tuan muda yang gagah dan puan-puan cantik ini, yang juga adalah puteri kepala desa sendiri..” angguknya dengan gaya seorang bangsawan dan memberikan hormatnya yang aduhai kepada kedua perempuan itu, terutama kepada Kirana Qi .

Sebenarnya Kirana Qi agak sedikit jengah namun untuk membalas penghormatan itu, diapun menundukkan badannya sedikit bersama Menoreh. Lelaki yang berumur tiga puluhan itu sebenarnya sedikit menarik minat dihati Kirana Qi atau Qimunk namun entah mengapa gaya bahasa yang digunakannya itu agak membuatnya muak. Qimunk tak tahu sebabnya dan lebih memilih untuk merapatkan bibirnya terlebih lagi sepertinya lelaki itu memberikan perhatian sedikit lebih kepadanya.

“ Awak minta maaf kalau bahasa yang awak gunakan sedikit beda dengan ruan muda dan para puan-puan yang cantik ini. Awak berasal dari negeri melayu, negeri jiran diseberang laut sana. Awak merasa tertarik dengan kerajaan Majapahit maka awak membuat sebuah jalan terbentang dalam hidup awak..” jelasnya seperti mengerti dengan sedikit kebingungan mereka bertiga.

“ Oh..ndak apa-apa tuan Akhmed..kami bisa mengerti..” dengan tangkas Xeng Juan Yuan menepis keraguan lelaki tersebut, “ Kalau begitu, mari kita pergi bersama kerumah kepala desa..”ajaknya kemudian.

Tuan Akhmed Baijuri tersenyum dan melayangkan kerlingannya kepada Kirana Qi sebelum ikut melangkah bersama ketiga kenalan barunya itu menuju ke arah rumah kepala desa. Sekilas lelaki yang bernama Akhmed Baijuri atau Arthammer Fistanul itu meleaskan tatapannya kearah pohon mangga yang menaungi pondok dimana tadi Xeng Juan Yuan bertiga berbincang.

Sedangkan diatas pohon mangga itu Gebe merasa sedikit merinding ketika tatapan singkat lelaki tersebut seperti menyibak dedaunan dan menatap dirinya. Gebe merasa aneh karna aura yang dirasakannya pada lelaki yang bernama Akhmed Baijuri itu lain dari biasanya. Gebe merasa bergidik dan dalam diamnya tak mau bergerak sedikitpun agar tidak menimbulkan kehebohan dengan tingkahnya mencuri dengar perbincangan mereka. Ingatannya kembali kepada sebuah cerita gurunya, Nyi Gaharu Cindhe tentang sebuah ilmu kanuragan yang berbau mistis yaitu ilmu ajian Ki Neropong Pandiangan yang dimiliki Ki Genjing Bimantoro, seorang guru ngaji yang murtad dan punya kesaktian ilmu gendam dan Nyi Genit Saksang Unsulangi, seorang bikkhuni yang juga murtad dari lembah Nyarosinga. Keduanya lalu hidup bersama dan bertapa di Gunung Manasehada, sebuah daerah terpencil di pulau Bima. Menurut penuturan gurunya, kedua orang itu hampir tidak pernah menerima murid dan satu-satunya yang pernah mempelajari ilmu itu adalah seorang penguasa Kadipaten Limbarawa, yaitu Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting.

Ilmu Ki Neropong Pandiangan sendiri didasari oleh kekuatan tenaga dalam yang dipadukan dengan ilmu gendam pamungkas, yang dasarnya adalah untuk mempengaruhi orang lain sesuai dengan kehendaknya. Namun di tangan Ki Genjing Bimantoro dan Nyi Genit Saksang Unsulangi, ilmu gendam pamungkas menjadi sebuah ilmu untuk mengetahui keberadaan dan kenestapaan akan sebuah tujuan. Ilmu Ki Neropong Pandiangan mampu memberikan gambaran sekalipun secara semu sesuatu yang ingin dilihat walau dalam jarak yang sangat jauh. Ilmu ini sendiri sebenarnya tidaklah terlalu jahat hanya saja aura magis akan terasa bagi orang yang peka akan kekuatan mistis.

Genditabekaosoblong atau Gebe yang sedang mengintai diatas pohon mangga itu memang sedari kecil memiliki kelebihan dalam hal-hal magis. Gurunya sendiri tidak mengerti bagaimana Gebe bisa seerti itu. Mungkin karna keadaannya sewaktu ditemukan dalam keadaan terlunta-lunta dan keputus-asaanya malam itu. Tetapi entahlah, hal itu Nyi Gaharu Cindhe sendiri tidak bisa mengungkapkan dan itulah sebabnya dia secara khusus melatih kepekaan itu dengn rajin menyuruhnya untuk bermeditasi . Sehingga lama kelamaan Gebe menjadi peka dan mampu mengontrol kemampuannya itu kalau berhadapan dengan lawan yang menggunakan ilmu hitam .

Itulah sebabnya Gebe tidak berani terlalu lancang mengikuti keempatnya yang sudah melangkah menuju kerumah kepala desa . Dia tak ingin bentrokan yang tak perlu terjadi karna misinya adalah mencari tahu keberadaan Pedang Naga Giok Langit atau yang disebut Thian-Yu-Kiam-Liong itu. Gebe menunggu diatas dahan besar pohon mangga itu sampai mereka semua pergi dan tidak kelihatan lagi . Pikirannya mereka-reka potongan cerita yang didengarnya sejak kemarin siang dari lereng merapi itu sampai pada saat ini. Sepertinya jejak Pedang Naga Giok Langit semakin dekat namun tampaknya tidak akan mudah untuk mendapatkannya .

Teringat akan adik seperguruannya, Gebe segera bermeditasi dan merapal ajian pemetik sukma nagaswara .Dengan ajian ini Gebe bisa mengusik adiknya itu dengan memberikan bisikan-bisikan bila dirasanya amat penting . Dengan bermeditasi kekuatan Gebe dalam menuntaskan ajian itu amatlah sulit ditemui. Gebe harus memberikan peringatan kepada adiknya itu supaya lebih waspada karna dia tahu bahwa adiknya tersebut akan berusaha mendekati dan masuk dalam lingkaran keluarga sang kepala desa. Itu sangat membahayakan dengan kehadiran lelaki yang menamakan dirinya Akhmed Baijuri itu apalagi aura lelaki itu mengandung daya magis yang kuat.

Sejenak kemudian Gebe sudah turun dari pohon mangga itu setelah keadaan aman lalu segera melangkah dengan cepat menuju kerumah sewaan mereka melalui jalan kecil yang sudah pernah dilewatinya kemarin.

Sedangkan Cheung Yang Fan atau Fanny sedikit tersentak dengan bisikan kakak seperguruannya yang tidak seperti biasanya itu. Fanny segera sadar bahwa apa yang dihadapinya sekarang ini mungkin adalah sebuah perangkap untuk mereka. Cheung Yang Fan atau Fanny, berusaha mencari alasan untuk mengelak dari ajakan Lin Fung Lien yang agak memaksanya untuk ikut kerumahnya. Kini mereka telah selesai berbelanja dan akan kembali pulang kerumah sang kepala desa.

“ Bibi Lien...maafkan Yang Fan ini..” ucap Fanny sambil menggamit lengan istri sang kepala desa Tambakboyo yang menyenangkan itu, “ Ada sesuatu yang lupa untuk kulakukan, jadi saat ini Yang Fan tidak bisa ikut bibi Lien kerumah..” lanjutnya pelan. Lin Fung Lien menatap lekat perempuan muda nan cantik namun sepertinya menyimpan sesuatu yang amat pekat. Dia merasakannya.

“ Aah..sayang sekali, Yang Fan. Sebenarnya malah bibi ingin engkau tinggal dirumah bibi daripada harus menyewa rumah orang. Jadinya engkau bisa berkenalan dengan puteri bibi..” jawab Lin Fung Lien sedikit kecewa, hanya tak ingin kelihatan terlalu memaksa.

“ Setelah urusan selesai, Yang Fan akan menemui bibi Lien dirumah..” elak Cheung Yang Fan atau Fanny masih dengan keluguannya. Dia harus menemui kakaknya untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dan dia harus menghindari kedatangannya kerumah Lin Fung Lien.

“ Baiklah. Bibi tunggu kedatanganmu. Ajaklah juga kakak angkatmu itu..” angguk Lin Fung Lien tak lagi bisa menahan keinginan Fanny. Lagipula dia sedang menunggu anak buah si penjual daging kembali dari Bandungan untuk menyelidiki latar belakang Cheung Yang Fan ini . Sekarang dia harus lebih berhati-hati dalam melangkah karna amatlah sulit mempertahankan apa yang ingin disembunyi kannya mengenai keadaan Pedang Naga Giok Langit.

Keduanya lantas berpisah. Cheung Yang Fan melangkah sedikit cepat dan tak lama kemudian menghilang daibalik sebuah tikungan jalan. Semua itu tak luput dari pandangan mata Lin Fung Lien yang amat berpengalaman mengenali sifat dan tingkah laku seseorang dari gerakan badannya. Ada yang menarik hatinya dari perempuan muda yang bernama Cheung Yang Fan ini. Entah apa , Lin Fung Lien tidak mau memikirkannya terlebih dahulu sebelum mendapatkan laporan dari mata-mata yang digunakannya untuk mencari informasi.

Setelah melewati tikungan itu , Fanny lantas segera mempercepat langkahnya kembali ke rumah sewaan lewat jalan-jalan tikus yang kemarin ditelusurinya bersama Gebe, agar memudahkan langkah dan gerak mereka bila terdesak harus melarikan diri. Semua itu berkat didikan dari Nyi Gaharu Cindhe dalam menghilangkan jejaknya setelah memutuskan pergi dari bingarnya ibukota kerajaan ketika itu.

Ternyata Gebe telah tiba dirumah itu dan sedang menunggunya. Wajahnya tampak sedikit cerah ketika melihat kedatangan adiknya itu. Keduanya berpelukan dengan rasa lega, lalu saling bercerita dengan pengalaman masing-masing sembari mengintip dari lubang-lubang kecil yang ada di jendela berbentuk krepyak itu. Sasaran mereka masih tetap rumah sang kepala desa dan ingin melihat bagaimana perkembangan atas penyelidikan mereka sebelum kembali ke padepokan mereka di dusun keseneng , di daerah bandungan itu.

“ Jadi menurut kak Gebe, siapa lelaki yang bernama Akhmed Baijuri itu sebenarnya ? “ tanya Fanny sedikit berbisik.

“ Entahlah adikku...aku tak bisa menembus auranya dan kalaupun itu kulakukan maka dia akan tahu ada yang sedang mengincarnya. Itu berbahaya adikku, hanya orang yang punya kemampuan hebat saja yang bisa menghimpun ajian Ki Neropong Pandiangan. Mungkinkah selain Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting masih ada lagi yang menguasai ilmu itu ?” jawab Gebe sambil menggeleng kepala.

“ Berarti dia adalah...” Cheung Yang Fan menatap kakaknya dengan jerih.

“ Entahlah, adikku..Makanya kita harus hati-hati. Bila keadaan tidak aman, kita harus segera pergi dan tidak boleh ikut campur. Siapapun orang ini pasti memiliki kepandaian yang hebat, apalagi kalau memang dia menguasai ajian Petaka Seribu Wajah yang menurut guru sudah lama menghilang. Orang yang menguasai ilmu ini bisa menjadi siapapun yang diinginkannya tanpa diketahui siapa dia sesungguhnya. Tetapi menurut guru , ada semacam tumbuhan perdu berakar biru dan berdaun ungu yang bisa mematahkan ilmu itu. Tanaman itu disebut Bunga Sang Janda Raja .Tentu saja harus dibarengi dengan rapalan ajian penangkal ilmu mistik, yang paling sederhana sekalipun...” jelas Gebe dengan sabarnya dan tentu saja suaranya nyaris berbisik.

“ Dimana tanaman itu bisa didapatkan , kak ?” tanya Fanny iseng.

“ Tanaman Bunga Sang Janda Raja itu hanya ada dan tumbuh disebuah lereng gunung Lawu . Mudah menyebutkannya namun amatlah sulit untuk didapatkan. Ada yang menunggui tanaman itu dan belum pernah ada yang melihatnya..” sambungnya lagi sambil terus mengintip dari balik jendela krepyak itu.

“ Ssssst...mereka datang, adikku...” desis Gebe sembari memberi isyarat kepada Cheung Yang Fan untuk ikut mengintip,” hati-hati, adikku...orang ini hebat kepandaiannya..” lanjutnya lagi.

Fanny segera ikut mengintip dari balik jendela krepyak itu sekali dengan susah payang mencari celah yang bagus. Keduanya tenggelam dalam suasana hening ketika Kirana Qi atau Qimunk, Xeng Juan Yuan dan Menoreh sedang berjalan bersama dengan seorang lelaki yang tampak menggendong buntalan kain dipundaknya yaitu Akhmed Baijuri yang tadi berkenalan dengan mereka.

Keempat orang itu berjalan melewati rumah sewaan tersebut dan tampak tak ada kekecurigaan apapun dari lelaki yang menggendong buntalan kain itu. Namun Gebe sedikit menggigil dan bergidik , bibirnya komat-kamit sambil mengerahkan tenaga dalamnya . Terlihat Gebe sedikit berkeringat seeprti sedang menahan beban yang berat . Fanny melihat itu semua dan segera membantu kakaknya sambil mengerahkan tenaga dalamnya pula .

Sepeminum teh kemudian keadaan Gebe pulih kembali namun wajahnya agak pucat dan tampak seperti kelelahan. Cheung Yang Fan atau Fanny, adiknya sedikit merasa bersalah dan menatapnya dengan khawatir.

“ Tidak apa-apa, adikku...” hibur Gebe dengan lirih, “ Kita harus segera tinggalkan tempat ini, terlalu berbahaya..” lanjutnya dengan tegas.

“ Baiklah , kak...mari kita segera pergi dan kembali ke padepokan untuk melapor pada guru..” angguk Fanny tanpa banyak membantah lagi. Dia percaya dengan kakaknya karna selama ini, Gebe sangat menyayangi dan melindunginya selain guru mereka tentu saja.

Kedunya segera bergegas untuk berkemas dan meninggalkan tempat itu setelah membayar uang sewa rumah serta pamitan dengan ibu pemilik rumah. Tanpa menunda lagi Gebe dan Fanny segera menelusuri jalanan setapak yang berada dibelakang rumah sewaan dan menghilang diujung jalan yang menuju ke padepokan mereka.

Kita tinggalkan sejenak desa Tambakboyo dengan keruh yang mulai menggelantung di permukaan desa tersebut. Kita kembali ke pondok diatas pohon pada sebuah bukit diantara lereng merapi yang menjadi tempat tinggal Kirara Kariri, murid tunggal seorang pertapa perempuan yang memiliki julukan menakutkan yaitu Nyi Lampir Bukit Menoreh .

Sambil menghela napas panjang, Ni Sekar Kusumadewi atau Nyi lampir Bukit Menoreh sibuk mengurusi kedua perempuan muda yang masing-masing terluka karna kecerobohannya sendiri itu. Kirara Kariri hanya meringis dalam diamnya dan menunggu omelan yang bakal datang dari gurunya. Sedangkan si Kucing Bengal Ekor Belang tampak meringis kesakitan yang mendera pantatnya itu .

Tak lama kemudian Ni Sekar Kusumadewi telah selesai mengobati keduanya dan tampak sedikit gemas dengan kenakalan murid tunggalnya itu. Disebuah sudut juga tergeletak seorang pemuda yang sedang terkapar karna pengaruh bubuk penyekat sukma milik muridnya tersebut. Lalu dia mendatangi pemuda itu dan menekan beberapa urat nadinya dan menyisipkan sebutir obat kedalam mulut pemuda itu sambil menuang secupuk air dalam daun.

Setelah selesai Ni Sekar Kusumadewi menatap muridnya Kirara Kariri dengan sedikit menegur namun yang ditata pura-pura tak melihat.

“ Duuh, muridku...jangan biarkan kenakalan itu terus menguasai dirimu..” tegurnya lembut , “ Sudah berapa kali guru bilang untuk tidak sembarangan menggunakan bubuk penyekat sukma itu. Kalau terlalu banyak bisa menyebabkan kematian..” lanjutnya sambil menepuk sedikit pantat muridnya itu.

“ Aduuh...sakit guru..” jerit Kirara Kariri dengan suara tertahan, ada rasa jengah karna lawannya si Kucing Bengal juga disitu dan melirik senang dengan hukuman sang guru. Kirara Kariri mendelik kepada lawannya itu.

“ Dan engkau muridnya Sang Rubah Jenggot Putih bukan ? Aaiih...engkau harus makan yang benar supaya bau badanmu itu bersih. Lagian mengapa memaksakan diri belajar ilmu kentut arwah penasaran ? Ilmu itu menguras kemurnian tenaga dalammu , bila engkau tetap nekad melakukannya tanpa berlatih dengan benar maka suatu hari akan membuatmu terbunuh...” tegur Ni Sekar Kusumadewi sembari menatap tajam si Kucing Bengal yang tergeletak didepannya itu.

Mendengar teguran itu si Kucing Bengal hanya menundukkan kepalanya. Tatapan perempuan itu tak mampu dilawannya. Dalam hati dia mengiyakan teguran itu dan berharap suatu hari akan mendapatkan bimbingan untuk berlatih yang benar.

“ Hmm...gurumu itu, Habib Juwandi Ahmadireja seringkali terlalu gegabah dalam bertindak. Sekalipun namanya menjulang sebagai Sang Rubah Jenggot Putih, namun masih juga dikuasai oleh api napsu. Bukankah dia masih mengejar kekasihnya dulu yang kini sudah menjadi salah satu selir Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting ?” tanya Ni Sekar Kusumadewi tetap dengan suaranya yang lembut namun mampu menguasai hati yang mendengarnya, “ Oh, ya..siapa namamu nak ? Apa dia itu selain kakak seperguruanmu , adalah jug kekasihmu ?” lanjutnya sambil menatap lekat kepada si Kucing Bengal yang kini sedikit tenang hatinya.

“ Namaku Ni Prilli Bromokastaman tapi sering memakai nama Ni Prilli Aduswae dan itu Kiwilcemong. Sebenarnya dia bernama Willy Wijaya , hanya saja dia membenci nama itu seperti dia membenci nama sang penguasa kerajaan...” jawab Ni Prilli berterus terang untuk pertama kalinya dan tidak menutup-nutupi karna selama berada dekat dengan gurunya, hal itu tidaklah menjadi sesuatu yang penting untuk dibicarakan.

Mendengar penjelasan itu , hampir saja Ni Sekar Kusumadewi tertawa namun ditahannya dan hanya tersenyum simpul.

“ Aah, kalian ini anak muda ada-ada saja..Terserahlah kalian mau menggunakan nama apa, itu hak kalian..” geleng Ni Sekar Kusumadewi tak mau mengusik hak pakai nama peremuan murid Sang Rubah Jenggot Putih itu.

“ Bagaimana kabarnya gurumu itu ? Apakah masih saja memuaskan dirinya dengan bertarung ilmu kepandaian ? Ataukah ada yang sedang diincarnya ? Kudengar ada desas-desus tentang Pedang Naga Giok Langit yang sudah lama menghilang. Aah...dunia akan semakin kacau kalau pedang itu muncul kembali. Pedang itu memiliki jodohnya sendiri, takkan bisa dikuasai tanpa memiliki rahasianya..” ujar Ni Sekar Kusumadewi dengan suara datar.

“ Hahahahahaha....baik sekali engkau menanyakan kabarku, Ni Sekar Kusumadewi atau harus kupanggil engkau dengan nama besarmu Nyi Lampir Bukit Menoreh ?” tiba-tiba saja sebuah gaung tawa memenuhi ruangan pondok diatas pohon itu.

“ Ah , ternyata telingamu betul-betul tajam Habib Juwandi Ahmadireja..” senyum dan tawa kecil mengiringi ucapan Ni Sekar Kusumadewi namun gaungnya seperti sebuah lecutan halilintar.

Sambil berkata demikian, tubuh Ni Sekar Kusumadewi melesat bagaikan bayangan dan menghilang dari ruangan pondok itu. Mendengar kedatangan gurunya, si Kucing Bengal Ekor Belang memaksakan diri bangkit dan berjalan menghampiri si Kiwilcemong yang mulai sadar dari pengaruh bubuk penyekat sukma milik Kirara Kariri .

“ Pakailah ini...” ucap Kirara Kariri sambil melemparkan sebuah kain kepada si Kucing Bengal untuk menutupi celananya yang robek dan kemben hijau leceknya yang kehilangan kancingnya itu. Setelah itu Kirara Kariri segera melangkah keluar dari pondok untuk melihat keadaan gurunya.

Si Kucing Bengal segera melilitkan kain itu untuk menutupi pakaiannya yang berantakan dan dalam hati dia sedikit berterima kasih atas pemberian itu. Sedangkan di luar pondok dimana tadi Kirara Kariri bertarung dengan si Kucing Bengal, dia melihat gurunya sedang berhadapan dengan seorang lelaki tua bersorban dan berjenggot panjang yang nyaris mencapai pusarnya. Sebuah jubah longgar dikenakan lelaki tua itu dan diikat seadanya dengan sehelai tali kain untuk menutupi Oto Sakti Kura-kura Bersisik, sebuah pusaka langka yang menjadi andalannya dalam menahan serangan lawan-lawannya.

“ Ternyata engkau masih saja tetap cantik Ni Sekar, sekalipun dirimu sudah setengah abad mengembara dalam hidup ini..” puji Sang Rubah Jenggot Putih terus terang dengan ucapannya.

“ Ah, engkau masih saja bermanis mulut walaupun sebelah kakimu sudah menginjak lubang kubur Habib Juwandi..” balas Ni Sekar Kusumadewi sembari tertawa.

Keduanya tertawa bergelak . Bukannya hanya tawa biasa karna pohon-pohon bergetar menerima hempasan tenaga dalam yang mereka lontarkan lewat tawa itu. Kirara Kariri sedikit terhuyung ketika mendengar suara tawa yang penuh tenaga dalam itu dan cepat-cepat dia bermeditasi untuk menahan hempasan itu. Sedangkan si Kucing Bengal dan Kucing Garong malah seperti terbantu. Hempasan tawa itu memperkuat diri mereka memulihkan diri.

“ Kedua muridmu baik-baik saja, Habib. Mereka memang terluka dan telah kuobati...” ujar Ni Sekar Kusumadewi yang cukup mengenal Sang Rubah Jenggot Putih yang sangat menyayangi kedua muridnya itu.

“ Terima kasih atas kebaikanmu, Ni Sekar...” angguk Sang Rubah Jenggot Puith sedikit kikuk karna ketahuan rasa khawatirnya terhadap kedua muridnya tersebut.

“ Apa yang engkau ketahui tentang Pedang Naga Giok Langit itu? “ tanya Sang Rubah Jenggot Putih tak mau lagi bertele-tele karna percuma saja menghadapi Ni Sekar Kusumadewi dengan berpura-pura. Perempuan didepannya itu terlalu pandai membaca sikap seseorang.

“ Tidak banyak yang kuketahui , Habib Juwandi..Hanya saja untuk menguasai pedang itu tidak sekedar merebut saja namun harus memiliki rahasia untuk membangkitkan pedang itu...” jelas Ni Sekar dengan tajam menatap Sang Rubah Jenggot Putih yang tampak terkesiap.

“ Apa rahasia itu Ni Sekar ?” tanyanya antusias.

“ Entahlah , jangan tanya itu kepadaku karna aku tak berminat mengejar pedang itu...” jawab Ni Sekar dengan ringannya,” Apa yang hendak engkau lakukan dengan pedang itu , wahai Habib Juwandi Ahmadireja ?” tanyanya tajam.

Sang Rubah Jenggot putih menatap Ni Sekar Kusumadewi dengan pandangan menyelidik dan ada satu hal yang sedikit mengusiknya. Pertanyaan itu.

“ Kurasa engkau mengetahui sesuatu yang tidak kuketahui, Ni Sekar Kusumadewi. Apa yang ingin kulakukan dengan Pedang Naga Giok Langit adalah urusanku. Puluhan tahun yang lalu seharusnya sudah menjadi milikku tetapi ada beberapa orang yang menghalangi dan membawa pedang itu lari..” gerutu Sang Rubah Jenggot putih dengan geramnya .

“ Hahahahahaaha...itu berarti pedang itu tidak berjodoh denganmu, Habib Juwandi...” derai tawa Ni Sekar serasa mencekam, dia tahu dengan baik kebiasaan buruk Sang Rubah jenggot Putih ini .

Sang Rubah Jenggot Putih menatap tajam. Dia tahu kemampuan Nyi Lampir Bukit Menoreh bukanlah sekedar julukan kosong belaka dan dia tak ingin bentrok untuk menambah masalah. Tetapi bukankah menjajal ilmu itu kebiasaan dunia persilatan ? Egonya menantang. Ni Sekar Kusumadewi sadar perkataannya mengusik pikiran Sang Rubah Jenggot Putih dan untuk itu diapun bersiap pula menghadapi segala kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Sejenak keheningan membungkus mereka . Kirara Kariri berdiri tak jauh dibelakang gurunya sedangkan Kiwilcemong yang sudah hampir pulih tampak menjauh bersama si Kucing Bengal. Langit tampak bergulung-gulung membawa awan kelabu dan perlahan-lahan mulai menitikkan tetesan-tetesan kecil jatuh kebumi. Udara menghembuskan rasa gigil yang mulai merasuki raga.

Ni Sekar Kusumadewi atau Nyi Lampir bukit Menoreh saling tatap dengan Sang Rubah Jenggot Putih Habib Juwandi Ahmadireja di bilahan tanah kosong itu. Hembusan angin semakin menderu dan gerimis mulai riuh berlarian kesana kesini tanpa memperdulikan siapapun. Apa yang akan terjadi kemudian...?