Rabu, 27 November 2013

TUMENGGUNG KAKANGMAS BENDORO LANTING

Bagian ke-delapan

Kirara Kariri perempuan seronok yang telah menaklukkan si Kucing Garong Wedus dengan bubuk penyekat sukma yang memabukkan itu lantas membawa tubuh terkulai itu masuk kedalam hutan menuju bukit kecil yang ada disekitar gunung merapi itu. Tawanya masih menggema dan menyisakan aroma menyeramkan.

Si Kucing Bengal Ekor Belang yang sedang terlelap dibebatuan dengan badan sebagian terendam air , mendadak membuka matanya ketika suara tawa yang mengandung tenaga dalam itu mengusiknya. Dengan sigap dia bangkit dan memusatkan perhatiannya kepada suara tawa yang kini sayup terdengar . Si Kucing bengal seperti mengenali suara tawa itu dan kakinya menjejak bebatuan kali itu dan melesat menuju hulu sungai.

Perasaannya tidak enak dan ada kekhawatiran menyergap ketika teringat dengan kekasihnya si Kucing Garong Wedus Kiwilcemong yang juga tidak menemukan dirinya. Sebelumnya Kiwilcemong selalu menemukan dirinya kemanapun dia pergi. Lelaki itu seperti musang yang mampu menemukan dirinya hanya dengan mengendus-ngendus aroma kentutnya. Yah, itulah kebiasaan si Kucing Bengal Ekor Belang , selalu mengeluarkan kentut dimanapun dia ingin dan meninggalkan bau yang luar biasa serta melekat lama pada tempat yang didatanginya. Dengan itulah si Kiwilcemong kekasihnya menemukan jejaknya. Namun kali ini tidak dan itu membuat hatinya khawatir .

Si Kucing Bengal Ekor Belang mempercepat langkah kakinya menuju ke hulu sungai. Semakin lama dia semakin mengenali suara tawa yang mengandung tenaga dalam itu. Dia juga tahu dengan kebiasaan pemilik tawa tersebut yang senang meracik segala macam bubuk pembius dan mempraktekkannya kepada siapapun yang ditemuinya. Diam-diam dia merasa ingin muntah bila ingat dengan kebiasaan pemilik tawa yang juga adalah murid kesayangan Nyi Lampir Bukit Menoreh atau nama aslinya yang tidak banyak dikenal orang yaitu Ni Sekar Kusumadewi , yang dulunya adalah seorang keturunan penguasa terguling dari kerajaan Kediri yang melarikan diri jauh dari tempatnya.

Sambil menggeram si Kucing Bengal mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk berlari mendaki bukit didekat hulu sungai tersebut. Akhirnya samai juga si Kucing Bengal keatas bukit kecil itu. Dengan berhati-hati dia mengatur langkahnya agar tidak terlalu menyolok. Didekat hamparan atas bukit yang tidak terlalu luas itu terdapat sebuah pondok yang dibuat diantara pepohonan dan sebagian tertutup oleh daun-daun phon besar itu. Sebuah anak tangga yang terbuat dari potongan-potongan kayu kecil tampak meliuk-liuk menuju ke bagian pondok yang ditutupi dinding kayu pula .

Dalam kecemasannya si Kucing Bengal sedikit kehilangan kewaspadaannya dan tidak menyadari sepasang mata yang bersinar binal itu mengawasinya dari sebuah semak yang banyak terdapat disitu. Mata itu milik Kirara Kariri ! Rupanya Kirara Kariri mengetahui dengan siapa dia berhadapan dan siapa lelaki yang ditaklukkannya itu ! Rasa isengnya semakin menjadi ketika melihat si Kucing Garong Wedus bertelanjang saat berendam dihulu sungai lantaran biji anu-nya bengkak dan kepanasan saat sentilan batu dari Ki Nudis Jagat Kuning dengan tepat menghantam benda itu. Ketika mencium aroma kentut yang amat sangat bau itu, tahulah Kirara Kariri dengan siapa dia berhadapan. Siapa lagi kalau bukan sepasang murid Sang Rubah Jenggot Putih ?

Nama besar Sang Rubah Jenggot Putih yang menguasai pantai selatan tidak serta merta membuat Kirara Kariri takut. Gurunya pernah mengalahkan setan tua itu dalam perantauannya beberapa tahun yang silam. Dan kini dia telah menguasai nyaris seluruh kepandaian sang guru, ditambah lagi kemampuannya meracik segala jenis obat pembius untuk digunakannya sebagai senjata kala bertarung. Kirara Kariri sendiri mendapatkan ilmu meracik obat pembius itu dari seorang kyai yang tertangkap basah karna kebiasaannya menculik para perempuan desa. Kyai itu bernama Massudarto anak seorang penghulu yang cukup ternama dilingkungan keraton surakarta . Alhasil, Kirara Kariri lalu menggunakan kesempatan tersebut untuk menekan sang kyai agar mengajarinya ilmu meracik obat pembius itu atau melaporkannya kepada lingkungan keraton dimana hukumannya sangatlah mengerikan.

Kirara Kariri sendiri selalu mengadakan perjalanan tanpa ditemani oleh sang guru dalam beberapa tahun belakangan ini. Kebiasaannya semakin tak terkendali dan sering kali menjadi buronan pihak keraton maupun para penjaga kota. Kirara Kariri tidak bisa menahan hasrat hatinya terhadap benda-benda berharga milik para pejabat kota maupun para pedagang yang suka memamerkan kekayaannya. Namun karna kepandaian silatnya tinggi maka dia selalu lolos dari segala macam penyergapan dan intaian para penjaga yang sengaja disiapkan untuk menangkapnya.

Kini pandangannya menatap segala tindak tanduk si Kucing Bengal yang mengendap-ngendap hendak mendekati pondok miliknya. Selarik senyum nakal mengembang di bibirnya. Kirara Kariri tidak khawatir dengan kepandaian kedua murid Sang Rubah jenggot Putih itu. Dengan kepandaian silatnya dia mampu menandingi keduanya sekaligus , apalagi kelebihan yang dimilikinya yaitu bubuk penyekat sukma yang sangat ampuh.

Sedangkan si Kucing Bengal Ekor Belang akhirnya merasa tak ada gunanya mengendap ditempat itu. Setelah mengatur napasnya yang tadi tersengal bangkitlah dia berdiri dan melangkah tanpa merasa takut sedikitpun.

Tak ada gunanya menghadapi murid Nyi Lampir Bukit Menoreh itu dengan diam-diam karna itu hanya akan memuaskan si perempuan gatel itu, umpatnya dalam hati dengan perasaan kesal.

“ Heiiiii....perempuan seronok , keluarlah engkau menghadapiku..” teriak si Kucing Bengal tanpa tedeng aling-aling lagi .

“ Hihihihihihihihihi...akhirnya muncul juga engkau perempuan kutang hijau butut..” balas Kirara Kariri sembali melompat keluar dari tempat persembunyiannya. 

Perempuan itu memakai pakaian berbentuk kebaya yg sangat tipis dan tidak memakai kutang sehingga kedua bukitnya menjulang dan menantang dengan indah nya dari balik pakaian tipis itu . Sedangkan sehelai kain yang hanya dibalut seadanya menggantikan celana yang lazim dipakai pada jaman itu . 

Tentu saja ucapan Kirara Kariri itu sangat menyakitkan bagi si Kucing Bengal yang telah kehilangan kacing kutang hijau lecek miliknya ketika bertarung tadi dan kini lubang-lubang kancing itu hanya diikat dengan pilinan rumput saja. 

Kedua perempuan itu tampak seronok dengan pakaiannya masing-masing namun masih saling ejek . Rupanya hal-hal kecilpun digunakan bila merasa tersaingi atau cemburu .

“ Siyaallll...mendingan kutangku lecek daripada engkau yang tak mampu membeli kutang...kusumpahin biar tetekmu itu digigit semut api..” bentak si Kucing bengal dengan kesalnya.

“ Hihihihihihihihihi....dasar perempuan jelek, tetekmu itu sudah peyot makanya perlu ditutupi pakai kutang lecek segala..” balas Kirara Kariri tak mau kalah .

“ Jangan banyak bacot...serahkan kekasihku !” suara si Kucing Bengal terdengar semakin histeris dan tampak penuh kemarahan.

“ Kekasihmu ? Siapa bilang dia itu kekasihmu ? Aku yang melihat anu-nya terlebih dahulu...hihihihihihi..bentuknya bagus tapi sayang bijinya bengkak...mungkin kebentur buah durian.....hihi hihihi..” dengan gaya yang slengekan Kirara Kariri menjawab bentakan itu dan dengan sikap santai dia melangkah dan duduk diatas sebuah batu didepan pondok itu.

Keduanya terus berperang kata-kata dan tidak ada yang mengalah. Keduanya sama-sama keras kepala dan sepertinya takkan ada habisnya kata-kata yang mereka lontarkan. Pertarungan kata-kata itu semakin menggila dan segala caci maki dan kata-kata jorok saling berseliweran.

Akhirnya mereka merasa letih sendiri. Si Kucing Bengal tampak nyaris kehabisan napas dan kini duduk diatas sebuah batu seperti halnya Kirara Kariri yang merasa mual dengan kelakuan mereka yang konyol itu.

“ Hmm...istirahat sebentar..nanti kita lanjutkan lagi..” ujar Kirara Kariri yang merasa belum puas dengan kenakalannya itu, “ terserah nanti mau lanjut bagaimana. Saling memaki boleh , mau berkelahi juga tidak masalah...” lanjutnya sambil mengipas-ngipas dirinya dengan sehelai daun jati yang pohonnya banyak bertebaran disitu .

Si Kucing Bengal tidak menjawab, dadanya turun naik mengatur napas. Rasa kesal begitu membludak dihatinya dan rasanya ingin membunuh. Si Kucing Bengal hampir kehilangan akal karna ternyata perempuan seronok yang tidak memaki kutang itu sangat tajam lidahnya. Pikirannya berkecamuk untuk mencari jalan dalam membebaskan kekasihnya . Si Kucing Garong Wedus yang telah ditawan oleh perempuan itu. Dalam hati dia memaki sehabis-habisnya, mengapa si Kucing Garong Wedus begitu tolol sampai ditaklukkan perempuan ini ?

Sepeminum teh kemudian Kirara Kariri bangkit dari duduk selonjornya pada batu itu dan melangkah mendekati lawannya . Si Kucing Bengalpun melompat dari duduknya dan bersiap menghadapi perempuan itu. Kedua tangannya terkepal dan napasnya sudah mulai teratur lagi.

Kedua perempuan itu saling beradu pandang , sepertinya hendak mengukur kemampuan silat masing-masing . Kirara Kariri sendiri tidaklah meremehkan kemampuan silat murid Sang Rubah Jenggot putih ini. Satu kelebihan yang dimilikinya adalah kehebatan bubuk penyekat sukma yang kini semakin ampuh menundukkan kelengahan lawan . Untuk itu Kirara Kariri harus waspada karna dia sendiri belum pernah bertarung dengan siKucing Bengal Ekor Belang yang diketahuinya adalah seorang yang cukup tangguh. Sedangkan si Kucing Bengal Ekor Belang tampak bersiap sedia menghadapi perempuan seronok muridnya Nyi Lampir Bukit Menoreh dan menurut gurunya memiliki kemampuan setara dengan dirinya.

Entah siap yang memulai , keduanya mulai saling serang.Si Kucing Bengal menggerakkan selendang belangnya berputar dan meliuk mengincar kepala Kirara Kariri dengan hentakan sepertiga dari tenaga dalamnya, ditambah lagi dengan bantuan badannya yang doyong kedepan. Kirara Kariri sendiri tetap tenang dengan kuda-kuda besi mencengkram bumi sehingga pahanya yang putih mulus tampak menggoda dari kain yang menyibak kala ilmu itu dirapalnya. Kirara Kariri tidak menghindari hantaman bertubi- tubi dari selendang belang itu. Malahan dia sengaja menunggu datangnya serangan itu sembari mengerak-gerakan sebatang rotan kecil yang tiba-tiba saja sudah ada ditangannya. Batangan rotan kecil yang berwarna kehitaman itu menyambut datangnya serangan selendang si Kucing Bengal yang ganas. 

Beberapa letupan kecil akibat benturan kedua senjata itu membuat tubuh keduanya bergetar. Batangan rotan kecil yang kehitaman itu panjangnya sedepa dan amat lentur sehingga Kirara Kariri dapat menggerakkannya sesuka hati. Keduanya terus saling serang dan sepeminum teh pertama keduanya tampak berimbang dan semakin penasaran . Si Kucing Bengal terus menyerang dan mengurung Kirara Kariri dengan ilmu selendang setan arwah penasaran yang diajarkan oleh gurunya.

Namun Kirara Kariri sendiri tak mau kalah. Sebagai murid tunggal Nyi Lampir Bukit Menoreh , tentunya Kirara Kariri dibekali dengan ilmu silat yang mumpuni . Dengan batangan rotan hitam itu, Kirara Kariri menggeber ilmu ajaran gurunya yaitu rayuan perawan mendelik yang gayanya bagaikan seorang perempuan yang kegenitan. Namun lenggang lenggoknya itu menebarkan ancaman lewat batangan rotan hitam dengan dengungan seperti ribuan lebah yang seang marah. Tentu saja suara itu membuat kuping si Kucing Bengal Ekor Belang serasa mau pecah . Apalagi batangan rotan lentur itu selalu bisa menangkis setiap lecutan selendang belangnya. Pertarungan itu semakin menguras tenaga karna keduanya sama-sama seimbang dalam ilmu kepandaian.

Akhirnya si Kucing Belang mengambil keputusan nekat yaitu melancarkan ilmu kentut arwah penasaran sekali lagi. Ditengah kesibukannya menyerang dan menangkis serangan lawan , diam-diam si Kucing Bengal mengumpulkan tenaga dalamnya untuk melancarkan serangan sambil menanti waktu yang tepat. Namun gelagat itu tak lepas dari ketajaman mata Kirara Kariri yang banyak malang melintang di sepanjang pantai utara Simongan hingga ke tanah pasundan. Sambil menyerang Kirara Kariri menyiapkan jurus pamungkasnya yaitu , watugeni bablasangine. Sebenarnya itu bukanlah ilmu yang diajarkan gurunya, melainkan ciptaannya sendiri selama merantau dalam dunia persilatan. Ilmu itu merupakan sebuah jurus ilmu silat yang mengandalkan kehebatan tenaga dalam untuk mematahkan serangan mematikan dari lawan. Dengan ilmu itu Kirara Kariri tidak perlu menyentuh atau memukul lawan karna hentakan tenaga dalam itu menimbulkan dorongan bak angin puyuh.

Akhirnya saat itupun tiba. Si Kucing Bengal melihat peluang itu ketika lawannya melangkah mundur sepertinya hendak mengambil napas. Dengan cepat dia memutar balik dan melancarkan ilmu kentut arwah penasaran sambil mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kali ini dia tidak mau gagal lagi.

“ Breeeeeeeeeeeetttt...prrrriiiiiiiiiitttt...broooootttt...” suara kentut itu terdengar begitu panjang dan memilukan namun aroma yang menebar sungguh menyeramkan. Tupai-tupai yang sedang asyik menonton mereka diatas pepohonan langsung bergelimpangan dan terkapar tak sadarkan diri . Demikian juga dengan burung-burung yang sudah kembali kesarangnya tampak berjatuhan dengan mata melotot.Sedangkan ular-ular yang sedang merayap diantara dedaunan basah langsung terguling dengan tubuh kaku dn menghadap ke atas. Sungguh mengerikan . 

Kirara Kariri sudah menduga hal itu akan terjadi dan ketika melangkah mundur dia telah menghimpun kekuatan tenaga dalam pada puncaknya. Ketika si Kucing Bengal melancarkan ilmu kentut arwah penasaran itu Kirara Kariri membarenginya dengan sebuah hentakan pada kakinya yang berdiri pada posisi ilmu kuda-kuda besi sambil kedua tangannya mendorong kedepan dengan kedua belah telapak tangannya terbuka.

“Cuuuiiiiitttttt......Blllaaaaarrrrrrr...” suara tenaga dalam yang terhimpun itu mencuit dan menimbulkan ledakan keras ketika bertemu dengan ilmu kentut arwah penasaran milik si Kucing Bengal. Dan benturan hebat itu mengakibatkan keduanya terpental dengan keras berlawanan arah. Kirara Kariri terjengkang kebelakang dan pantatnya dengan telak menghantam batu yang tadi didudukinya. Akibatnya bisa dibayangkan , pantat milik perempuan seronok itu langsung membiru dan menimbulkan sakit yang luar biasa , ditambah lagi dengan aroma kentut yang sudah tak bisa dikatakan milik seorang manusia. Kirara Kariri roboh dengan mata nanar sambil muntah-muntah dan pantatnya terasa mau pecah. Perempuan seronok itu meringkuk setengah tak sadarkan diri dengan kain yang dikenakan itu robek panjang. Tentu saja pantat yang membiru itu tampak jelas menghiasi kulitnya yang halus dan mulus itu.Kirara Kariri merasa napasnya sesak dan tak peduli lagi dengan sebagian tubuhnya tampak terbuka. 

Sedangkan nasib nyaris serupa dialami juga oleh si Kucing Bengal Eko Belang. Benturn tenaga dalam itu mengakibatkan pantatnya seperti terbakar dan celana merah selutut yang dikenakannya itu robek dan memperlihatkan pantatnya yang memerah terkena hempasan tersebut. Si kucing Bengal menjerit panjang dan sialnya lagi, tubuhnya terhempas bagaikan melayang bagaikan terbang dan usahanya untuk mematahkan hempasan itu hanya bisa memutar tubuhnya saja. Si Kucing Bengal hanya pasrah saja ketika putaran tubuhnya itu malah menimpa batu yang juga tadi didudukinya. Pantat yang dibungkus celana merah yang robek itu dengan derasnya menimpa batu tadi dan menimbulkan rasa ngilu sehingga air matanya muncrat tanpa rasa malu lagi.

Sejenak pertarungan itu terhenti dan tidak menghasilkan satu pemenang karna kedua-duanya terkapar dalam kesakitan. Kirara Kariri masih meringkuk dengan kain dan kebaya yang berantakan sehingga sebagian besar tubuhnya memperlihatkan ketelanjangannya , demikian juga dengan si Kucing bengal yang tampak meringis dengan air mata bercucuran tidak lagi memperdulikan kutang hijau leceknya terbuka karna tali yang dibuatnya dari rumput untuk mengikat kutang itu telah terbang entah kemana. Kirara Kariri masih setengah sadar dan masih muntah-muntah sedangkan si Kucing bengal tampak tak sanggup bangun karna pantatnya mengalami siksaan luar biasa dari pukulan lawan dan hempasan pada batu tersebut . 

Tiba-tiba saja hembusan angin berkesiur dengan kencangnya dan mengusir pergi bau kentut yang luar biasa itu . Udara disekeliling tempat itu kembali bersih dan sejuk . Tampaklah diantara kabut yang mulai turun sebuah bayangan berkelebat dan mendarat dengan anggunnya diantara kedua perempuan yang sedang terkapar oleh ulah mereka sendiri itu.

Wajah yang memasuki usia lima puluhan itu masih tampak cantik dan kulitnya tak terlihat dikerubungi kerut-merut. Wajah perempuan baya itu terlihat anggun dan menampakkan aura kebangsawanan .Senyumnya yang sejuk dan menyegarkan mata siapa saja yang melihatnya itu ternyata tak sebanding dengan kenegrian kalau mendengar nama julukan yang disandangnya, yaitu Nyi Lampir Bukit Menoreh ! Namun diantara keanggunan itu tampak membersit rona kekecewaan yang besar dan tergeletak, tersembunyi jauh dalam sinar matanya .

Ni Sekar Kusumadewi , perempuan anggun paru baya itu tampak menggeleng kan kepalanya melihat keadaan kedua perempuan tersebut. Satu dikenalinya sebagai muridnya sendiri dan satu lagi diketahuinya sebagai murid bungsu dari tokoh perompak laut selatan yaitu Sang Rubah jenggot Putih yang dulu pernah dikalahkannya . Melihat keanggunan Ni Sekar Kusumadewi maka rasanya tak pantas bila harus disebut sebagai Nyi Lampir Bukit Menoreh , seorang tokoh persilatan yang bisa membuat napas seseorang terhenti bila mendengarnya . Perjalanan dan sepak terjang Ni Sekar Kusumadewi dalam dunia persilatan dikisahkan tersendiri dalam kisah Perawan Dari Hutan Larangan.

Sambil menghela napas panjang, Ni Sekar Kusumadewi atau Nyi lampir Bukit Menoreh menghampiri muridnya dan memberikan beberapa ketukan pada titik-titik jalan darahnya untuk mengembalikan kesadaran Kirara Kariri. Kemudian dia juga menghampiri si Kucing Bengal Ekor Kuning yang tergeletak beberapa depa dari muridnya itu. Ni Sekar Kusumadewi melakukan hal yang sama lalu mengempit si kucing Bengal dengn sebelah tangannya dan kemudian tangannya yang satu lagi mengempit Kirara Kariri . Dengan satu hentakan , tubuhnya melayang menuju pondok diatas pohon milik muridnya itu.

Kita tinggalkan sejenak kesibukan Ni Sekar Kusumadewi atau Nyi Lampir Bukit Menoreh yang sedang menolong keduanya akibat pertarungan tadi.

Sekarang kita menuju kepada kediaman sang penguasa Kadipaten Limbarawa yakni Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting setelah pertarungannya malam itu dengan Sang Rubah Jenggot Putih.

Kejadian malam itu lenyap tak berbekas. Tak seorangpun punggawa yang mengetahui hal itu berani bicara. Dan memang begitulah kebiasaan mereka untuk menyelamatkan diri sendiri. Bagi mereka setiap kata dari Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting sebagai penguasa Kadipaten Limbarawa, adalah hukum tak tertulis yang harus mereka patuhi dan mereka jalankan sebaik-baiknya. Itu kalau memang masih mau hidup.

Siang itu wajah Tumenggung Kkangmas Bendoro Lanting tampak kurang begitu bergairah . Selain sisa pertarungannya semalam telah membuat luka yang lumayan parah dan harus disembunyikannya dari siapapun. Setelah waktu bergulir melewati tengah hari , datnglah para punggawa yang diutusnya dalam misi untuk mencari seorang perawan seperti yang diinginkannya.

Setelah menerima semua laporan para punggawa itu, Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting tampak lekat mengamati sehelai daun lontar yang berisi data seorang perawan yang menurutnya pantas untuk dijadikan selirnya yang ke sembilan belas.

~ Kirana Qi, anak kepala desa Tambakboyo, Ki Nudis Jagat Kuning dan Lin Fung Lien, ibuku..~

Entah mengapa nama yang tertulis diatas sehelai daun lontar itu begitu menarik hatinya . Dengan satu helaan napas , dirapalnya kembali ajian Ki Neropong Pandiangan yang didapatnya dari Ki Genjing Bimantoro dan Nyi Genit Saksang Unsulangi di gunung manasehada.

Sepeminum teh kemudian wajah Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting tampak bersungging senyum. Ajian Ki Neropong Pandiangan itu memberikan sebuah gambaran cerah tentang keinginannya untuk mendapatkan puteri anak kepala desa Tambakboyo yang bernama Kirana Qi itu. Hal itu sedikit mengobati rasa gundah karna harus terluka dalam pertarungannya dengan Sang Rubah Jenggot Putih . Sang Tumenggung mulai mereka-reka rencana untuk mewujudkan impiannya itu .

Segera titahnya turun untuk memanggil Nyi Layung Lincar Geminta, sang istri pertama dan Nyi Tya Rembulan Cumanseparuh, selirnya yang ke-tiga belas.

Dari sekian belas istri dan selir , hanya kedua perempuan inilah yang memiliki kemampuan untuk memimpin dan memiliki wawasan yang sejalan dengan Tumenggung Kakangms Bendoro Lanting . Tak berapa lama kemudian keduanya segera datang memenuhi panggilan sang Tumenggung.

“ Istriku dan engkau juga selir kesayanganku..” sang Tumenggung mulai bersuara, “ Aku akan pergi untuk sementara waktu. Segala urusan mengenai Kadipaten Limbarawa ini kuserahkan kepada kalian berdua untuk mengurusnya selama aku pergi..” lanjutnya kemudian.

Tak ada jawaban atau bantahan dari keduanya, bahkan satu pertanyaanpun tidak terlontarkan dari mulut keduanya. Mereka tahu itu adalah perintah seperti biasa kalau sang junjungan yang juga suami mereka itu akan pergi kesuatu tempat. Mereka hanya mengangguk dan mengerti bagaimana harus menggantikan tugas sang Tumenggung dalam keadaan seperti ini.

“ Pergilah kalian dan mulai besok saat matahari terbit , Kadipaten Limbarawa ini adalah tanggung jawab kalian berdua. Jangan membuat aku kecewa..” tegasnya saat mengibaskan tangannya menyuruh mereka pergi.

Sang Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting kembali menekuri selembar daun lontar tadi dan Nyi Layung Lincar Geminta serta Nyi Tya Rembulan Cumanseparuh segera beringsut pergi meninggalkan pendopo agung Ki Gandulgandul .

Setelah meninggalkan pendopo itu Nyi Layung Lincar Geminta segera mengumpulkan para selir yang lain untuk berbagi tugas seperti yang biasa mereka lakukan kalau sang Tumenggung harus pergi meninggalkan Kadipaten. Tak ada yang kasak kusuk dan mereka semua menerima tugas itu dengan gembira karna itu berarti memberikan mereka kesibukan . Nyi Ratnasari Klipot, sang selir ke-delapan belas Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting tampak sedikit lega mendengar rencana kepergian sang Tumenggung. Dari matanya membersit seberkas angan yang mengusiknya dan itu tak lepas dari kerlingan mata sang selir ke sembilan, Nyi Arcellia Pinatih Sukanyambel yang diam-diam telah memergoki kegiatannya .

Nyi Ratnasari Klipot agak tersipu ketika matanya beradu pandang dengan selir ke-sembilan namun tetap berusaha menyembunyikan keinginan hatinya yang mengusik itu. Mungkin akan dibicarakannya dengan Nyi Arcellia Pinatih Sukanyambel atau tidak sama sekali , bahtinnya mendesah. Pertemuan itu hanya berlangsung singkat dan masing-masing kembali kepada kesibukan mereka. Selir kesembilan itu sengaja mendekat kepada Nyi Ratnasari Klipot dan melangkah bersama menuju keputren yang mereka tempati sekalipun masing-masing memiliki bagian tersendiri dalam komplek keputren itu.

“ Apapun yang engkau rencanakan diajeng Ayune , sebaiknya pikirkan dulu baik-baik dan jangan salah melangkah...” bisik Nyi Arcellia lirih, “ Salah melangkah tidak akan bisa kembali dan itu berarti menjadi pelarian selamanya atau kematian datang terlebih dahulu..” lanjutnya kemudian.

Mendengar itu Nyi Ratnasari Klipot sedikit bergetar namun masih hatinya masih tak rela untuk mengungkapkan apa yang menjadi rencananya itu. Dia hanya mengangguk pelan dan berjalan sembari menundukkan kepalanya. Keduanya tiba digerbang keputren dan hendak berpisah menuju tempat tinggal masing-masing.

“ Terima kasih, Nyi...maafkan aku untuk sekarang ini..” ucap Nyi Ratnasari Klipot sembari mengenggam jemari sahabatnya itu.

“ Kalau diajeng Ayune ingin bicara , pintu selalu terbuka untukmu..” bisik Nyi Arcellia Pinatih Sukanyambel seakan tak ingin pembicaraan mereka didengar oleh yang lainnya.

Nyi Ratnasari Klipot hanya menganggukkan kepalanya lagi dan segera menghilang disebuah sudut untuk menuju ketempatnya sendiri. Sedangkan Nyi Arcellia yang selama ini menjadi sahabatnya hanya bisa memandang dengan rasa yang membludak karna hatinya juga merasa pedih dengan keadaan mereka. Namun tak dapat disangkal pula bahwa keadaan mereka jauh lebih baik daripada sebelumnya sekalipun yang namanya kebebasan tentulah memiliki batas-batas tertentu. Sembari menarik napas diapun beranjak menuju ke tempatnya sendiri dan membiarkan benaknya melanglang entah kemana . Kompleks keputren itu kembali sibuk dalam kesenyapan seperti biasa . Senyap yang menyimpan banyak kesah yang tak terjawab .

Sekarang kita kembali menuju ke desa Tambakboyo dimana dua orang perempuan cantik itu sedang mengamati keadaan rumah sang kepala desa yaitu rumah Ki Nudis Jagat Kuning yang mereka ikuti dari lereng gunung merapi. Si kemben hitam dengan lurik merah menyala yang dipanggil dengan nama Fanny itu nama aslinya adalah Cheung Yang Fan. Dia adalah anak seorang taoke dari desa klaten kulon yang rumahnya dirampok serta dibakar habis oleh gerombolan perampok pelarian dari runtuhnya kerajaan Kediri. Guru mereka Nyi Gaharu Cindhe yang kebetulan lewat menemukan si Cheung Yang Fan kecil yang waktu itu baru berumur setahun lebih dan bersembunyi disebuah semak tak jauh dari rumahnya. Sang pembantu yang mengasuhnya tewas mengenaskan terkena sabetan golok para perampok dan suatu kebetulan tubuhnya jatuh menutupi si kecil yang sedang tertidur . Maka selamatlah si kecil Cheung Yang Fan dan tersadar dari tidurnya setelah semua kejadian itu lewat . Namun dia telah kehilangan keluarganya dan seluruh harta bendanya ikut terjarah. Nama itu sendiri tersulam diatas oto yang bergambar merak merah yang dikenakannya. Nyi Gaharu Cindhe yang menemukan si kecil Cheung Yang Fan kemudian membawanya pulang dan melimpahkan kasih sayangnya dalam membesarkan si kecil yang malang itu. Untuk memupus kemalangan yang menimpa si kecil itu, Gaharu Cindhe kemudian menamakannya Fanny, karna anak itu matanya suka berbinar-binar. Sedangkan si kemben kuning lurik merah yang cantik dan dipanggil Gebe itu juga mengalami nasib yang nyaris serupa. Gebe ditemukan dalam usia tiga tahun didalam perantauan Nyi Gaharu Cindhe di daerah kerajaan pasundan . Gebe terlunta-lunta disebuah pasar dan meringkuk kedinginan malam-malam yang bersurai disebuah warung yang hancur berantakan karna dijarah para perampok , sedangkan keberadaan orang tuanya tidak diketahui kemana rimbanya. Karna merasa iba dan tak ada yang bisa ditanyakan mengenai keadaan keluarganya, Nyi Gaharu Cindhe memutuskan untuk membawa Gebe kecil kembali ke padepokannya disebuah desa di daerah bandungan yang juga masih masuk daerah Kadipaten Simongan selatan. Gebe, nama itu digunakan Nyi Gaharu Cindhe untuk memanggilnya karna nama yang diingat anak kecil berumur tiga tahun agak rumit yaitu Genditabekaosoblong. Akhirnya Nyi Gaharu Cindhe memutuskan untuk memanggilnya Gebe, supaya mudah diingat. Dengan kepandaiannya Nyi Gaharu Cindhe kemudian mulai menempa mereka dengan ilmu silat dan menyayangi keduanya sebagai pengganti buah hatinya yang telah tewas secara mengenaskan itu.

Padepokan Nyi Gaharu Cindhe tidaklah terlalu menyolok dan terletak di dekat Air Terjun Tujuh Bidadari yang memiliki terjunan air sebanyak tiga susun dengan tiga kolam air dibawahnya. Ketiga susunan tersebut membentuk tujuh buah air terjun. Ketinggian total air terjun ini sekitar 10 meter dengan airnya jernih, segar, dan udaranya sejuk. Air terjun yang terletak di sebelah barat desa Bandungan ini masih alami, dikelilingi pohon dengan pemandangan terasering persawahan. Air terjun tiga susun ini masing-masing memiliki ketinggian sekitar 3 meter yang nantinya mengalir jatuh ke sela-sela batu pertemuan Kali Banteng dan Beringin di lereng Gunung Ungaran.

Konon, sejumlah bidadari pernah mampir untuk mandi di air terjun tersebut sehingga dinamakan Air Terjun Tujuh Bidadari. Juga di sekitar wilayah air terjun terdapat Makam Kyai Mandhung, seorang pengikut setia Pangeran Diponegoro yang dianggap sesepuh ( lelu hur yang di-tua-kan ) di desa tersebut. Di tepi air terjun terdapat sebuah sumur tua dengan kedalaman 1,5 meter dengan sumber air yang tidak pernah habis, dan dipercaya berkhasiat serta dapat menyebabkan seseorang menjadi awet muda, cepat memperoleh jodoh, rezeki, jabatan, pangkat dan sebagainya. 

Nyi Gaharu Cindhe sendiri memilih tinggal di Dusun Keseneng dimana air terjun tujuh bidadari ini berada untuk menghilangkan kejenuhannya hidup ditengah hiruknya ibukota kerajaan Majapahit. Ketenangan dusun itu menarik perhatian perempuan yang berumur hampir setengah abad tersebut setelah kegagalan rumah tangganya dengan seorang adipati kerajaan yang berujung bentroknya dia dengan sang suami dalam satu pertempuran. Kesedihannya bertambah dengan kematian sang buah hati yang baru berumur belasan tahun karna perkelahiannya dengan para pencari kenikmatan yang ada diibukota kerajaan itu. Hal itulah yang memicu keretakan rumah tangganya dan berujung terlukanya sang adipati karna kepandaian silat Nyi Gaharu Cindhe amatlah tinggi. Nyi Gaharu Cindhe sendiri merupakan anak dari salah satu selir dari sepupu sang maharaja kerajaan Majapahit dan sedari kecil sudah dilatih ilmu silat oleh sang pendeta agung kerajaan yaitu Pandita Keselekesemekijo Konpensidimokratetitit yang berasal dari kerajaan besar di India dan ditugaskan untuk menjadi pendeta agung kerajaan.

Itulah sebabnya sang Adipati kalah dan terluka , namun akibatnya Nyi Gaharu Cindhe tak lagi bersemangat menjalani kehidupannya diibukota kerajaan terlebih lagi dengan kebrutalannya menghabisi para pencari kenikmatan itu menimbulkan heboh dalam kerajaan. Berbekal keadaan itu lalu Nyi Gaharu Cindhe yang dulunya bernama Bendara Raden Ayu Penata Intan Mustikageni, memutuskan untuk pergi meninggalkan hidupnya yang telah kosong itu. Tak seorangpun tahu keberadaannya dan akhirnya nama itu terlupakan setelah puluhan tahun menghilang. Bendara Raden Ayu Penata Intan Mustikageni yang kala itu berusia 29 tahun kemudian mengganti namanya menjadi Nyi Gaharu Cindhe dan mengubah segala penampilannya dalam menjalani babak baru kehidupannya. Selama itu pula Nyi Gaharu Cindhe sering melakukan perantauan dan menemui banyak kegagalan kerajaan dalam menangani kehidupan rakyatnya terutama dengan maraknya perampokan maupun penjarahan. Hal itulah yang akhirnya mempertemukan dia dengan Genditabekaosoblong atau Gebe dan Cheung Yang Fan alias Fanny .

Itulah sekelumit latar belakang si kemben hitam dengan lurik merah menyala bermata binar Cheung Yang Fan yang dipanggil Fanny dan si kemben kuning lurik merah yang cantik Genditabekaosoblong dan dipanggil dengan Gebe tersebut. Keduanya kemudian berhasil pula merayu sang pemilik warung untuk menyewakan rumah kosong miliknya yang kebetulan menghadap tepat ke rumah sang kepala desa Tambakboyo , Ki Nudis Jagat Kuning. 

Si kemben hitam dengan lurik merah menyala bermata binar Cheung Yang Fan atau Fanny mulai mencari akal untuk mendekati keluarga sang kepala desa. Wajahnya yang memang khas sebagai keturunan tiongkok itu sedikit memberikan keuntungan ketika dalam pengamatannya seringkali melihat seorang perempuan setengah baya yang cantik dan wajahnya berkarakter sama dengan dirinya. Akhirnya tahulah dia , bahwa perempuan itu adalah istri sang kepala desa sendiri yaitu Lin Fung Lien. Sedangkan si kemben kuning lurik merah Genditabekaosoblong dan dipanggil dengan Gebe itu kebagian tugas untuk menyelidiki kehidupan rumah milik Ki Nantun atau kwe Tiau Aciap si Tinju Maosan yang tinggalnya tak jauh dari situ, didekat pasar utama desa Tambakboyo.

Ketika malam sudah terlewati dengan rumah sewaan itu , terlihat Lin Fung Lien pergi meninggalkan rumahnya menuju ke suatu tempat. Cheung Yang Fan atau Fanny segera pula beranjak dan mengikuti kemana Lin Fung Lien pergi. Sedangkan Gebe masih meringkuk dengan selimut karna udara dingin sehabis hujan malamnya sangat menggoda untuk melampiaskan keletihannya.

Namun sekali ini Cheung Yang Fan agak ceroboh dan biarpun diketahuinya Lin Fung Lien tidak bisa ilmu silat namun kepekaan perempuan itu sangatlah tajam. Setelah sepeminum teh lamanya Lin Fung Lien membiarkan perempuan berkemben hitam dengan lurik merah menyala itu mengikutinya, lalu tiba-tiba dia menghilang disebuah tikungan mendekati pasar utama Tambakboyo. Tentu saja hal itu membuat Fanny sedikit terkejut karna tib-tiba saja buruannya menghilang. Segera saja dia mempercepat langkahnya menyusul dan ketika dia melewati tikungan dimana buruannya lenyap , Fanny agak tercekat karna perempuan yang diikutinya itu sedang menantinya disebuah pohon dekat tikungan dimana para penjual banyak menjajakan dagangannya.

Fanny tak lagi bisa mengelak atau membalikkan langkah karna perempuan buruannya itu langsung mendekatinya. Lin Fung Lien menatap lekat-lekat perempuan muda berkemben hitam dengan lurik merah menyala itu tepat didepan mukanya dan hanya berjarak setengah depa. Untuk pertama kalinya Fanny gugup dan tak sanggup melakukan apapun karna tatapan mata Lin Fung Lien amatlah teduh dan menyejukkan baginya.

“ Siapakah engkau kiranya ? Kenapa engkau terus mengikutiku sepanjang perjalanan kesini ? “ tanya Lin Fung Lien dengan suara lembutnya. 

“ Aku...aku...maafkan aku , bibi..” ujar Fanny atau Cheung Yang Fan sebisanya menekan kegugupan yang melandanya, “ Aku tidak bermaksud jahat..dan aku baru pertama kesini . Aku hanya ingin menikmati suasana disini dan kebetulan kulihat bibi sedang berjalan, lalu kuikuti kesini..” lanjutnya kemudian setelah bisa menguasai dirinya kembali . Tak ada yang harus ditakutinya atau bersiap menghadapi bahaya karna perempuan didepannya itu sangatlah ramah.

“ Oh, begitu rupanya..” angguk Lin Fung Lien dengan tatapan ingin tahu,” Jadi apa yang engkau ingin ketahui dariku ? “ tanyanya lagi.

“ Namaku Lin Fung Lien. Namamu siapa ? Kulihat engkau juga seorang keturunan tionghoa..” todong Lin Fung Lien tanpa ragu lagi.

“ Namaku Cheung Yang Fan. Biasa dipanggil Fanny saja..” jawab Fanny dengan polosnya dan merasa kikuk karna tidak bisa mengatakan kebohongan didepan perempuan yang bernama Lin Fung Lien itu.

Sejenak Lin Fung Lien menatap Fanny, seakan ingin mencari kebenaran yang tersembunyi dibalik wajah cantik itu.

“ Baiklah Fanny..tapi aku lebih suka memanggilmu Yang Fan..” kata Lin Fung Lien dengan suara yang masih terdengar lembut.” Ikutlah denganku , hari ini aku ingin belanja sendiri dan memasak makanan ala tiociu . Engkau kenal itu ?” tanyanya lagi.

“ Aku sama sekali tidak tahu itu makanan apa bibi..” geleng Fanny sedikit sedih, “ Menurut guru , aku ditemukannya waktu masih berumur setahun lebih dan aku sama sekali tidak mengenal apa dan bagaimana kebiasaan leluhurku..” jelas Fanny sejujurnya lalu menceritakan sekilas dari apa yang pernah dituturkan gurunya Nyi Gaharu Cindhe . Selama bercerita itu pula tatapan Lin Fung Lien tak pernah melepas pandangannya dari Cheung Yang Fan dan entah kenapa ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Untuk itulah dia melontarkan ajakan untuk mengikutinya agar sesuatu yang mengusik pikirannya itu terjawab. Lin Fung Lien sekalipun tidak pandai silat namun memiliki ketajaman mata hati yang sulit untuk ditebak.

Lin Fung Lien merasa tidaklah sesederhana itu alasan Cheung Yang Fan mengikut dirinya. Desa itu jarang sekali kedatangan orang asing yang tanpa tujuan apalagi oleh perempuan muda seperti Cheung Yang Fan . Diam-diam menulis nama sang guru Cheung Yang Fan yaitu Nyi Gaharu Cindhe pada sehelai daun lontar dan memberikannya pada salah seorang tauke langganannya yang menjual daging. Dengan pengaruhnya sebagai istri kepala desa , maka Lin Fung Lien memiliki jaringan untuk mencari berbagai keterangan mengenai situasi desa itu bahkan untuk menyelidiki hal-hal yang dibutuhkannya dalam ilmu pengobatan ataupun informasi yang menunjang keingin-tahuannya akan sesuatu. Demikian pula saat dia ingin mendapatkan informasi mengenai siapa dan bagaimana seorang Nyi Gaharu Cindhe yang tinggal di dusun keseneng yang berada didaerah bandungan Kadipaten Simongan. Tentu saja sang penjual daging langsung mengerti karna dia adalah seorang perantauan yang terlindungi didesa itu berkat pengaruh Lin Fung Lien, yang bahkan secara diam-diam mereka membentuk jaringan mata-mata bagi kepentingan para keturunan tionghoa dimasa itu. Satu anggukan telah memuaskan Lin Fung Lien dan sang penjual daging langsung memberikan perintahnya kepada salah seorang anak buahnya untuk segera melaksanakan tugas tersebut. Mereka telah menganggap Lin Fung Lien sebagai pemimpin mereka walaupun tidak secara menyolok mengungkapkannya.

Kita tinggalkan sejenak Lin Fung Lien yang sedang memasang jaringnya terhadap niat Cheung Yang Fan sesungguhnya ketika datang kedesa tersebut. Kita kembali kepada Genditabekaosoblong atau Gebe yang terbangun tak lama setelah Fanny pergi . Namun hal itu tak begitu memusingkan Gebe lantaran Fanny juga telah meninggalkan pesan diatas sehelai potongan daun lontar kecil yang selalu dibawa adiknya itu. Setelah membersihkan diri , pergilah Gebe menelusuri jalan yang kemarin dilaluinya menuju kerumah Ki Nantun Kwe Tiau Aciap si Tinju Maosan tersebut. Namun ditengah perjalanan , Gebe melihat ketiga anak muda yang kemarin dilihatnya berada dirumah sang tauke toko kelontong tersebut. Mereka berjalan menuju ke sebuah pondok tak berdinding yang banyak berdiri disepanjang jalan untuk tempat berteduh. Jaraknya dengan berapa tak begitu jauh , kira-kira sepuluh depa . Setelah melihat keadaan aman , Gebe mengerahkan tenaga dalamnya sambil berlari dan melompat keatas sebuah pohon mangga yang rimbun dimana pondok yang dituju ketiganya berada dibawah. Dengan hati-hati dia mencari tempat berpijak yang aman agar leluasa mendengarkan percakapan ketiganya.

“ Ada apa Qi ? Kenapa engkau tampak tak bersemangat ?” tanya si Menoreh dengan nada sedikit khawatir, “ apakah paman terluka ? Sepertinya papa juga terluka tapi tidak mau bercerita apa sebabnya..” keluhnya ketika mereka merasa aman berada di pondok itu.

“ Ada apa ini sebenarnya ? Apa yang sedang terjadi ? “ tanya suara seorang pemuda yang tak lain adalah Xeng Juan Yuan atau Aditya Sameangkala. Suaranya ringan tanpa memiliki bobot sebagai milik seorang pemuda yang berkarakter kuat namun memiliki rasa yang jujur.

“ Entahlah...aku juga tak tahu..” terdengar jawaban Qimunk sambil menghela napas yang terdengar susah,” Bapak tidak mau bicara, ibu juga sama. Sedangkan paman guru mengurung dirinya dikamar. Entah siapa yang telah melukai mereka tapi aku yakin ini pasti menyangkut sesuatu yang besar...” lanjut Qimunk terdengar begitu skeptis alias bingung.

Menoreh alias Kwe Cap Mey dan Xeng Juan Yuan terdiam. Mulut mereka serasa terkunci dalam kebingungan yang mendadak menghampiri mereka.

“ Tadi pagi ibu bilang punya rencana mengirim kita ke daerah Kartasura kalau seandainya tidak bisa menemukan bibi Cheng Yue Lin yang katanya tinggal disuatu dusun di daerah Simongan..katanya bibi Cheng Yue Lin akan mengajar kita ilmu silat..” lanjut Qimunk dengan nada kurang bersemangat.

“ Terus bagaimana dengan orang tua kita kalau saja mereka harus menghadapi musuh yang melukai mereka kemarin ?” tanya Menoreh denggan perasaan khawatir.

“ Apakah ini berhubungan dengan desas-desus yang belakangan kian santer dibicarakan para pesilat ?” sambar Xeng Juan Yuan mendadak seperti ingat akan sesuatu yang pernah didengarnya.

“ Desas-desus apa ?” sentak Qimunk dengan nada tajam menatap si pemuda kurus itu lekat-lekat, demikian juga dengan Menoreh.

“ Apa yang engkau maksud ini ?” tanya Menoreh bingung.

Xeng Juan yuan menatap keduanya dan sedikit songong karna merasa dirinya menjadi orang penting yang mendapat berita penting pula. Ada kepuasan ketika dirinya merasa diharapkan orang, dasar kuper!

“ Bulan lalu ketika aku ikut mengantarkan barang kiriman ke ibukota, kudengar ada yang menyebut-nyebut kembali sebuah pedang pusaka yang telah lama hilang. Ibukota juga makin ramai dengan kedatangan para pendekar maupun para penjahat berilmu tinggi untuk ikut memburu keberadaan pedang itu..” jelasnya dengan sedikit sombong.

“ Pedang pusaka apa maksudmu, Cungkring ?” kejar Qimunk tak sabar.

“ Pedang Naga Giok Langit , begitulah yang kudengar..” jawab Xeng Juan Yuan sedikit mengerutkan keningnya, “ Hanya saja pedang itu telah hilang dan tak ada kabarnya selama hampir dua puluh tahun ini..berarti waktu kita belum lahir ya ?” senyumnya mengembang konyol.

“ Pedang apa itu ? Kenapa perasaan kalau pedang itu bukan berasal dari daratan ini ya ?” geleng Menoreh dengan bingung.

“ Thian-Yu-Kiam-Liong...?” desis Qimunk seakan tidak mempercayai apa yang keluar dari mulutnya saat itu .

Menoreh Kwe Cap Mey dan Xeng Juan Yuan serentak menatap Qimunk seakan menuntut penjelasan atas sebaris kata yang keluar itu .

“ Kenapa ? Ah, aku pernah membaca cerita itu dari buku milik paman guru waktu kita belajar di pondoknya..” jelas Qimunk tak begitu yakin akan kebenarannya.” Thian-Yu-Kiam-Liong atau Pedang Naga Giok Langit adalah legenda dari daratan negeri tiongkok ratusan tahun silam. Entah sudah berapa kali pedang itu hilang dan kemudian muncul lagi. Kalau engkau mengatakan ada desas-desus mengenai pedang itu disini, di tanah jawa ini..Nah, itu yang mengherankan. Apa mungkin pedang itu mengikuti sang pemiliknya dan kemudian hilang didaratan ini ?” lanjut Qimunk dengan suara pelan.

“ Apa maksudmu Qimunk ?’ tanya Menoreh lagi dengan bingung. Memang perempuan anaknya si Tinju Maosan Kwe Tiau Aciap ini tidaklah begitu pintar dan cerdik seperti Qimunk . Kadang sikapnya ini sangatlah mengesalkan Qimunk namun dia menyayanginya seperti adiknya sendiri.

“ Mungkin pedang itu terakhir dimiliki oleh salah seorang yang ikut dalam pelayaran utusan kaisar tiongkok dahulu waktu singgah ditanah jawa ini. Mungkin telah terjadi sesuatu dan akhirnya pedang itu kemudian menghilang atau disembunyikan..Entahlah, aku tidak tahu kebenarannya..” jawab Qimunk sambil menggeleng dan pandangan matanya menerawang jauh.

Qimunk seperti hendak menggali sesuatu yang jauh didalam ingatannya sementara Menoreh dan Xeng Juan Yuan teracuhkan keinginannya untuk mengetahui lebih jauh mengenai cerita Qimunk tersebut. Keduanya seperti serempak mengeluh mengapa mereka tidak memiliki kepintaran seperti Qimunk yang memiliki banyak pengetahuan itu. 

Samar-samar Qimunk akhirnya menemukan pengalamannya sewaktu masih berumur lima tahun , dimana waktu itu dia melihat sang ibu, Lin Fung Lien sedang membungkus sebuah kotak panjang dengan kain dan menyimpannya bersama barang-barang bawaannya ketika hendak bepergian. Waktu itu ibunya pergi sendiri selama seminggu dan ia tinggal bersama ayah dan pengasuhnya. Seperti nya kotak panjang itu sangatlah berharga dan itu tampak dari perlakuan ibunya terhadap kotak tersebut. Hanya saja ada yang mengusiknya, apa hubungan antara ibunya dengan pedang itu ? Apakah ibunya merupakan salah satu dari mereka yang ikut dalam pelayaran utusan kaisar tiongkok waktu itu ? Qimunk akhirnya memutuskan akan bertanya kepada ibunya setelah kembali nanti.

“ Aku harus kembali, ada sesuatu yang ingin kutanyakan pada ibu..” ujar Qimunk sambil menatap keduanya.

“ Aku ikut...” sambung Menoreh cepat.

“ Aku juga ikut..” kata Xeng Juan Yuan untuk memuaskan rasa ingin tahunya disamping tak ingin jauh-jauh dari Menoreh.

Ketika mereka hendak meninggalkan pondok itu untuk kembali ke rumah Qimunk, seorang laki-laki berparas tampan tampak mendekati mereka. Sepertinya orang yang belum pernah datang ke desa itu. Ada sedikit kebingungan membersit di wajahnya dan tampaknya berharap ada pertolongan.

“ Maafkan awak, kisanak..” sapanya ramah ketika berhadapan dengan Qimunk. Menoreh dan Xeng Juan Yuan yang hendak pergi.

“ Ada yang bisa kami bantu , kisanak?” tanya Xeng Juan Yuan mendahului kedua sahabatnya itu. Mereka menatap penuh selidik kepada lelaki pendatang yang menggendong satu buntalan kain dipundaknya itu. Pakaiannya tak terlalu mewah namun bersih. Rambutnya agak panjang dan tampak diikat dengan tali rami sehingga tampak seperti perempuan kalau dilihat dari belakang. Wajahnya tampan dan memiliki sepasang mata yang dalam sehingga agak memabukkan.

“ Maafkan awak mengganggu kisanak.Awak adalah seorang perantau yang kebetulan melewati desa ini. Kalau tidak keberatan awak ingin mengunjungi kepada desa untuk sowan agar kehadiran awak didesa ini tidak dianggap mengusik ketenangan yang ada...” tuturnya panjang lebar sembari menakar ketiga anak muda itu dengan tatapan matanya, “ Oh, iya..nama asli awak Arthammer Fistanul, masih keturunan arab. Awak biasa dipanggil Akhmed Baijuri...” sambungnya lagi.

Mendengar nama itu, hampir saja Qimunk melepaskan tawa gelinya. Namun hal itu bisa ditahannya agar tidak menyinggung perasaan orang. Sedangkan Menoreh mengalihkan pandangannya kearah lain.

“ Oh..begitu rupanya maksud tuan Akhmed..kebetulan kami sedang menuju kesana juga...” jawab Xeng Juan Yuan tanpa bisa dicegah lagi.

“ Wah, kebetulan sekali . Awak Akhmed Baijuri sangat berterima kasih sekali bila kisanak mau menunjukkan rumah kepala desa ini kepada awak..” angguknya dengan wajah berseri sambil memberi sedikit rasa hormatnya, “ Kalau boleh tahu, siapakah kisanak yang gagah dan siapakah puan-puan yang cantik ini ?” tanyanya kemudian dengan bahasa yang sedikit aneh ditelinga ketiganya.

“ Aku adalah Xeng Juan Yuan..” tunjuknya kepada diri sendiri.” Dan ini adalah Menoreh , lalu yang itu adalah Kirana Qi atau Qimunk. Dia adalah puteri kepala desa ini...” jawab Xeng Juan Yuan tersungkur dengan pujian lelaki yang menyebut dirinya dengan Akhmed Baijuri atau Arthammer Fistanul itu.

“ Alhamdulilah. Allahu Akbar..ternyata begitu besar rahmat Allah mengiringi langkah awak. Ternyata awak telah bertemu dengan seorang tuan muda yang gagah dan puan-puan cantik ini, yang juga adalah puteri kepala desa sendiri..” angguknya dengan gaya seorang bangsawan dan memberikan hormatnya yang aduhai kepada kedua perempuan itu, terutama kepada Kirana Qi .

Sebenarnya Kirana Qi agak sedikit jengah namun untuk membalas penghormatan itu, diapun menundukkan badannya sedikit bersama Menoreh. Lelaki yang berumur tiga puluhan itu sebenarnya sedikit menarik minat dihati Kirana Qi atau Qimunk namun entah mengapa gaya bahasa yang digunakannya itu agak membuatnya muak. Qimunk tak tahu sebabnya dan lebih memilih untuk merapatkan bibirnya terlebih lagi sepertinya lelaki itu memberikan perhatian sedikit lebih kepadanya.

“ Awak minta maaf kalau bahasa yang awak gunakan sedikit beda dengan ruan muda dan para puan-puan yang cantik ini. Awak berasal dari negeri melayu, negeri jiran diseberang laut sana. Awak merasa tertarik dengan kerajaan Majapahit maka awak membuat sebuah jalan terbentang dalam hidup awak..” jelasnya seperti mengerti dengan sedikit kebingungan mereka bertiga.

“ Oh..ndak apa-apa tuan Akhmed..kami bisa mengerti..” dengan tangkas Xeng Juan Yuan menepis keraguan lelaki tersebut, “ Kalau begitu, mari kita pergi bersama kerumah kepala desa..”ajaknya kemudian.

Tuan Akhmed Baijuri tersenyum dan melayangkan kerlingannya kepada Kirana Qi sebelum ikut melangkah bersama ketiga kenalan barunya itu menuju ke arah rumah kepala desa. Sekilas lelaki yang bernama Akhmed Baijuri atau Arthammer Fistanul itu meleaskan tatapannya kearah pohon mangga yang menaungi pondok dimana tadi Xeng Juan Yuan bertiga berbincang.

Sedangkan diatas pohon mangga itu Gebe merasa sedikit merinding ketika tatapan singkat lelaki tersebut seperti menyibak dedaunan dan menatap dirinya. Gebe merasa aneh karna aura yang dirasakannya pada lelaki yang bernama Akhmed Baijuri itu lain dari biasanya. Gebe merasa bergidik dan dalam diamnya tak mau bergerak sedikitpun agar tidak menimbulkan kehebohan dengan tingkahnya mencuri dengar perbincangan mereka. Ingatannya kembali kepada sebuah cerita gurunya, Nyi Gaharu Cindhe tentang sebuah ilmu kanuragan yang berbau mistis yaitu ilmu ajian Ki Neropong Pandiangan yang dimiliki Ki Genjing Bimantoro, seorang guru ngaji yang murtad dan punya kesaktian ilmu gendam dan Nyi Genit Saksang Unsulangi, seorang bikkhuni yang juga murtad dari lembah Nyarosinga. Keduanya lalu hidup bersama dan bertapa di Gunung Manasehada, sebuah daerah terpencil di pulau Bima. Menurut penuturan gurunya, kedua orang itu hampir tidak pernah menerima murid dan satu-satunya yang pernah mempelajari ilmu itu adalah seorang penguasa Kadipaten Limbarawa, yaitu Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting.

Ilmu Ki Neropong Pandiangan sendiri didasari oleh kekuatan tenaga dalam yang dipadukan dengan ilmu gendam pamungkas, yang dasarnya adalah untuk mempengaruhi orang lain sesuai dengan kehendaknya. Namun di tangan Ki Genjing Bimantoro dan Nyi Genit Saksang Unsulangi, ilmu gendam pamungkas menjadi sebuah ilmu untuk mengetahui keberadaan dan kenestapaan akan sebuah tujuan. Ilmu Ki Neropong Pandiangan mampu memberikan gambaran sekalipun secara semu sesuatu yang ingin dilihat walau dalam jarak yang sangat jauh. Ilmu ini sendiri sebenarnya tidaklah terlalu jahat hanya saja aura magis akan terasa bagi orang yang peka akan kekuatan mistis.

Genditabekaosoblong atau Gebe yang sedang mengintai diatas pohon mangga itu memang sedari kecil memiliki kelebihan dalam hal-hal magis. Gurunya sendiri tidak mengerti bagaimana Gebe bisa seerti itu. Mungkin karna keadaannya sewaktu ditemukan dalam keadaan terlunta-lunta dan keputus-asaanya malam itu. Tetapi entahlah, hal itu Nyi Gaharu Cindhe sendiri tidak bisa mengungkapkan dan itulah sebabnya dia secara khusus melatih kepekaan itu dengn rajin menyuruhnya untuk bermeditasi . Sehingga lama kelamaan Gebe menjadi peka dan mampu mengontrol kemampuannya itu kalau berhadapan dengan lawan yang menggunakan ilmu hitam .

Itulah sebabnya Gebe tidak berani terlalu lancang mengikuti keempatnya yang sudah melangkah menuju kerumah kepala desa . Dia tak ingin bentrokan yang tak perlu terjadi karna misinya adalah mencari tahu keberadaan Pedang Naga Giok Langit atau yang disebut Thian-Yu-Kiam-Liong itu. Gebe menunggu diatas dahan besar pohon mangga itu sampai mereka semua pergi dan tidak kelihatan lagi . Pikirannya mereka-reka potongan cerita yang didengarnya sejak kemarin siang dari lereng merapi itu sampai pada saat ini. Sepertinya jejak Pedang Naga Giok Langit semakin dekat namun tampaknya tidak akan mudah untuk mendapatkannya .

Teringat akan adik seperguruannya, Gebe segera bermeditasi dan merapal ajian pemetik sukma nagaswara .Dengan ajian ini Gebe bisa mengusik adiknya itu dengan memberikan bisikan-bisikan bila dirasanya amat penting . Dengan bermeditasi kekuatan Gebe dalam menuntaskan ajian itu amatlah sulit ditemui. Gebe harus memberikan peringatan kepada adiknya itu supaya lebih waspada karna dia tahu bahwa adiknya tersebut akan berusaha mendekati dan masuk dalam lingkaran keluarga sang kepala desa. Itu sangat membahayakan dengan kehadiran lelaki yang menamakan dirinya Akhmed Baijuri itu apalagi aura lelaki itu mengandung daya magis yang kuat.

Sejenak kemudian Gebe sudah turun dari pohon mangga itu setelah keadaan aman lalu segera melangkah dengan cepat menuju kerumah sewaan mereka melalui jalan kecil yang sudah pernah dilewatinya kemarin.

Sedangkan Cheung Yang Fan atau Fanny sedikit tersentak dengan bisikan kakak seperguruannya yang tidak seperti biasanya itu. Fanny segera sadar bahwa apa yang dihadapinya sekarang ini mungkin adalah sebuah perangkap untuk mereka. Cheung Yang Fan atau Fanny, berusaha mencari alasan untuk mengelak dari ajakan Lin Fung Lien yang agak memaksanya untuk ikut kerumahnya. Kini mereka telah selesai berbelanja dan akan kembali pulang kerumah sang kepala desa.

“ Bibi Lien...maafkan Yang Fan ini..” ucap Fanny sambil menggamit lengan istri sang kepala desa Tambakboyo yang menyenangkan itu, “ Ada sesuatu yang lupa untuk kulakukan, jadi saat ini Yang Fan tidak bisa ikut bibi Lien kerumah..” lanjutnya pelan. Lin Fung Lien menatap lekat perempuan muda nan cantik namun sepertinya menyimpan sesuatu yang amat pekat. Dia merasakannya.

“ Aah..sayang sekali, Yang Fan. Sebenarnya malah bibi ingin engkau tinggal dirumah bibi daripada harus menyewa rumah orang. Jadinya engkau bisa berkenalan dengan puteri bibi..” jawab Lin Fung Lien sedikit kecewa, hanya tak ingin kelihatan terlalu memaksa.

“ Setelah urusan selesai, Yang Fan akan menemui bibi Lien dirumah..” elak Cheung Yang Fan atau Fanny masih dengan keluguannya. Dia harus menemui kakaknya untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dan dia harus menghindari kedatangannya kerumah Lin Fung Lien.

“ Baiklah. Bibi tunggu kedatanganmu. Ajaklah juga kakak angkatmu itu..” angguk Lin Fung Lien tak lagi bisa menahan keinginan Fanny. Lagipula dia sedang menunggu anak buah si penjual daging kembali dari Bandungan untuk menyelidiki latar belakang Cheung Yang Fan ini . Sekarang dia harus lebih berhati-hati dalam melangkah karna amatlah sulit mempertahankan apa yang ingin disembunyi kannya mengenai keadaan Pedang Naga Giok Langit.

Keduanya lantas berpisah. Cheung Yang Fan melangkah sedikit cepat dan tak lama kemudian menghilang daibalik sebuah tikungan jalan. Semua itu tak luput dari pandangan mata Lin Fung Lien yang amat berpengalaman mengenali sifat dan tingkah laku seseorang dari gerakan badannya. Ada yang menarik hatinya dari perempuan muda yang bernama Cheung Yang Fan ini. Entah apa , Lin Fung Lien tidak mau memikirkannya terlebih dahulu sebelum mendapatkan laporan dari mata-mata yang digunakannya untuk mencari informasi.

Setelah melewati tikungan itu , Fanny lantas segera mempercepat langkahnya kembali ke rumah sewaan lewat jalan-jalan tikus yang kemarin ditelusurinya bersama Gebe, agar memudahkan langkah dan gerak mereka bila terdesak harus melarikan diri. Semua itu berkat didikan dari Nyi Gaharu Cindhe dalam menghilangkan jejaknya setelah memutuskan pergi dari bingarnya ibukota kerajaan ketika itu.

Ternyata Gebe telah tiba dirumah itu dan sedang menunggunya. Wajahnya tampak sedikit cerah ketika melihat kedatangan adiknya itu. Keduanya berpelukan dengan rasa lega, lalu saling bercerita dengan pengalaman masing-masing sembari mengintip dari lubang-lubang kecil yang ada di jendela berbentuk krepyak itu. Sasaran mereka masih tetap rumah sang kepala desa dan ingin melihat bagaimana perkembangan atas penyelidikan mereka sebelum kembali ke padepokan mereka di dusun keseneng , di daerah bandungan itu.

“ Jadi menurut kak Gebe, siapa lelaki yang bernama Akhmed Baijuri itu sebenarnya ? “ tanya Fanny sedikit berbisik.

“ Entahlah adikku...aku tak bisa menembus auranya dan kalaupun itu kulakukan maka dia akan tahu ada yang sedang mengincarnya. Itu berbahaya adikku, hanya orang yang punya kemampuan hebat saja yang bisa menghimpun ajian Ki Neropong Pandiangan. Mungkinkah selain Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting masih ada lagi yang menguasai ilmu itu ?” jawab Gebe sambil menggeleng kepala.

“ Berarti dia adalah...” Cheung Yang Fan menatap kakaknya dengan jerih.

“ Entahlah, adikku..Makanya kita harus hati-hati. Bila keadaan tidak aman, kita harus segera pergi dan tidak boleh ikut campur. Siapapun orang ini pasti memiliki kepandaian yang hebat, apalagi kalau memang dia menguasai ajian Petaka Seribu Wajah yang menurut guru sudah lama menghilang. Orang yang menguasai ilmu ini bisa menjadi siapapun yang diinginkannya tanpa diketahui siapa dia sesungguhnya. Tetapi menurut guru , ada semacam tumbuhan perdu berakar biru dan berdaun ungu yang bisa mematahkan ilmu itu. Tanaman itu disebut Bunga Sang Janda Raja .Tentu saja harus dibarengi dengan rapalan ajian penangkal ilmu mistik, yang paling sederhana sekalipun...” jelas Gebe dengan sabarnya dan tentu saja suaranya nyaris berbisik.

“ Dimana tanaman itu bisa didapatkan , kak ?” tanya Fanny iseng.

“ Tanaman Bunga Sang Janda Raja itu hanya ada dan tumbuh disebuah lereng gunung Lawu . Mudah menyebutkannya namun amatlah sulit untuk didapatkan. Ada yang menunggui tanaman itu dan belum pernah ada yang melihatnya..” sambungnya lagi sambil terus mengintip dari balik jendela krepyak itu.

“ Ssssst...mereka datang, adikku...” desis Gebe sembari memberi isyarat kepada Cheung Yang Fan untuk ikut mengintip,” hati-hati, adikku...orang ini hebat kepandaiannya..” lanjutnya lagi.

Fanny segera ikut mengintip dari balik jendela krepyak itu sekali dengan susah payang mencari celah yang bagus. Keduanya tenggelam dalam suasana hening ketika Kirana Qi atau Qimunk, Xeng Juan Yuan dan Menoreh sedang berjalan bersama dengan seorang lelaki yang tampak menggendong buntalan kain dipundaknya yaitu Akhmed Baijuri yang tadi berkenalan dengan mereka.

Keempat orang itu berjalan melewati rumah sewaan tersebut dan tampak tak ada kekecurigaan apapun dari lelaki yang menggendong buntalan kain itu. Namun Gebe sedikit menggigil dan bergidik , bibirnya komat-kamit sambil mengerahkan tenaga dalamnya . Terlihat Gebe sedikit berkeringat seeprti sedang menahan beban yang berat . Fanny melihat itu semua dan segera membantu kakaknya sambil mengerahkan tenaga dalamnya pula .

Sepeminum teh kemudian keadaan Gebe pulih kembali namun wajahnya agak pucat dan tampak seperti kelelahan. Cheung Yang Fan atau Fanny, adiknya sedikit merasa bersalah dan menatapnya dengan khawatir.

“ Tidak apa-apa, adikku...” hibur Gebe dengan lirih, “ Kita harus segera tinggalkan tempat ini, terlalu berbahaya..” lanjutnya dengan tegas.

“ Baiklah , kak...mari kita segera pergi dan kembali ke padepokan untuk melapor pada guru..” angguk Fanny tanpa banyak membantah lagi. Dia percaya dengan kakaknya karna selama ini, Gebe sangat menyayangi dan melindunginya selain guru mereka tentu saja.

Kedunya segera bergegas untuk berkemas dan meninggalkan tempat itu setelah membayar uang sewa rumah serta pamitan dengan ibu pemilik rumah. Tanpa menunda lagi Gebe dan Fanny segera menelusuri jalanan setapak yang berada dibelakang rumah sewaan dan menghilang diujung jalan yang menuju ke padepokan mereka.

Kita tinggalkan sejenak desa Tambakboyo dengan keruh yang mulai menggelantung di permukaan desa tersebut. Kita kembali ke pondok diatas pohon pada sebuah bukit diantara lereng merapi yang menjadi tempat tinggal Kirara Kariri, murid tunggal seorang pertapa perempuan yang memiliki julukan menakutkan yaitu Nyi Lampir Bukit Menoreh .

Sambil menghela napas panjang, Ni Sekar Kusumadewi atau Nyi lampir Bukit Menoreh sibuk mengurusi kedua perempuan muda yang masing-masing terluka karna kecerobohannya sendiri itu. Kirara Kariri hanya meringis dalam diamnya dan menunggu omelan yang bakal datang dari gurunya. Sedangkan si Kucing Bengal Ekor Belang tampak meringis kesakitan yang mendera pantatnya itu .

Tak lama kemudian Ni Sekar Kusumadewi telah selesai mengobati keduanya dan tampak sedikit gemas dengan kenakalan murid tunggalnya itu. Disebuah sudut juga tergeletak seorang pemuda yang sedang terkapar karna pengaruh bubuk penyekat sukma milik muridnya tersebut. Lalu dia mendatangi pemuda itu dan menekan beberapa urat nadinya dan menyisipkan sebutir obat kedalam mulut pemuda itu sambil menuang secupuk air dalam daun.

Setelah selesai Ni Sekar Kusumadewi menatap muridnya Kirara Kariri dengan sedikit menegur namun yang ditata pura-pura tak melihat.

“ Duuh, muridku...jangan biarkan kenakalan itu terus menguasai dirimu..” tegurnya lembut , “ Sudah berapa kali guru bilang untuk tidak sembarangan menggunakan bubuk penyekat sukma itu. Kalau terlalu banyak bisa menyebabkan kematian..” lanjutnya sambil menepuk sedikit pantat muridnya itu.

“ Aduuh...sakit guru..” jerit Kirara Kariri dengan suara tertahan, ada rasa jengah karna lawannya si Kucing Bengal juga disitu dan melirik senang dengan hukuman sang guru. Kirara Kariri mendelik kepada lawannya itu.

“ Dan engkau muridnya Sang Rubah Jenggot Putih bukan ? Aaiih...engkau harus makan yang benar supaya bau badanmu itu bersih. Lagian mengapa memaksakan diri belajar ilmu kentut arwah penasaran ? Ilmu itu menguras kemurnian tenaga dalammu , bila engkau tetap nekad melakukannya tanpa berlatih dengan benar maka suatu hari akan membuatmu terbunuh...” tegur Ni Sekar Kusumadewi sembari menatap tajam si Kucing Bengal yang tergeletak didepannya itu.

Mendengar teguran itu si Kucing Bengal hanya menundukkan kepalanya. Tatapan perempuan itu tak mampu dilawannya. Dalam hati dia mengiyakan teguran itu dan berharap suatu hari akan mendapatkan bimbingan untuk berlatih yang benar.

“ Hmm...gurumu itu, Habib Juwandi Ahmadireja seringkali terlalu gegabah dalam bertindak. Sekalipun namanya menjulang sebagai Sang Rubah Jenggot Putih, namun masih juga dikuasai oleh api napsu. Bukankah dia masih mengejar kekasihnya dulu yang kini sudah menjadi salah satu selir Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting ?” tanya Ni Sekar Kusumadewi tetap dengan suaranya yang lembut namun mampu menguasai hati yang mendengarnya, “ Oh, ya..siapa namamu nak ? Apa dia itu selain kakak seperguruanmu , adalah jug kekasihmu ?” lanjutnya sambil menatap lekat kepada si Kucing Bengal yang kini sedikit tenang hatinya.

“ Namaku Ni Prilli Bromokastaman tapi sering memakai nama Ni Prilli Aduswae dan itu Kiwilcemong. Sebenarnya dia bernama Willy Wijaya , hanya saja dia membenci nama itu seperti dia membenci nama sang penguasa kerajaan...” jawab Ni Prilli berterus terang untuk pertama kalinya dan tidak menutup-nutupi karna selama berada dekat dengan gurunya, hal itu tidaklah menjadi sesuatu yang penting untuk dibicarakan.

Mendengar penjelasan itu , hampir saja Ni Sekar Kusumadewi tertawa namun ditahannya dan hanya tersenyum simpul.

“ Aah, kalian ini anak muda ada-ada saja..Terserahlah kalian mau menggunakan nama apa, itu hak kalian..” geleng Ni Sekar Kusumadewi tak mau mengusik hak pakai nama peremuan murid Sang Rubah Jenggot Putih itu.

“ Bagaimana kabarnya gurumu itu ? Apakah masih saja memuaskan dirinya dengan bertarung ilmu kepandaian ? Ataukah ada yang sedang diincarnya ? Kudengar ada desas-desus tentang Pedang Naga Giok Langit yang sudah lama menghilang. Aah...dunia akan semakin kacau kalau pedang itu muncul kembali. Pedang itu memiliki jodohnya sendiri, takkan bisa dikuasai tanpa memiliki rahasianya..” ujar Ni Sekar Kusumadewi dengan suara datar.

“ Hahahahahaha....baik sekali engkau menanyakan kabarku, Ni Sekar Kusumadewi atau harus kupanggil engkau dengan nama besarmu Nyi Lampir Bukit Menoreh ?” tiba-tiba saja sebuah gaung tawa memenuhi ruangan pondok diatas pohon itu.

“ Ah , ternyata telingamu betul-betul tajam Habib Juwandi Ahmadireja..” senyum dan tawa kecil mengiringi ucapan Ni Sekar Kusumadewi namun gaungnya seperti sebuah lecutan halilintar.

Sambil berkata demikian, tubuh Ni Sekar Kusumadewi melesat bagaikan bayangan dan menghilang dari ruangan pondok itu. Mendengar kedatangan gurunya, si Kucing Bengal Ekor Belang memaksakan diri bangkit dan berjalan menghampiri si Kiwilcemong yang mulai sadar dari pengaruh bubuk penyekat sukma milik Kirara Kariri .

“ Pakailah ini...” ucap Kirara Kariri sambil melemparkan sebuah kain kepada si Kucing Bengal untuk menutupi celananya yang robek dan kemben hijau leceknya yang kehilangan kancingnya itu. Setelah itu Kirara Kariri segera melangkah keluar dari pondok untuk melihat keadaan gurunya.

Si Kucing Bengal segera melilitkan kain itu untuk menutupi pakaiannya yang berantakan dan dalam hati dia sedikit berterima kasih atas pemberian itu. Sedangkan di luar pondok dimana tadi Kirara Kariri bertarung dengan si Kucing Bengal, dia melihat gurunya sedang berhadapan dengan seorang lelaki tua bersorban dan berjenggot panjang yang nyaris mencapai pusarnya. Sebuah jubah longgar dikenakan lelaki tua itu dan diikat seadanya dengan sehelai tali kain untuk menutupi Oto Sakti Kura-kura Bersisik, sebuah pusaka langka yang menjadi andalannya dalam menahan serangan lawan-lawannya.

“ Ternyata engkau masih saja tetap cantik Ni Sekar, sekalipun dirimu sudah setengah abad mengembara dalam hidup ini..” puji Sang Rubah Jenggot Putih terus terang dengan ucapannya.

“ Ah, engkau masih saja bermanis mulut walaupun sebelah kakimu sudah menginjak lubang kubur Habib Juwandi..” balas Ni Sekar Kusumadewi sembari tertawa.

Keduanya tertawa bergelak . Bukannya hanya tawa biasa karna pohon-pohon bergetar menerima hempasan tenaga dalam yang mereka lontarkan lewat tawa itu. Kirara Kariri sedikit terhuyung ketika mendengar suara tawa yang penuh tenaga dalam itu dan cepat-cepat dia bermeditasi untuk menahan hempasan itu. Sedangkan si Kucing Bengal dan Kucing Garong malah seperti terbantu. Hempasan tawa itu memperkuat diri mereka memulihkan diri.

“ Kedua muridmu baik-baik saja, Habib. Mereka memang terluka dan telah kuobati...” ujar Ni Sekar Kusumadewi yang cukup mengenal Sang Rubah Jenggot Putih yang sangat menyayangi kedua muridnya itu.

“ Terima kasih atas kebaikanmu, Ni Sekar...” angguk Sang Rubah Jenggot Puith sedikit kikuk karna ketahuan rasa khawatirnya terhadap kedua muridnya tersebut.

“ Apa yang engkau ketahui tentang Pedang Naga Giok Langit itu? “ tanya Sang Rubah Jenggot Putih tak mau lagi bertele-tele karna percuma saja menghadapi Ni Sekar Kusumadewi dengan berpura-pura. Perempuan didepannya itu terlalu pandai membaca sikap seseorang.

“ Tidak banyak yang kuketahui , Habib Juwandi..Hanya saja untuk menguasai pedang itu tidak sekedar merebut saja namun harus memiliki rahasia untuk membangkitkan pedang itu...” jelas Ni Sekar dengan tajam menatap Sang Rubah Jenggot Putih yang tampak terkesiap.

“ Apa rahasia itu Ni Sekar ?” tanyanya antusias.

“ Entahlah , jangan tanya itu kepadaku karna aku tak berminat mengejar pedang itu...” jawab Ni Sekar dengan ringannya,” Apa yang hendak engkau lakukan dengan pedang itu , wahai Habib Juwandi Ahmadireja ?” tanyanya tajam.

Sang Rubah Jenggot putih menatap Ni Sekar Kusumadewi dengan pandangan menyelidik dan ada satu hal yang sedikit mengusiknya. Pertanyaan itu.

“ Kurasa engkau mengetahui sesuatu yang tidak kuketahui, Ni Sekar Kusumadewi. Apa yang ingin kulakukan dengan Pedang Naga Giok Langit adalah urusanku. Puluhan tahun yang lalu seharusnya sudah menjadi milikku tetapi ada beberapa orang yang menghalangi dan membawa pedang itu lari..” gerutu Sang Rubah Jenggot putih dengan geramnya .

“ Hahahahahaaha...itu berarti pedang itu tidak berjodoh denganmu, Habib Juwandi...” derai tawa Ni Sekar serasa mencekam, dia tahu dengan baik kebiasaan buruk Sang Rubah jenggot Putih ini .

Sang Rubah Jenggot Putih menatap tajam. Dia tahu kemampuan Nyi Lampir Bukit Menoreh bukanlah sekedar julukan kosong belaka dan dia tak ingin bentrok untuk menambah masalah. Tetapi bukankah menjajal ilmu itu kebiasaan dunia persilatan ? Egonya menantang. Ni Sekar Kusumadewi sadar perkataannya mengusik pikiran Sang Rubah Jenggot Putih dan untuk itu diapun bersiap pula menghadapi segala kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Sejenak keheningan membungkus mereka . Kirara Kariri berdiri tak jauh dibelakang gurunya sedangkan Kiwilcemong yang sudah hampir pulih tampak menjauh bersama si Kucing Bengal. Langit tampak bergulung-gulung membawa awan kelabu dan perlahan-lahan mulai menitikkan tetesan-tetesan kecil jatuh kebumi. Udara menghembuskan rasa gigil yang mulai merasuki raga.

Ni Sekar Kusumadewi atau Nyi Lampir bukit Menoreh saling tatap dengan Sang Rubah Jenggot Putih Habib Juwandi Ahmadireja di bilahan tanah kosong itu. Hembusan angin semakin menderu dan gerimis mulai riuh berlarian kesana kesini tanpa memperdulikan siapapun. Apa yang akan terjadi kemudian...?







Tidak ada komentar:

Posting Komentar