Senin, 18 November 2013

PERAWAN DARI HUTAN LARANGAN

Bagian Ke-lima

Hutan larangan itu masih menyisakan pekat kesunyian yang mencekam . Tiga hari tiga malam lamanya Cheng Yi Lin tak sadarkan diri . Rasa duka untuk kedua kalinya telah membuat kesadarannya hilang , seakan semua nadinya tak lagi ingin berdetak . Kali ini dia harus kehilangan seorang guru , pembimbing dan seorang perempuan yang sudah dianggapnya sebagai ibu . Orang yang selama belasan tahun ini telah memberinya begitu banyak hal .

Pada hari ketiga dan siang pun telah sampai kepada puncaknya , Cheng Yi Lin tersadar dengan rasa sakit yang terasa amat sangat dikepalanya . Sejenak Cheng Yi Lin kebingungan dengan keadaan sekelilingnya . Namun ketika dilihatnya tubuh sang guru masih duduk dalam keadaan bersila dan kaku , menyentak hati dan emosinya . Hanya saja kali ini Cheng Yi Lin tidak lagi berteriak atau menangis keras. Dengan penuh hormat Cheng Yi Lin berlutut dihadapan jasad gurunya sambil berurai air mata . Cheng Yi Lin memberikan tiga kali sujud kepada gurunya itu , seperti yang pernah diajarkan kepadanya .

Cheng Yi Lin menatap jasad gurunya itu dengan takjub. Wajah gurunya begitu damai dan dari tubuh itu menyeruakkan hawa harum yang tak pernah ditemuinya selama ini .

" Gu...ru..I..bu....maafkan Yi Lin...maafkan Yi Lin.." bisiknya lirih, ada rasa tak rela dengan kepergian sang guru yang begitu cepat dan sesal karna selama bertahun-tahun sang guru tak pernah sekalipun mendengarnya bicara .
................
~ Suatu hari nanti, aku ingin kau mencari bibi gurumu yang juga kakak kandung gurumu ini. Namanya Cheng Yue Lin. Dia tinggal di daerah Simongan , pantai utara . Perjalanan kesana paling tidak butuh dua hari tetapi tidak perlu buru-buru, engkau bisa melakukannya kapan saja...~
.................
~ Bibi gurumu itu menguasai ilmu Pedang Naga Giok Langit dan engkau harus menguasainya. Kami pernah berjanji bila salah satu dari kami memiliki murid, maka yang lain harus mengajarkan ilmu andalannya. Bibi gurumu itu tak pernah punya murid, jadi dia harus mengajarimu ilmu itu....~ 
.....................
~ Ingat , diluar sana engkau harus hati-hati karna banyak orang jahat yang ingin mengusik. Itulah sebabnya engkau harus menemui bibi gurumu terlebih dahulu dan memperdalam ilmu disana , barulah engkau boleh merantau kemana engkau suka..~
.....................
Terngiang-ngiang pesan yang pernah didengarnya dari sang guru dan kini seakan diulang kembali oleh jasad sang guru untuk mengingatkan Cheng Yi Lin akan tugas yang harus dilakukannya nanti . Sekali lagi Cheng Yi Lin melakukan sujud kepada sang guru lalu beranjak keluar dari pondok mereka .

Cheng Yi Lin berjalan cepat menuju air terjun dimana mereka sering berlatih dan gurunya amat menyukai tempat itu . Dia dan gurunya seringkali bermeditasi disana untuk melatih tenaga dalam yang mereka miliki . Gadis itu membawa sebuah cangkul dan setelah melihat-lihat arah matahari terbit akhirnya dia menemukan sebuah tempat dibawah pohon besar yang menghadap datangnya matahari terbit.

Cheng Yi Lin mulai menggali lubang untuk jasad gurunya . Dengan kemampunan tenaga dalamnya yang makin hebat , Cheng Yi Lin tidak menemui kesulitan untuk menyelesaikan pekerjaan itu . Dalam waktu singkat pekerjaan itu telah selesai dan Cheng Yi lin kembali ke pondok untuk mengambil jasad gurunya .

Tanpa ada suara isak tangis sekalipun air mata tak henti-hentinya mengalir diatas wajah cantik itu , Cheng Yi Lin terpaksa mendudukkan tubuh kaku sang guru kedalam lubang yang telah digalinya itu dan dialasinya dengan batu-batu kecil sehingga tidak akan mengotori pakaian sang guru , begitu pikirnya .

Dengan telaten gadis itu menumpuk batu-batu disekeliling jasad itu sehingga menutupinya , baru kemudian lubang itu ditutupinya dengan tanah bekas galian tersebut. Tak hanya sampai disitu , Cheng Yi Lin ingin memastikan tidak ada yang mengusik kuburan sang guru sehingga diatas kuburan itu diberinya sebuah batu sungai yang besar . Batu itu juga sebagai penanda bila kelak dia kembali sehingga akan sangat mmudah menemukan kuburan gurunya .

Setelah selesai dengan pekerjaannya , Cheng Yi Lin tidak lupa menyalakan gaharu atau hio , yang biasa dilakukan oleh mendiang gurunya dulu . Gadis itu hanya tahu sedikit dari ajaran gurunya tentang tata cara sembahyang warisan leluhur sang guru. Cheng Yi Lin tak peduli . Yang penting baginya adalah menghormati gurunya melebihi siapapun dan apapun yang dilakukannya itu bukan urusan orang lain .

Kini wajah cantik itu tidak lagi menangis atau berurai air mata . Cheng Yi Lin sudah bisa menguasai perasaannya kembali . Semua itu memang harus terjadi dan kalau memang terjadi maka tidak akan bisa dihindari .

" Yi Lin anakku , hidup ini hanya sekali . Semua orang pasti mati , entah karna sakit atau tua , entah karna terluka atau kecelakaan . Apapun bentuknya manusia , yaitu kita semua , akan kembali kepada sang pencipta kita . Jadi janganlah kita terlalu lama bersedih atas kehilangan yang nanti akan terjadi pada kita karna semua itu adalah takdir..." begitu gurunya pernah berkata.

" Siancay...siancay...Thian maha agung , anakku Yi Lin..suatu hari nanti Thian akan membuka semua kesedihanmu dan memberikan jalan bagi kehidupanmu kelak... Siancay...siancay...Thian maha agung..." semilir angin menerpa siang itu dan tempat dimana Cheng Yi Lin sedang bersimpuh didepan kuburan gurunya . Dalam desauan angin itulah Cheng Yi Lin bagaikan mendengar suara bisikan gurunya sendiri dan bulu kuduknya meremang. 

" Terima kasih guru...terima kasih ibu...engkau telah memberikan segalanya bagiku selama ini...Yi Lin akan mematuhi segala perintah dan harapan guru untuk mencari bibi guru...Ijinkanlah Yi Lin menemani guru selama beberapa waktu supaya tempat ini tidak diusik orang..." ucap Cheng Yi Lin sambil berkali-kali sujud dan tak peduli betapa perutnya terasa perih karna sudah tiga hari ini dia tidak makan apapun .

Cheng Yi Lin terus menyalakan gaharu buat sang guru dan dan membakar uang-uang kertas untuk upacara keagamaan yang dimiliki gurunya semasa hidup . Cheng Yi Lin sendiri tidaklah terlalu mengerti namun tujuannya adalah menghormati guru yang amat disayanginya itu . Gadis itu melakukan kegiatannya sampai menjelang senja . Barulah kemudian dia kembali ke pondok dan mulai menanak nasi untuk makannya sendiri . Ada rasa sepi yang menyergapnya . Pondok itu kini rasanya tidak lagi sama . Ada rasa aneh disana . Cheng Yi Lin merasakannya namun tetap bertekad untuk bertahan beberapa hari lagi sampai masa berkabung itu bisa ditinggalkan .

Tak terasa hampir lima belas tahun sudah sejak kedatangannya dulu . Empat purnama lagi maka genaplah usianya menjadi dua puluh tahun . Namun Cheng Yi Lin tidak mau peduli . Sekarang perlahan-lahan dia berusaha menggali kembali ingatannya akan peristiwa pembantaian keluarganya dulu . 

Satu-satu wajah para penyamun yang telah membantai keluarganya itu, terpatri dalam benaknya dengan kuat. Keberingasan mereka terhadap keluarganya telah memasung suara dan menghancurkan hatinya.Wajah-wajah beringas ke enam penyamun itu membekas dan akan selalu diingatnya, suatu hari nanti dia akan membalasnya dengan kekejian yang tak terperikan.

Namun Cheng Yi Lin tidak mau tergesa , akan tiba waktunya untuk membalas semua itu . Dia ingat akan pesan sang guru dan akan memenuhi semua pesan itu demi untuk memberikan rasa hormatnya yang tak terhingga . 

Cheng Yi Lin tinggal di pondok itu sendirian sampai purnama kembali datang, artinya dia telah melewati hari ke-empat belas setelah kematian sang guru. Ada keinginan untuk pergi meninggalkan tempat itu dan memenuhi pesan gurunya untuk mencari sang bibi guru . Namun dia ingin memastikan bahwa pondok itu akan baik-baik saja sepeninggalnya nanti . Dengan telaten gadis itu membuat beberapa perlindungan bagi pondok itu agar tetap utuh walaupun ditinggal pergi.

~ Golek golek..capunge tak golek golek
Capunge golek golek dewe...
Golek golek...capunge tak golek wae..
Capunge golek golek dewe..
Capunge tak golek dewe..
Capunge modar kuwi...
golek golek...tak golek kuwi...~

Sembari bekerja , bibirnya melantunkan tembang dolanan yang telah mendekatkan dirinya dengan sang guru. Cheng Yi Lin tidak peduli dengan artinya sendiri. Yang dia tahu , tembang dolanan itu membuat dirinya merasa tenang dan lagi pula bisa mengurangi sedikit akan kerinduannya pada sang guru.

Sesekali tampak mencuat seringai ganas dibalik bibirnya yang melantunkan tembang dolanan jenaka itu . Dua hari yang lalu ketika mencoba menelusuri bagian luar dari hutan larangan ini ,telah membuatnya mengalami kerasnya dunia . Dan untuk pertama kalinya dia telah membunuh orang-orang yang bersikap tak senonoh kepadanya .

Kelima begundal itu tercekat dan masing-masing memegang lehernya dengan erat . Mata mereka kini terbeliak tanpa bisa mengeluarkan kata-kata rayuan lagi.

Perempuan muda bertubuh sintal nan molek itu terus tertawa merdu dengan pandangan mata berkilauan.

~ hihihihihihihihi....kalian telah lancang padaku, terimalah hukumannya..~ desisnya pelan, ~ tak ada lelaki yang bisa hidup setelah melihat tubuhku dan menghinanya....~ seraya melangkahkan kakinya menuju hutan larangan dari mana tadi dia datang.

Namun kejadian itu tidaklah terlalu memberatkan Cheng Yi Lin . Bahkan dia tidak terlalu peduli kenapa perbuatan para begundal yang mencoba mengusiknya itu harus ditebus dengan melayangnya nyawa mereka . Gadis itu terus bekerja untuk memastikan pondok mereka aman dari siapapun. Setelah purnama ini berlalu maka Cheng Yi Lin telah memutuskan akan memulai perjalanannya mencari sang bibi guru Cheng Yue Lin di daerah Simongan , yang dia sendiri tidak tahu kemana arahnya . Namun gurunya telah mengajarkan bagaimana harus mencari cara supaya bisa mendapatkan keterangan dari para penduduk setempat .

Sementara itu diluar hutan larangan para penduduk desa dihebohkan dengan penemuan ke lima mayat para begundal yang nasibnya amat tragis itu . Walaupun mereka dikenal sebagai kelompok yang sering meresahkan masyarakat disekitar desa mereka , tetap saja kematian mereka menimbulkan geger . Maka makin ramai perbincangan mereka yang membuat keangkeran hutan larangan semakin jadi mengerikan untuk didatangi .

Adalah desa Kinahrejo , sebuah desa di kaki gunung merapi yang berdekatan dengan lokasi penemuan mayat para begundal itu. Sebuah desa pertanian yang amat subur dan menjadi tempat peristirahatan para pedagang maupun orang-orang yang ingin melintasi lereng merapi. Desa ini dipimpin oleh seorang kepala desa yang juga merangkap sebagai kuncen atau juri kunci gunung merapi yaitu Kanjeng raden ayu Sintarinijelokpete yang masih kerabat sangat jauh dari kraton kerajaan . Kuncen ini lebih dikenal sebagai Mbah Jelokpete , yang kini usianya telah mencapai enam puluh enam tahun tetapi pakaiannya masih tampak ganjen.

Ramainya pergunjingan didesa Kinahrejo itu cukup menarik perhatian seorang perempuan yang dari pakaiannya tampak terlihat memiliki kemampuan silat.Ternyata dia adalah murid pertama Nyi Kikinauli Kumahaeta atau yang lebih sering dikenal sebagai Nyi Pandera Wirogeni dari riungan Gunung Kidul. Yaitu Ni Prili Junetto alias si Bengal Kucing Mabuk. Seorang perempuan dewasa yang mengenakan kemben merah dan celana hitam selutut dengan sebuah kendi arak dipinggang kirinya serta sebuah clurit dipinggang yang lain. Rambutnya terikat tali rami warna warni. Wajahnya cantik-cantik judes.

Entah kemana guru dan adik-adik seperguruannya pergi . Tampak juga Ni Prili Junetto alias si Bengal Kucing Mabuk tak begitu peduli . Sepertinya dia sedang menunggu kedatangan seseorang yang akan menemuinya di warung makan di desa tersebut . Beberapa botol tuak menemaninya disamping sepiring pete dan sambel serta ikan gabus asin yang menantang bersama sayur asem . Begitu pula sebakul nasi hangat mengepul didepannya . Rasa bosan menunggu membuat perempuan itu bersemangat menerkam hidangan didepannya tanpa melepaskan pendengarannya akan gunjang ganjing para penduduk disitu .

Gaya duduknya pun seronok dengan satu kaki terangkat di bangku dan clurit dipinggangnya itu menjadi satu-satunya benda yang bisa membuat ciut nyali siapapun yang merasa tertarik kepadanya .

" Siapa yang mati , pak ? Kenapa bisa mati ? Dimana kejadiannya ? " tanya perempuan itu sembari menyuapkan segenggam pete bercampur sambal pedas kemulutnya. Yang ditanya adalah seorang pelayan tua , yang sempat meneguk ludahnya sendiri melihat kelahapan perempuan itu makan .

" Begundal-begundal yang suka mengusik di sekitaran desa ini, non.." jawab sang pelayan pelan . " kejadiannya didekat sungai kecil dibatas hutan larangan yang menuju ke lereng . Mungkin dibunuh sama demit kali , non...lehernya pada putus semua...ada lima orang...hanya itu non ceritanya..." lanjutnya sambil cepat bergegas pergi sebelum mendapat makian si pemilik warung.

Ni Prili Junetto alias si Bengal Kucing Mabuk hanya manggut-manggut tanpa menghentikan keasyikannya melahap makanan itu . Namun kehadirannya tidak lepas dari perhatian para pengunjung warung makan itu . Maklum , sikap dan keseronokan perempuan itu sangatlah mencolok mata .

Ketika perempuan itu sedang menikmati makanannya , masuklah seorang pemuda yang berperawakan sedang kedalam warung itu . Dari wajahnya tampak nyata bahwa pemuda itu berasal dari keturunan Tionghoa sekalipun pakaiannya sederhana dan tidak berlebihan , kecuali sebuah golok yang terselip diantara tali temali yang mengikat bawaannya . Tampaknya pemuda yang berwajah lumayan tampan itu sedang dalam perjalanan jauh dan ingin beristirahat disitu .

Sejenak pemuda itu kebingungan karna tidak mendapatkan tempat namun kemudian matanya tertumbuk pada satu meja dimana seorang perempuan sedang asyik menyantap makanannya , yaitu Ni Prili Junetto dengan satu kakinya naik diatas bangku panjang itu . Pemuda itu kemudian memberanikan diri menuju ke meja yang sedang ditempati perempuan tersebut .

" Maafkan saya , kisanak...bolehkah saya berbagi tempat disini ? " tanyanya sopan sambil menunjuk bangku diseberang perempuan itu yang kosong .

Mulanya perempuan itu acuh tak acuh mendengar suara sopan itu . Namun ketika wajahnya terangkat dan menatap wajah pemuda didepannya itu , segera saja sikap tak acuh itu berubah . Ada debar melanda hatinya . Dasar ganjen !

" Silahkan...toh, tak ada yang berani duduk disitu.." jawabnya santai walau jantungnya berdebar kian kencang . Dalam hati Ni Prili memaki kesal .

" Terima kasih , kisanak..." angguk pemuda itu senang dan langsung duduk setelah menaruh barang bawaannya agar tidak mengganggu .

Pemuda itu kemudian memesan makanannya sambil menelan air ludahnya sendiri ketika melihat betapa lahap perempuan didepannya itu berperang dengan beberapa jenis makanan yang cukup untuk beberapa orang itu . Sedangkan dia hanya memesan air putih dan sepiring nasi dengan ikan goreng serta sambal. Tentunya dia tidak bisa seenaknya menghabiskan persediaan uangnya untuk keperluan makan sedangkan perjalanan yang harus ditempuhnya masih jauh.

Sembari makan , mata perempuan itu sempat pula melirik barang bawaan si pemuda dan berusaha untuk menyembunyikan sikap menyelidik dengan bawaan golok yang tampak bukanlah benda sembarangan .

" Engkau siapa , kisanak dan hendak kemana ? " akhirnya Ni Prili Junetto tega juga mengeluarkan pertanyaan yang sedari tadi menggelitik hatinya.

Pemuda itu mengangguk dengan sekilas senyum dan tetap dalam kesopanannya.

" Saya hanyalah seorang pengantar barang titipan dari kota Simongan dan hendak menuju ke Surakarta..." jelas pemuda itu pelan . " Nama saya Lin Jun Yuan, anggota biasa dari perusahaan pengiriman barang Elang Laut dari Simongan.." lanjutnya lagi memperkenalkan diri .

Ni Prili Junetto hanya manggut-manggut namun didalam hatinya dia agak kaget bertemu dengan anggota Elang laut dari Simongan yang belakangan amatlah terkenal . Kebanyakan para perompak dan bandit akan berpikir ulang untuk mengusik mereka ini karna selain memiliki kepandaian silat yang hebat , mereka juga dekat dengan para pejabat kota disepanjang jalur utara maupun selatan.

Dia tidak ingin meremehkan pemuda itu namun juga ingin sekali mengetahui kehebatan lelaki yang sedikit banyak telah menarik hatinya itu. Namun sebagai murid pertama Nyi Pandera Wirogeni dari riungan Gunung Kidul dan sarat dengan pengalaman selama belasan tahun malang melintang bersama gurunya , tentu pula dia tidak akan bertindak dengan gegabah .

" Oh...rupanya kisanak berasal dari sebuah perguruan hebat di utara..pantas saja berani melakukan perjalanan seorang diri dengan bawaan segini banyak.." jawab Ni Prili memuji sambil ingin pula menguji ( dasar ganjen , bilang saja ingin ngobrol sama lelaki tampan..., umpat hatinya meradang ).

" Terima kasih , tetapi saya tidak berani menerima pujian kisanak.." senyum pemuda itu lagi dan nyaris membuat Ni Prili melompati meja serta memperkosa pemuda tersebut, " kalau boleh tahu , siapakah kisanak ini ? Tampaknya kisanak bukanlah orang sembarangan dan tentunya memiliki kepandaian sangat tinggi sehingga berani melakukan perjalanan seorang diri..." lanjutnya sambil menatap tajam kepada perempuan didepannya itu .

Ni Prili Junetto terkekeh dan bau pete segera menyambar keudara. Betapa senang hatinya mendengar tutur kata dari pemuda itu . Hatinya nyaris jatuh cinta.

" Aku Ni Prili Junetto . Aku berasal dari riungan Gunung Kidul.." jawabnya sedikit jengah dengan perasaannya sendiri .

" Oh..., rupanya murid Nyi Pandera Wirogeni yang terkenal di seluruh pantai selatan ? " pemuda itu segera merangkapkan kedua tangannya memberi rasa hormat kepada perempuan yang bernama Ni Prili Junetto itu . Tentu saja hal itu adalah etika sebuah perusahaan pengawal dan pengiriman barang dalam menempatkan diri diantara pejabat daerah maupun para bandit jalanan . Itu juga sebagai isyarat bahwasanya mereka tidak akan pernah mundur dan akan tetap mempertahankan barang bawaan mereka dari siapapun yang hendak merampasnya .

" Sudahlah , jangan terlalu basa-basi..." geleng Ni Prili sedikit lagi pingsan dengan rasa jengahnya dalam pujian pemuda itu .

Pemuda itu tertawa kecil dan mulai menikmati makanan yang sudah dipesannya tadi . Sejenak tak ada pembicaraan diantara mereka karna pemuda itu makan dengan sigapnya dan tidak menampakkan sedikitpun rasa ingin berlama-lama.

Ni Prili Junetto dengan leluasa memperhatikan pemuda yang bernama Lin Jun Yuan itu setelah terjalin pembicaraan diantara mereka .Sepertinya hendak menakar seberapa hebat kepandaian silat pemuda ini ? Ni Prili menjadi jengah sendiri dengan perasaannya yang ingin segera menggumuli pemuda tersebut.
~
Sementara itu Cheng Yi Lin sudah selesai dengan pekerjaannya . Gadis itu tampak puas setelah berhasil menutup pondok itu dengan berbagai batang pohon yang bisa dipindahkannya maupun dengan pohon-pohon yang telah mati. Kini Pondok yang dulu mereka tempati hampr nyaris tertutup dan tidak menimbulkan niat orang untuk menempatinya . Satu buntalan pakaiannya dan beberapa benda pribadi milik gurunya telah siap menanti petualangannya kedunia luar nan buas. Namun tidak sedikitpun gadis itu merasa rikuh , bahkan wajahnya menampakkan rasa percaya diri yang amat kuat sekalipun tidak bisa memungkiri bahwa ada perasaan sedih harus meninggalkan tempat tersebut .

" Ibu...guru...Yi Lin akan pergi sekarang. Suatu hari nanti Yi Lin akan kembali kesini dan tinggal menemani ibu..." ucapnya sambil sekali lagi bersujud didepan makam guru yang dianggapnya juga sebagai ibu .

Cheng Yi Lin melangkah dengan riangnya dan tampak menikmati setiap desah napas yang mengiringinya hari itu . Purnama telah lewat semalam dan ini adalah hari baru baginya . Sebuah perjalanan untuk mencari harapan . Dan membalas dendam ! Cheng Yi Lin menyimpan dengan hati-hati selendang merah milik gurunya itu dan hari ini pakaiannya cukup ringkas . Celana selutut warna merah kusam dan kemben kuning dengan garis-garis hitam dan biru tampak amat serasi dengan sebuah sabuk merah . Rambutnya yang panjang dan indah itu tampak begitu menggoda dengan ikatan-ikatan pita merah dan kuning yang saling silang mengisi kuncirannya . Dan yang tak kalah pentingnya adalah Cemeti lengkingan Naga yang kini melingkari leher jenjangnya bagaikan manikam yang berkredepan kala sinar matahari menimpanya . Tak lupa juga dengan kalung pemberian salah satu murid Nyi Pandera Wirogeni tempo hari. 

Kali ini Cheng Yi Lin tidak melalui jalan dimana dia tempo hari bertemu dengan para begundal yang akhirnya tewas ditangannya itu . Cheng Yi Lin sengaja memilih jalan yang berbeda dan turun dari lereng merapi itu melalui desa yang bersebelahan dengan desa Kinahrejo . Selain tidak ingin perjalanannya terusik gadis itu juga ingin menikmati suasana yang berbeda . Dulu Cheng Yin Fei , gurunya pernah mengajaknya melewati jalan yang banyak ditumbuhi oleh tanaman buah rambutan tersebut .

Dengan riang Cheng Yi Lin menelusuri jalanan berkelok yang menuju ke kaki gunung dan kali ini dia harus menghadapi segala sesuatunya sendirian . Sebuah buntalan yang lumayan besar diikatnya dengan rapi agar tidak mengganggu perjalanannya. Setelah melewati beberapa desa sampailah Cheng Yi Lin pada sebuah desa yang cukup ramai dan hamparan padi menghijau memenuhi sawah-sawah yang sangat memanjakan mata yang melihatnya .

Cheng Yi Lin tidak tahu desa apa atau dimana harusnya dia berada kalau ingin menuju ke Simongan . Tetapi itu tidak mengecilkan hatinya dan dia percaya bahwa ruh sang guru akan membimbingnya . Sekantong uang peninggalan sang guru disimpannya dengan sangat hati-hati dan tatapan matanya tak pernah lepas dari segala situasi dimanapun dia melangkah .

Cheng Yi Lin terpaksa berteduh karna siang itu hujan mengguyur dengan derasnya dan kebetulan didekat patok batas desa itu Cheng Yi lin menemukan sebuah pondok tanpa dinding dan sebuah ambin reyot . Cheng Yi Lin segera berhenti berteduh dan hanya bisa menatap derasnya hujan yang turun . Tak lama kemudian datang pula seorang perempuan seumuran dirinya yang berlari-lari menghindari hujan. Sang perempuan itu kuyup dengan kebaya tipis yang menutupi kemben yang meliliti tubuhnya . Perempuan itu sibuk mengibas air hujan yang membasahi tubuhnya dan Yi Lin hanya sekilas melirik.

" Ampuuunnn ini hujan koq gedeee sekali turunnya..." gerutu si perempuan berkebaya itu sedikit kesal, " Sampuuunnn...nona mau kemana ? " lanjutnya lagi sambil menatap Cheng Yi Lin yang juga melihat kearahnya.

" Simongan..." jawab Cheng Yi Lin merasa kebetulan ," masih jauhkah ? " tanyanya lagi .

" Walaaahhh...Simongan masih jauh sekali, non...setelah melewati desa ini beloklah ke arah utara, terus saja menuju ke utara sampai nanti ketemu sama pantai..." jelas perempuan berkebaya itu dengan logatnya yang medok.

" Terima kasih..." angguk Cheng Yi Lin tersenyum kecil, " kisanak mau kemana ?" Yi Lin balik bertanya.

" Aku mau ke Limbarawa , non...Oh, iya..kalau non tidak keberatan kita bisa jalan bersama karna kalau mau ke Simongan juga melewati Limbarawa.." wajah perempuan itu kini berseri-seri . " Namaku Sekar...Sekar Kusumadewi..." ujar perempuan yang kuyup kebayanya itu.Perempuan itu tak sadar rupanya rasa dingin hujan telah membuat puting payudaranya mencuat dari balik kebaya kuyupnya.

Dengan sedikit enggan Cheng Yi Lin terpaksa mengangguk dan memberikan sedikit senyum kepada perempuan yang bernama Sekar Kusumadewi itu . Dadanya yang montok itu dan putingnya yang mencuat karna kedinginan kelihatan menantang para lelaki berebutan ingin menikmatinya .

" Namaku Yi Lin..Cheng Yi Lin.." 

" Nama yang cantik dan amat serasi dengan orangnya..." kata si kebaya kuyup Sekar memandang sedikit takjub kepada perempuan cantik didepannya itu.

Keduanya saling melempar senyum dan tiba-tiba tampaklah seorang perempuan lagi memasuki pondok tana dinding itu untuk berteduh dari hujan . Sejenak mereka diam menyaksikan perempuan yang baru tiba itu mengibas-ngibaskan reruntuhan air yang melekat ditubuhnya yang juga sudah basah .

" Kauuu....?" wajah perempuan itu menampakkan rasa terkejut ketika pandangan nya bertemu dengan Cheng Yi Lin .

Dia adalah murid keenam Nyi Pandera Wirogeni dari riungan Gunung Kidul: Ni Sari Ratna Gandulecapung alias si Bengal Kucing Ragil. Wajahnya tampak galak namun tertutup oleh senyum dan sinar matanya yang tajam. Mengenakan kemben biru lurik kuning dan celana merah selutut. Kini mata itu terbelalak melihat Cheng Yi Lin yang telah menghancurkan gelang-gelang miliknya dalam satu dua jurus pertempuran dua purnama yang lalu .

Cheng Yi Lin hanya menatapnya dengan pandangan dingin dan menyatu dengan derasnya hujan yang tercurah dari langit siang itu. Wajah Ni Sari Ratna Gandulecapung alias si Bengal Kucing Ragil terlihat masih menyisakan rasa kesal karna kekalahan waktu itu . Tangannya mengepal dan dadanya turun naik menahan keinginan untuk bertempur kembali dengan Cheng Yi Lin , namun kondisi hujan itu membuatnya sedikit menahan diri .

" Kalian saling mengenal ? " dengan polosnya si kebaya kuyup Sekar Kusumadewi menatap keduanya bergantian dan dapat merasakan ketegangan yang ada .

" Iya , kami pernah bertempur..." jawab Ni Sari Ratna Gandulecapung dengan nada sinis, " Engkau beruntung karna guruku lukanya nyaris sembuh dan untuk itu aku sangat berterima kasih walaupun urusan kita belum tuntas.." lanjutnya dengan suara masih menyisakan rasa sesal .

Cheng Yi Lin tidak memberikan reaksi berlebihan dan hanya mengangguk kecil tanpa melepaskan kewaspadaannya terhadap murid Nyi Pandera Wirogeni yang telah membuat gurunya terluka dan akhirnya meninggal dunia itu . Cheng Yi Lin harus mematuhi perintah gurunya untuk tidak menaruh dendam terhadap kejadian itu .

Sejenak hanya terdengar derai hujan lebat mengisi keheningan di pondok reyot itu dan masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri . Si kebaya kuyup Sekar Kusumadewi tampak bergantian menatap kedua perempuan yang baru ditemuinya itu bergantian . Entah apa yang ada dalam benaknya namun sesekali matanya memancarkan kilatan yang coba disembunyikannya .

Cheng Yi Lin tak lagi terusik . Pandangan matanya tertuju pada derasnya hujan dan pekatnya kabut yang mengikuti . Di penghujung jalan yang tadi dilewati oleh Cheng Yi Lin tampak sebuah bayangan melesat mendatangi mereka. Dan hanya dalam waktu singkat bayangan itu telah memasuki pondok reyot itu tanpa basa basi lagi . Ketiga perempuan itu sedikit terperangah dengan kehadiran sosok yang ternyata juga seorang perempuan itu . Wajahnya cantik dan dagunya sedikit runcing namun memiliki senyum menarik dan pandangan mata yang teramat tajam.

" Maaf..numpang berteduh disini , kisanak.." ucapnya pelan sembari menakar ketiga perempuan yang terlebih dahulu berada disitu .

Ketiganya hanya mengangguk tak acuh . Sedangkan perempuan yang usinya kira-kira di kepala tiga itu menatap penuh perhatian kepada Cheng Yi Lin yang tampak begitu mengesankan penampilannya walaupun wajah cantik itu terlihat dingin . Terutama perhatiannya tertuju pada benda yang tampak meliliti leher jenjang itu dan jelas terlihat bahwa itu tentunya sangatlah berharga.

" Namaku Tan Shien Li dari marga Tan di pantai utara Simongan..." kata perempuan itu dengan sedikit pongah, " kalau boleh tahu , siapakah para kisanak ini ? " tanyanya kemudian .

Mendengar nama marga Tan disebut , tampaklah perubahan wajah Ni Sari Ratna Gandulecapung, mendadak jadi sedikit pucat . Nama marga itu merupakan sebuah marga yang menakutkan disepanjang pantai utara Simongan . Reputasi keluarga itu sudah merambah ke seantero pulau namun bagi Cheng Yi Lin , nama itu tak berarti apa-apa . Mungkin karna pengalamannya didunia luar masih sangatlah sedikit sehingga tidak terlalu menakutkan baginya . Sedangkan bagi para pengikut Nyi Pandera Wirogeni , nama itu tidaklah bisa dianggap sebelah mata.

Apalagi nama perempuan itu mengingatkan dirinya , bahwa inilah salah satu anggota keluarga dari marga Tan yang sangat tinggi ilmu kesaktiannya dan juga teramat kejam terhadap orang-orang yang menentang mereka .

" Namaku Sekar Kusumadewi dari Limbarawa.." jawab si kebaya kuyup terdengar tak bernada dan bagi yang berkepandaian tinggi tentu dapat menangkap nada yang sedikit meremehkan didalamnya .

" Aku Ni Sari Ratna Gandulecapung , dari riungan gunung kidul..." sambung Ni Sari masih dengan nada percaya diri walaupun dalam hatinya sungkan untuk berbenturan dengan anggota keluarga marga Tan itu .

Tan Shien Li hanya mengangguk tanpa banyak reaksi sedangkan matanya menatap lurus kepada Cheng Yi Lin yang tampak acuh tak acuh dengan semuanya itu.

" Ada apa murid Nyi Pandera Wirogeni sampai berkeliaran didaerah merapi ini?" tanyanya sepintas lalu dan matanya mengerling kepada pemilik nama tadi .

" Hmmm...aku kira siapapun bebas kemana dia mau pergi. Aku tidak berrmaksud melanggar hak siapapun disini.." jawab Ni Sari Ratna Gandulecapung dengan sedikit ketus , agak tersinggung dengan sikap remeh yang diperlihatkan oleh anggota keluarga marga Tan ini. Namun dia juga tidak ingin berbenturan langsung dengan mereka .

" Terserah.." tanggap Tan Shien Li dengan dingin," Dan siapakah kisanak ini? " tanyanya kemudian kepada Cheng Yi Lin dengan tajam .

Sejenak tidak ada jawaban dari yang ditanya . Kemudian perlahan Cheng Yi Lin menatap sang penanya Tan Shien Li dengan tatapan mata lugu.

" Namaku Cheng Yi Lin ..." jawabnya singkat .

Mendengar nama itu , Tan Shien Li mengerutkan keningnya dan pikirannya berkecamuk karna nama itu tak berarti apa-apa baginya . Namun melihat perawakan wajah perempuan yang mengaku bernama Cheng Yi Lin itu , dia meradang karna jelas bahwa perempuan itu bukan keturunan tiongkok pada umumnya.

" Hmm...nama kisanak memang nama yang berasal dari daratan tiongkok , namun mengapa wajah kisanak tidak menggambarkannya ? " tanya Tan Shien Li penuh selidik untuk memenuhi rasa ingin tahunya .

" Itu nama pemberian guruku dan aku sangat menghargainya.." jawab Cheng Yi Lin mendesis tajam, rasa tidak sukanya sedikit terangkat.

" Oh..begitu rupanya..." terdengar nada meremehkan dari mulut Tan Shien Li," marga Cheng mengingatkan aku akan nama dua orang pendekar wanita yang sangat dihormati kalangan perantau . Kalau tidak salah namanya Cheng Yue Lin dan Cheng Yin Fei . Yang manakah gurumu itu ? " kejar Tan Shien Li ketus.

Cheng Yi Lin tidak langsung menjawab dan hanya membalas tatapan mata Tan Shien Li yang sedikit menyiratkan api itu .

" Guruku Cheng Yin Fei , beliau juga adalah pengganti ibuku yang sangat kuhormati dan kusayangi.." jawab Cheng Yi Lin tenang, " Ada masalah apakah engkau dengan guru dan bibi guruku itu ? " tanyanya membalas.

" Hemm...tak kusangka aku bisa bertemu dengan murid seorang pendekar wanita yang berjuluk Ang I Nio Cu ( Dewi Selendang Merah ) disini..." gumam Tan Shien Li dengan nada sinis. " Guruku , Pek Mao Siang Cu pernah mengingatkan aku untuk berhati-hati bila bertemu dengan Ang I Nio Cu. Tapi kalau hanya muridnya untuk apa aku takut ? " sambungnya menantang dengan terbuka .

Cheng Yi Lin tidak menanggapi tantangan itu dan hanya memandang tak begitu mengerti dengan omongan Tan Shien Li . Maklumlah , gurunya hampir tidak pernah bercerita tentang musuh-musuhnya ataupun tentang pergualan dunia persilatan kepadanya . Gurunya hanya mengajarkan kebaikan dan kasih .

Sedangkan Ni Sari Ratna Gandulecapung dan Sekar Kusumadewi hanya diam mendengar ketegangan diantara kedua perempuan itu .

Cheng Yi Lin hanya mendengus dan tampak tak begitu peduli . Hujan deras yang hanya bisa mengusik ketenangannya . Persoalan tantangan itu sama sekali tidak membuat nyalinya ciut .

" Aku tidak mengerti apa urusanmu dengan guruku atau bibi guru...dan aku tidak juga mengerti untuk apa engkau banyak bertanya..." jawab Cheng Yi Lin tenang.

" Hemm...rupanya engkau hanya muridnya yang masih hijau..." gelak Tan Shien Li coba memanas-manasi lawannya." Tak kusangka Ang I Nio Cu yang terkenal itu hanya memiliki seorang murid yang tak tahu apa-apa tentang dunia persilatan . Jadi , apanya yang mau dibanggakan ? " ujarnya lagi dan kali ini dengan nada yang sangat menghina .

Cheng Yi Lin hanya tersenyum kecil dan sama sekali tidak tertarik meladeni hinaan tersebut . Sedangkan kedua perempuan yang lain agaknya mulai berhati-hati agar tidak terseret oleh ketegangan itu .

" Kenapa begitu hal ini penting bagimu ? " tanya Cheng Yi Lin masih tegar menguasai dirinya , mengingat dia harus melaksanakan janjinya kepada sang guru untuk mencari bibi gurunya . Itu semua lebih penting .

" Karna apa yang aku inginkan , pasti akan kudapatkan.." jawab Tan Shien Li dengan seringai bengis dan tamapk sedikit lucu dengan wajah cantiknya itu.

" Apa yang engkau inginkan itu ? " kejar Cheng Yi Lin dingin .

" Benda yang engkau kalungkan dilehermu itu..! " tunjuk Tan Shien Li tanpa merasa malu sedikitpun dan terang-terangan menginginkan benda yang melingkari leher Cheng Yi Lin tanpa mengetahui bahwa itu adalah senjata mematikan ditangan Cheng Yi Lin .

Suara tawa Cheng Yi Lin terdengar lirih dan menakutkan ditengah derasnya hujan. Suara tawa itu seakan bersahutan dengan desau angin yang berhembus namun sangat menyakitkan telinga dan membuat detak jantung terhunjak lebih cepat.

" Ini adalah pemberian guruku dan siapapun tidak akan pernah kuijinkan untuk mengambilnya dariku.." ujar Cheng Yi Lin sembari mengusap Cemeti Lengkingan Naga dilehernya itu .

Tiba-tiba tangan Tan Shien Li meraba sabuk di pinggangnya dan satu hentakan halus membuat sebuah pedang lentur tergenggam ditangannya dengan mengeluarkan suara tajam menyayat .

" Kalau kalian ingin berkelahi , lakukanlah diluar sana...pondok ini tempat berteduh dan bukan tempat bertempur..." tiba-tiba Sekar Kusumadewi menegur pelan namun tegas .

Tan Shien Li tidak memperlihatkan niatnya untuk mundur karna sifatnya yang teramat keras dan manja telah membentuknya jadi seorang perempuan kejam dalam lingkungan keluarga marga Tan dari Simongan yang amat terkenal itu .

Namun sebelum Cheng Yi Lin melakukan sesuatu , terdengarlah suara tertawa yang terdengar amat keras dan mengalahkan derasnya curahan hujan.

" Huahahahahahahahahahahahahahahaha......dasar muridnya Pek Mao Siang Cu. Guru kencing berdiri , muridnya kencing berlari...sama-sama ndablek.."

Suara tawa itu milik seorang lelaki paruh baya bertubuh pendek dan mengenakan penutup kepala dari benang rajutan warna warni dengan celana hitam sebatas lutut tanpa baju dan tanpa alas kaki. Entah dari mana datangnya lelaki itu dan tiba-tiba saja sudah berada di bawah sebuah pohon besar diseberang pondok reyot tersebut. 

Tan Shien Li meradang dan tangannya bergerak cepat kearah pinggangnya. Pedang lentur itu kembali masuk kesarungnya dan menjadi sabuk. Sedangkan tangannya yang lain melayang dengan kecepatan kilat menuju ke arah lelaki pendek diseberang yang sedang mentertawakan dirinya itu . Diantara derasnya hujan jarum-jarum halus itu seakan menyatu dan menembus dengan kecepatan kilat karna didorong oleh kekuatan tenaga dalam.

Namun si lelaki pendek itu tak mengacuhkan serangan tersebut dan membiarkan belasan batang jarum itu menancap ditubuhnya. Dengan sedikit malas lelaki itu mencabut satu per satu jarum itu dan membuangnya ke tanah dengan perasaan malas. Bahkan Tan Shien Li dapat melihat bahwa lelaki pendek itu memandang hina kepada jarum-jarum beracun miliknya itu .

Tentu saja hal itu membuat darahnya mendidih. Sekali lagi Tan Shien Li bergerak dan tangan kanannya yang kini melontarkan jarum-jarum senjata rahasia itu dengan himpunan tenaga dalam yang hebat. Tak hanya sampai disitu , bahkan kakinya pun menendang sebuah batu kerikil kearah lelaki pendek itu. Kali ini Tan Shien Li mengerahkan seluruh tenaga dalamnya dan tampaklah luncuran jarum-jarum beracun serta batu kerikil itu seakan membentuk satu lorong ditengah derasnya hujan !

"Ehem...ternyata lumayan juga murid si bangkotan tua Pek Mau Siang Cu. Hui pek ing ciam ( jarum putih menembus awan )...huhh ? Huahahahahahahaha..., katakan kepada si tua bangkotan itu untuk mengasah jarum-jarumnya lagi.." celoteh si lelaki pendek itu sembari menjejakkan kakinya kearah genangan air didepannya itu. Desingan jarum-jarum dan batu kerikil itu seketika rontok berjatuhan seperti membentur tembok saat bertemu dengan dinding air bekas hentakan kaki lelaki pendek itu.

Sekali lagi kehebatan si lelaki pendek itu mematahkan serangannya. Hal itu membuat darah Tan Shien Li makin mendidih dan kemarahannya semakin memuncak.

" Sialannn...! Siapakah engkau kisanak ? " bentak Tan Shien Li garang dengan suara melengking tajam .

" Huahahahahahaha....sampaikan salamku kepada si bangkotan tua Pek Mau Siang Cu , gurumu itu...kalau aku Hek San Kui ( Hantu Gunung Hitam ) Jau Tak Gai ( Jo toughguy ) telah kembali ke daratan ini.." jawab si lelaki pendek itu sambil tertawa .

Mendengar nama lelaki pendek itu , Tan Shien Li langsung pucat dan terkesiap. Kakinya langsung jatuh berlutut dan memberi hormat dengan sujud mendalam.

" Aaahh....maafkan murid telah berlaku kurang ajar , paman guru..." seru Tan Shien li dengan hormat, " maafkan murid tidak mengenali paman guru.." sambungnya lagi. Rupanya Hek San Kui(Hantu Gunung Hitam) adalah kakak seperguruan dari gurunya Pek Mau Siang Cu yang telah lama menghilang dan menurut kabar paman gurunya itu kembali ke daratan tiongkok .

" Huahahahahaha....Tak apa anak muda..." sahut Hek San Kui Jau Tak Gai dengan seringainya dan tampak menikmati dinginnya curahan hujan lebat itu . Dari badannya malah tampak mengepul uap seperti seperti ketel panas terkena air.

Tan Shien Li tampak bernapas lega , ternyata lelaki pendek iseng itu adalah paman gurunya dan bukan musuhnya . Kini dia mengalihkan pandangannya kembali kepada perempuan yang bernama Cheng Yi Lin itu . Sedangkan Ni Sari Ratna Gandulecapung dan Sekar Kusumadewi sedang bersiap seperti hendak pergi dari tempat itu . Keadaan tentu akan semakin runyam bila mereka terus berada disitu sedangkan untuk bertarung jelas itu bukan keuntungan bagi mereka .

" Yi Lin...sebaiknya kita segera pergi karna hujan takkan berhenti dalam waktu singkat. Kalau ingin bermalam sebaiknya kita berada di limbarawa.." ujar Sekar Kusumadewi sambil menatap Cheng Yi Lin . " Engkau boleh menginap ditempatku..." sambungnya lagi .

" Gunakan ini untuk membungkus bawaanmu supaya tidak basah..." Ni Sari Ratna Gandulecapung menyerahkan sehelai tikar lipat kepada Cheng Yi Lin. Entah apa yang dipikirkan murid Nyi Pandera Wirogeni ini . Mungkin dengan bersekutu dengan bersama , mereka dapat terhindar dari kesulitan dan dia sudah melihat sendiri kepandaian Cheng Yi lin beberapa waktu yang lalu.

" Kalian boleh pergi setelah dia menyerahkan benda dilehernya itu ! " bentak Tan Shien Li dengan garang , apalagi kini paman gurunya juga ada disitu.

Namun Cheng Yi Lin Tidak mengacuhkan bentakan itu dan menurunkan bawaannya di atas ambin . Sekar Kusumadewi segera membantu untuk membungkusnya dengan tikar lipat milik Ni Sari Ratna Gandulecapung tadi. Kedua perempuan itu melakukan pekerjaan tersebut dengan hati yang tidak tenang namun Cheng Yi Lin terlihat tidak begitu pusing .

" Hoohooo...siapakah perempuan-perempuan cantik ini ? " tanya Hek San Kui Jau Tak Gai sambil melangkahkan kakinya menyeberangi jalanan becek itu sambil menyeringai lebar .

" Mereka ini adalah muridnya Nyi Pandera Wirogeni , murid padepokan Limbarawa dan yang ini adalah..muridnya Ang I Nio Cu.."jelas Tan Shien Li sambil menunjuk ketiga perempuan didepannya itu satu per satu dan tampak sangat meremehkan mereka . 

" Ahai...muridnya si perempuan selendang merah yang terkenal itu ? " Hek San Kui sedikit terkejut dan memiringkan kepalanya sambil menatap tajam kepada Cheng Yi Lin. Tampaknya lelaki pendek itu berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya .

" Benar , paman guru..dan aku menginginkan benda yang ada dilehernya itu !" angguk Tan Shien Li dengan tatapan mata mendelik . 

" Ah , itu cuma sehelai tali dengan benang emas. Untuk apa engkau meributkan benda itu , apakah emas permata yang engkau miliki itu masih kurang ?" tandas Hek San Kui dengan santai . Namun benaknya berpikir keras , murid adik seperguruannya itu tidak akan mengincar sesuatu kalau benda itu tidak berharga. Tentunya seutas tali dengan benang emas berkeredepan itu merupakan benda berharga sehingga mata Tan Shien Li yang amat fasih dengan benda pusaka itu mengincarnya . Namun Hek San Kui tidak menemukan sesuatu yang aneh .

" Baiklah , akan kuambilkan untukmu..." ujar Hek San Kui Jau Tak Gai dengan slengeknya dia mengulurkan tangannya ke arah Cheng Yi Lin padahal jaraknya masih kira-kira tiga depa jauhnya .

Cheng Yi Lin telah sedari tadi membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Hek San Kui dan sama sekali tidak meremehkan lelaki pendek tanpa baju itu. Tan Shien Li sendiri amat kagum karna dengan jarak yang masih tiga depa itu , tangan kanan paman gurunya itu seperti ular menyambar dengan ganasnya ke arah leher Cheng Yi Lin .

Walaupun pengalamannya masih jauh dalam dunia persilatan , kepandaian Cheng Yi Lin kini setara dengan gurunya. Bahkan mungkin melebihi gurunya karna tekadnya yang membara untuk membalas dendam atas prahara yang menimpa keluarganya dulu . Menghadapi serangan Hek San Kui tersebut , Cheng Yi Lin menjentikkan jari telunjuknya sambil memiringkan tubuhnya dari hempasan tenaga dalam lelaki pendek itu . Itulah salah satu jurus ilmu It Yang Cie, jurus jari sakti menembus awan . Hek San Kui sangat terkejut dan berusaha menarik tangannya dari kejaran jari Cheng Yi Lin . Dia telah meremehkan perempuan itu , ternyata kepandaiannya tidaklah berada dibawah Ang I Nio Cu yang dulu pernah dihadapinya . Bukanlah Hek San Kui namanya kalau dia langsung kalah dalam satu jurus saja apalagi menghadapi seorang perempuan muda. Dengan cerdiknya dia merangkum jarinya yang terbuka itu menjadi kepalan dan menumbukkannya kearah wajah Cheng Yi Lin .

Dan tak kalah lincahnya , Cheng Yi Lin tidak menarik tangan kanannya yang terus menyerang itu . Dia hanya mengubah sasarannya pada siku tangan Hek San Kui sedangkan kepalan tangan kirinya terbuka menyambut tinju Hek San Kui tersebut dengan sebuah jurus dari Im Yang Kun Hoat miliknya, menekan bumi mematahkan tiang langit . Sungguh luar biasa bahwa dalam usianya yang masih sangat muda itu Cheng Yi Lin telah berhasil memadukan ilmu Im Yang Kun Hoat dengan ilmu It Yang Cie dalam satu serangan balik .

Hek San Kui menyeringai dan begitu percaya diri dengan kemampuannya. Bahkan dia meremehkan tenaga dalam murid si perempuan selendang merah itu. Hek San Kui amat yakin bahwa dia akan segera bisa merobohkan perempuan muda itu dan merebut benda dilehernya tersebut. Namun kesombongan Hek San Kui itu harus dibayarnya dengan mahal . Kepalan tangannya itu seperti memukul kapas dan segala keganasannya hilang sedangkan jari telunjuk Cheng Yi Lin dengan tepat mengenai urat disiku tangan kanan Hek San Kui . 

" Arrrgggghhh..." tanpa malu-malu lagi Hek San Kui berteriak dan membanting badannya ke samping dan berguling-guling di kubangan air tanah merah. Tangan kanannya terasa lumpuh dan nyaris pula terkena tendangan kaki perempuan itu kalau saja dia tidak segera membanting badannya .

Hek San Kui Jau Tak Gai meringis. Kemarahannya memuncak . Kesalahannya menilai kepandaian silat perempuan muda itu telah mempermalukannya. Sedangkan Tan Shien Li yang melihat betapa Cheng Yi Lin telah mematahkan serangan paman gurunya tanpa banyak bergerak itu , langsung memukul ke arah belakang kepala Yi Lin . Namun serangannya terhenti karna Ni Sari Ratna Gandulecapung dan Sekar Kusumadewi telah menyerangnya . Hal itu menambah ruwetnya pondok itu dan Tan Shien Li segera melompat keluar agar lebih leluasa bergerak.

Ni Sari Ratna Gandulecapung dan Sekar Kusumadewi segera pula mengejar keluar. Pertempuran tidak lagi bisa dielakkan dan keputusan harus diambil kalau tidak ingin menjadi sasaran kesulitan . Anggota marga Tan dikenal tidak pernah membiarkan sasaran mereka lolos sehingga kekejaman keluarga itu sangatlah menakutkan bagi orang kebanyakan .

Karna kehilangan gelang-gelang rantainya , Ni Sari Ratna Gandulecapung terpaksa menggunakan sebuah cambuk biasa untuk menyerang . Namun tidaklah bisa dipandang remeh karna hempasan cambuk itu mengandung ilmu lima racun berbisa andalan Nyi Pandera Wirogeni , gurunya . Dengan nekad Ni Sari Ratna Gandulecapung menyerang Tan Shien Li yang tampak sedikit berhati-hati dengan hawa beracun yang melesat bersama cambuk itu . Pedang lenturnya segera mencelat dan meliuk-liuk menahan serangan tersebut .
Sedangkan Sekar Kusumadewi sendiri tidak tinggal diam. Rambutnya yang panjang dan terkepang itu menyambar dengan ganasnya kearah Tan Shien Li . Ujung kepang rambut itu ternyata disisipi dengan mata anak panah dari baja hitam yang teramat keras dan mampu menahan senjata pusaka. Dengan liukan badan dan kepalanya , kepangan rambut Sekar Kusumadewi menyambar ganas dari segala arah dan saling bersambungan dengan cambuk Ni Sari Ratna Gandulecapung , murid Nyi Pandera Wirogeni .

Tan Shien Li sedikit kerepotan menghadapi serangan mereka namun bukan berarti dia kalah pandai . Anak kesayangan dari keluarga marga Tan di Simongan itu sangat percaya diri dan sangat pandai menyerap ilmu dari guru utamanya Pek Mau Siang Cu maupun dari guru-guru silat terpandai di bentangan pantai utara.
Pedang lenturnya meliuk-liuk dan membentuk bayangan yang membentur setiap serangan cambuk dan kepangan rambut dengan mata anak panah baja hitam itu.

Sedangkan Hek San Kui yang telah pulih dari rasa terkejutnya itu, tampak menatap dengan tajam perempuan muda didepannya itu. Cheng Yi Lin sadar bahwa dia tidak bisa terus berada di dalam pondok kalau ingin menghadapi lelaki pendek itu. Kini dia telah berhadapan dengan Hek San Kui Jau Tak Gai disisi lain pondok tersebut. Hujan masih terus turun dengan derasnya dan tak peduli dengan pertempuran dikedua sisi pondok reyot itu.

" Hebat...hebat...ternyata kepandaian murid si perempuan selendang merah itu tidaklah bisa diremehkan..." angguk Hek San Kui sambil menahan malu karna dalam jurus pertama saja dia harus menerima kekalahan. Tidak , itu karna aku meremehkannya , bentak hati kecilnya penuh amarah .

" Pak tua , aku tidak bermusuhan denganmu..kenapa masih terus menyerang ?" tegur Cheng Yi Lin masih enggan untuk meladeni Hek San Kui .

" Huahahahahahaha...kalau kau tidak ingin bertempur , serahkan saja benda yang ada di lehermu itu maka urusan kita akan selesai. Kenal atau tidak kenal, itu bukan masalah..keponakanku itu menginginkan benda tersebut..!" jawab Hek San Kui dengan pongahnya.

" Kenapa harus memaksa dengan barang milik orang lain ?" tanya Cheng Yi Lin tanpa pura-pura dan karna memang pengalamannya amatlah minim dengan dunia luar selain gurunya dan pondok kecil mereka ditengah hutan larangan itu.

Cheng Yi Lin perlahan-lahan melepaskan Cemeti Lengkingan Naga itu dari lehernya dan tampaklah sinar berkeredepan memantul indah dalam curahan air hujan. 

Hek San Kui semakin percaya dengan pandangan murid keponakannya itu bahwa benda tersebut sangatlah berharga. Hek San Kui menatap tali sedepa yang berwarna kemerahan dengan benang-benang emas yang terikat menjadi satu ditangan Cheng Yi Lin itu dengan bernapsu. Namun Hek San Kui juga tidak mau bersikap ceroboh seperti tadi .

" hemmm...teryata itu sebuah cambuk pengganti selendang merah milik gurumu itu ? " tanya Hek San Kui Jau Tak Gai memancing .

" Ini adalah Cemeti Lengkingan Naga yang dibuatkan oleh guruku.." jawab Cheng Yi Lin dengan jujur dan polos . Tangan kanannya yang memegang Cemeti Lengkingan Naga itu bergerak perlahan dan cemeti itu melesat seperti bernyawa.

" Zziiiiinnnnnnnnnggggggggg....." terdengar sebuah lengkingan yang menyayat hati dan menggetarkan jiwa yang mendengarnya.

Tak ayal hal itu membuat Hek San Kui merinding dan melangkah mundur dengan wajah sedikit ngeri. Selama puluhan tahun malang melintang dalam dunia persilatan , baru kali inilah dia melihat sebuah senjata yang bisa mengeluarkan lengkingan seperti seekor naga yang marah. Bukan hanya itu saja lengkingan tersebut sangat hebat sehingga jantungnya berdetak lebih cepat beberapa kali dari biasanya.

Demikian pula halnya dengan Tan Shien Li . Lengkingan cemeti itu menggagalkan serangannya terhadap lawan-lawannya . Ternyata kibasan tadi bukanlah sebuah kebetulan . Cheng Yi Lin melihat Ni Sari Ratna Gandulecapung dan Sekar Kusumadewi yang baru saja dikenalnya itu terdesak oleh kehebatan pedang lentur milik Tan Shien Li . Sambaran tenaga dari Cemeti Lengkingan Naga itu telah membentur kilatan pedang lentur milik Tan Shien Li sekalipun jaraknya cukup jauh , yaitu delapan depa !

Tentu saja hal itu membuat Tan Shien Li terkejut dan hasratnya untuk memiliki pusaka ditangan perempuan muda itu semakin menyesakkan dadanya. Untuk itu dia harus menekan dan mengalahkan kedua lawannya secepat mungkin agar bisa bergabung dengan paman gurunya untuk merebut pusaka tersebut .

Hek San Kui sendiri kini tidak lagi bersikap sungkan. Entah dari mana datangnya tiba-tiba saja ditangannya telah memegang sepasang sumpit besar . Sumpit itu berwarna hitam kekuningan dengan panjang kurang lebih setengah depa. Besarnya kira-kira satu jempol dan memang sumpit itu terbuat dari masakan baja hitam dan batu meteor dengan batu emas . Perlu tiga tahun lamanya untuk membuat ketiga bahan itu menyatu dalam bara yang tak pernah padam dan darah tujuh orang perawan pula untuk mengikatnya. Sehingga sumpit itu dinamakan Sepasang Sumpit Iblis Tujuh Perawan . Dulunya sumpit itu milik seorang pertapa sakti dipegunungan himalaya yang kemudian hilang dalam perebutan di dunia persilatan ratusan tahun yang silam . Entah bagaimana Hek San Kui Jau Tak Gai kemudian mendapatkannya dan tak satupun yang tahu mengenai ceritanya.

Cheng Yi Lin sendiri dapat merasakan hawa dingin yang menyeramkan ketika sepasang sumpit hitam kekuningan itu tiba-tiba ada ditangan Hek San Kui. Entah bagaimana kehebatannya namun Cheng Yi Lin tetap berhati-hati. Hujan turun semakin deras dan sedikit mengusik pandangannya . Hek San Kui tidak menanti kesempatan lagi dan langsung menyerang dengan Sepasang Sumpit Iblis Tujuh Perawan ditangannya itu . Sepasang sumpit itu meluncur deras membentuk lingkaran-lingkaran kecil dan bergelombang menuju belasan urat di tubuh Cheng Yi Lin dengan ganasnya . Cheng Yi Lin tak bergerak dari pijakannya . Tangan kanan yang memegang Cemeti Lengkingan Naga itu bergerak lincah sehingga bayangan merah keemasan cemeti itu menutupi tubuhnya dan mementahkan serangan Hek San Kui . Namun akibat benturan penuh tenaga dalam itu membuat tubuh Cheng Yi Lin bergetar keras dan cepat dimentahkannya dengan tarikan napas dari ilmu It Yang Cie milik gurunya. 

Hek San Kui sendiri kaget bukan kepalang . Benturan pada Sepasang Sumpit Iblis Tujuh Perawan itu nyaris membuat tangannya patah . Hawa panas dan dingin menyerangnya lewat kedua sumpit itu . Hek San Kui mundur selangkah dan dengan tenaga dalamnya yang hebat , dia dengan cepat mengusir hawa serangan dari Cemeti Lengkingan Naga itu. Walaupun bagaimana hebatnya pusaka itu , Hek San Kui Jau Tak Gai yakin bahwa pengalamannya dan kematangannya akan dapat mengalahkan perempuan muda tersebut. Kalau tidak memiliki sejuta kelicikan tentunya Hek San Kui ( Hantu Gunung Hitam ) Jau Tak Gai , tidak akan hidup selama itu dan malang melintang dalam dunia persilatan.

Sedangkan pertarungan Tan Shien Li kembali terjadi ketika paman gurunya menyerang Cheng Yi Lin. Memanfaatkan kesempatan itu , Tan Shien Li melancarkan serangan bertubi-tubi dengan pedang lenturnya. Keruan saja Ni Sari Ratna Gandulecapung terdesak hebat dan cambuknya sudah hancur berkeping-keping dihantam pedang lentur itu. Bahkan sebuah tendangan Tan Shien Li mendarat dengan telak didadanya. Rasa sesak bergemuruh dan dari mulutnya merembes darah segar . Dia telah mengalami luka dalam , sekali lagi Ni Sari Ratna Gandulecapung , mengeluh dengan kekalahannya dan kali ini dengan luka dalam pula . Sekar Kusumadewi juga tak kalah repotnya meladeni serbuan pedang lentur yang meledak-ledak tiada hentinya itu .
Bahkan mata anak panah yang ada diujung kepangnya itu telah somplak ketika berbenturan dengan pedang lentur milik Tan Shien Li . Ditambah lagi dengan kekuatan tenaga dalam anggota keluarga marga Tan itu jauh berada diatasnya. Tan Shien Li makin gencar menekan Sekar Kusumadewi yang akhirnya membuahkan hasil . Setelah kerepotan menahan bayangan pedang lentur yang menyerangnya dari segala arah , Sekar Kusumadewi terjengkang dalam kubangan air akibat sebuah tendangan menyamping yang tepat mengenai pinggulnya. Sekar Kusumadewi berusaha mengelak namun tendangan itu terlalu keras dan cepat untuk ditahan hingga akhirnya ia harus rela menikmati kubangan air dibelakangnya itu.

Tan Shien Li yang tampak bernapsu langsung melesat ke arah Cheng Yi Lin dan menyerangnya dengan ganas dengan kibasan pedang lenturnya yang bercuitan. Tan Shien Li tak lagi main-main dan memandang rendah perempuan yang bernama Cheng Yi Lin itu. Segera saja dia melontarkan ilmu pedang kebanggaan gurunya Pek Mau Siang Cu yaitu ilmu pedang bayangan seribu bidadari yang berkelebatan luar biasa cepatnya . Pedang lentur itu mengurung Cheng Yi Lin dari segala arah dan hembusan tenaga dalam yang terkandung didalamnya bagaikan angin puyuh yang coba mendobrak Cemeti Lengkingan Naga milik Cheng Yi Lin.

Sekali lagi Cheng Yi Lin tidak kehilangan kepercayaan dirinya. Melihat datangnya serangan pedang lentur yang bercuitan mengurungnya itu , Cheng Yi Lin menyapu genangan air didekat kaki kirinya dan ratusan butir air kemerahan itu menyambar serbuan bayangan pedang lentur Tan Shien Li . Tak hanya sampai disitu , Cheng Yi Lin mengibas Cemeti Lengkingan Naga ditangannya mengincar kedua lutut Tan Shien Li !

Tentu saja Tan Shien Li yang kaya pengalaman dalam dunia persilatan itu segera mengenal bahaya yang sedang menantinya. Dengan satu hentakan tubuhnya yang sedang melayang itu berputar dengan indahnya menghindari ratusan butir air yang menghantam dirinya sekalipun tidak luput semuanya. Tan Shien Li dapat merasakan sebagian tubuhnya seperti dihantam puluhan jarum namun dia merasa beruntung dapat menghindari Cemeti Lengkingan Naga dari lututnya. Dengan gemas Tan Shien Li melontarkan jarum-jarum beracunnya ke arah Cheng Yi lin dan menggerakkan pedang lenturnya dengan satu tebasan memanjang. Itulah salah jurus ilmu pedang bayangan seribu bidadari , yaitu pedang berdarah bidadari patah hati . Seketika hujan seperti terbelah dan desauan angin menyatu meluruk ke arah Cheng Yi Lin .

Sedangkan Hek San Kui juga ikut menyerang tanpa malu-malu lagi mengeroyok seorang perempuan muda yang layak menjadi anaknya itu. Sepasang Sumpit Iblis Tujuh Perawan itu meluncur deras dan mengincar beberapa titik lemah di tubuh Cheng Yi Lin dengan membiaskan hawa dingin yang menyeramkan. 

Cheng Yi Lin terkesiap dengan datangnya serangan dari kedua orang itu dan pikirannya cepat bertindak. Cemeti Lengkingan Naga itu berputar dan meliuk-liuk menimbulkan bayangan merah keemasan dalam ilmu selendang merah pencabut nyawa ajaran gurunya. Sedangkan tangan kirinya melancarkan pukulan dari ilmu It Yang Cie ( ilmu jari sakti ) yang penuh dengan tenaga dalam Im Yang Kun Hoat . Pertempuran seru segera terjadi dan dalam puluhan jurus Cheng Yi Lin masih dapat mengimbangi keduanya dengan baik sekalipun berkali-kali sempat terdesak .

Namun pengalaman dan sifat manusia yang terbentuk didalamnya, memberikan banyak keuntungan bagi kedua lawan Cheng Yi Lin. Sekalipun ilmu silat dan tenaga dalam Cheng Yi Lin mampu mengimbangi mereka tapi tidak dalam hal taktik. Cheng Yi Lin masih hijau dalam dunia persilatan , sedangkan Tan Shien Li sudah malang melintang disepanjang pantai utara Simongan. Belum lagi Hek San Kui Jau Tak Gai yang kenyang makan asam garam dunia persilatan selama puluhan tahun . Hanya saja Cheng Yi Li beruntung mendapat tambahan tenaga dalam dari gurunya sebelum meninggal dan ampuhnya Cemeti Lengkingan Naga itu sangatlah berperan dalam mengimbangi kedua lawannya yang tak segan menggunakan berbagai kelicikan dalam bertempur .

Ni Sari Ratna Gandulecapung dan Sekar Kusumadewi hanya bisa menyaksikan pertempuran itu tanpa bisa membantu . Keduanya sadar bahwa kepandaian mereka hanya akan mencelakakan diri sendiri dan juga Cheng Yi Lin. Keduanya saling pandang dengan perasaan cemas dan berharap Cheng Yi Lin bisa bertahan. Ni Sari Ratna Gandulecapung bahkan cemas dengan luka dalam yang dideritanya itu sedangkan Sekar Kusumadewi merasakan pinggungnya memar akibat tendangan Tan Shien Li yang amat ganas itu.

Cheng Yi Lin Sendiri nyaris tak bisa bernapas dengan lega. Tan Shien Li amat bernapsu dan terus mendesak dengan ilmu pedang bayangan seribu bidadari yang sangat kejam itu . Yang amat mengganggu Cheng Yi Lin adalah hawa magis yang mengiringi setiap serangan Sepasang Sumpit Iblis Tujuh Perawan milik Hek San Kui Jau Tak Gai ! Pandangan mata Cheng Yi Lin mulai berkunang dan napasnya terasa sesak .

Ketika kesadarannya nyaris hilang itulah , tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan menyadarkannya . Suara itu bening dan lembut namun tenaga khikang ( tenaga dalam murni ) yang mengiringi suara itu seakan mengembalikan kesadaran dan kekuatannya.

" Siancay...Siancay....hmmm...sungguh tak adil dua orang tokoh persilatan mengeroyok seorang perempuan muda....siancay...siancay...dunia ini penuh dengan kedustaan dan nista...."

Suara itu seketika melemparkan Hek San Kui tiga langka kebelakang dan pedang lentur Tan Shien Li terpental . Tan Shien Li menjerit seketika karna tangan yang memegang pedang lentur terasa melepuh.

Sebelum Hek San Kui dan Tan Shien Li tersadar dari hentakan khikang itu, sebuah bayangan melesat dan seorang perempuan tua yang berumur delapan puluhan telah berdiri diantara Cheng Yi Lin dan kedua lawannya tadi . Sekalipun umurnya sudah tua namun wajahnya masih tampak segar dan pakaiannya sangat sederhana yang masih mengingatkan pakaian seorang pesilat dari daratan tiongkok. Yang sangat aneh adalah tak satupun derai hujan yang masih turun dengan deras itu membasahi pakaiannya.

Hek San Kui Jau Tak Gai menyeringai dengan wajah pucat pasi dan dalam satu lentingan dia segera menarik tangan murid keponakannya itu melarikan diri.

Tak ada bantahan dari Tan Shien Li yang masih terguncang itu dan hanya mandah saja mengikuti lari sang paman guru yang melesat tanpa berleha-leha lagi.

" Lain kesempatan kita akan bertemu lagi Cui-Beng-Nio-Cu ( Wanita Iblis Pencabut Nyawa )..." gema suara Hek San Kui Jau Tak Gai masih terdengar pongah dalam pelariannya .

" Siancay...siancay...jagalah dirimu baik-baik Hek San Kui Jau Tak Gai.." suara perempuan tua itu masih terdengar dengan nada lembut namun gemanya membuat Hek San Kui semakin cepat mengerahkan ginkangnya (ilmu meringankan tubuh) menjauhi tempat pertempuran tadi.

Sedangkan Cheng Yi Lin tampak terhuyung dan tubuhnya terkulai dalam derasnya hujan. Namun dengan satu sentakan perempuan tua itu menyanggah tubuh Cheng Yi Lin dan membopong perempuan muda itu . Pertempuran yang berat sebelah itu telah menguras tenaga Yi Lin , ditambah lagi dengan hawa magis yang menyeramkan dari Sepasang Sumpit Iblis Tujuh Perawan dari Hek San Kui . Cheng Yi Lin juga tak luput dari beberapa jarum beracun milik Tan Shien Li yang mengenai tubuhnya.

Cheng Yi Lin kehilangan kesadarannya dalam pelukan si perempuan tua yang disebut Cui-Beng-Nio-Cu ( Wanita Iblis Pencabut Nyawa ) oleh Hek San Kui Jau Tak Gai yang juga lari terbirit-birit ketika mengenali perempuan itu.

Cui-Beng-Nio-Cu melambaikan tangannya kearah bungkusan yang tadi dibawa oleh Cheng Yi Lin dan bungkusan itu dalam sekejap melayang kearahnya. Tanpa mengacuhkan Ni Sari Ratna Gandulecapung dan Sekar Kusumadewi yang tampak bengong , perempuan tua yang dipanggil Cui-Beng-Nio-Cu itu segera melesat dengan ginkangnya dan hilang dari pandangan menjadi sebuah titik dikejauhan.

Hujan masih terus tercurah dan membersihkan sisa pertempuran tadi tanpa bekas serta kedua perempuan yang tampak melongo menyaksikan kehebatan ilmu meringankan tubuh yang diperlihatkan oleh perempuan tua itu tanpa mengerti apa arti nama julukan Cui-Beng-Nio-Cu tersebut...


( see ya in the next story...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar