Jumat, 22 November 2013

PERAWAN DARI HUTAN LARANGAN

BAGIAN KE-ENAM

Sekar Kusumadewi memapah Ni Sari Ratna Gandulecapung yang terluka itu untuk duduk di ambin reyot yang ada didalam pondok dimana mereka berteduh dan terlibat pertempuran dengan Tan Shien Li yang ganas. Sekar Kusumadewi kemudian mengeluarkan sebuah botol kecil yang berisi butiran-butiran obat dan memberikannya kepada perempuan itu. Obat itu diminumkannya dengan air tadahan hujan dan membiarkan Ni Sari Ratna Gandulecapung bermeditasi untuk menekan luka dalamnya tersebut.

Sedangkan Sekar Kusumadewi sendiri merasakan pinggulnya ngilu dan bengkak itu hanya menambah montok pinggulnya sendiri . Dalam hati dia agak mengeluh dengan kepandaiannya yang masih jauh bila dibandingkan dengan Tan Shien Li maupun Cheng Yi Lin . Mengingat Cheng Yi Lin , wajah Sekar Kusumadewi sedikit gembira . Dia menyukai Cheng Yi Lin yang pendiam namun memancarkan kecantikan yang luar biasa , disamping ilmunya yang sangat hebat. Sekar tak lagi memperdulikan pinggulnya yang memar . Sekar tenggelam dalam keriuhan hujan yang kini meronai datangnya pintu senja .

Tak ada pembicaraan tentang perempuan tua yang membawa Cheng Yi Lin pergi itu dan mereka percaya bahwa keselamatan Cheng Yi Lin lebih terjamin dari pada bersama mereka. Entah mengapa , nama perempuan tua itu sangat mendebarkan hati mereka sekalipun tidak jelas dengan artinya. Itulah sebabnya mereka seperti sepakat untuk tidak membicarakan masalah itu disini.

Sepeminum teh kemudian, Ni Sari Ratna Gandulecapung tersadar dari meditasinya dan obat yang diberikan Sekar Kusumadewi itu sungguh mujarab. Rasa sakit yang mendesak didadanya itu sudah jauh berkurang.

" Terima kasih, Sekar...obatmu sangat mujarab, rasa sesak ini sudah jauh berkurang..." ujar Ni Sari Ratna dengan sungguh-sungguh dan menggenggam tangan Sekar dengan eratnya .

" Syukurlah . Engkau harus banyak istirahat dan ini sudah kubekalkan obat untuk dua hari kedepan..." angguk Sekar sambil menyerahkan sebotol kecil obat miliknya itu dengan tulus.

" Sekali lagi terima kasih , kawan..aku tak akan melupakan kebaikanmu.." sekali lagi Ni Sari Ratna sangat berterima kasih atas bantuan Sekar Kusumadewi sekalipun mereka baru saja berkenalan.

" Sudahlah, ini kewajiban seorang teman dalam perjalanan..." senyum Sekar mengemban, " kemana engkau akan melewati malam ini Ni Sari ? " tanyanya penuh selidik .

" Aku harus melanjutkan perjalananku menuju desa Kinahrejo, Sekar. Aku harus kesana karna kakak seperguruanku menunggu untuk sama-sama kembali ke riungan Kidul.." jelas Ni Sari Ratna Gandulecapung dengan serius .

" Oh, berarti arah kita berlawanan..Desa Kinahrejo tak begitu jauh lagi , mungkin kira-kira tiga jam perjalanan dan sebelum gelap engkau akan tiba disana.." angguk Sekar Kusumadewi sembari tersenyum .

" Engkau mau kemana Sekar ? " tanya Ni Sari Ratna sambil lalu dan mulai merapikan bawaannya sendiri.

" Aku harus kembali ke Limbarawa. Perjalananku kesana tidaklah selama engkau, lagi pula aku harus menemui salah satu keluargaku di desa magelang.." jawab Sekar Kusumadewi kemudian.

" Baiklah, kawan...Kita berpisah disini , kalau ada waktu berkunjunglah ke riungan Kidul. Terima kasih untuk bantuanmu , Sekar.." Ni Sari Ratna segera berpamit mengingat waktu terus mendekati senja dan dia tidak ingin mendapat dampratan dari kakak seperguruannya itu .

" Terima kasih juga , Ni Sari..Kita akan bertemu lagi suatu hari nanti dan bila engkau lewat Limbarawa , carilah aku disana...carilah keluarga Cindhe. Gaharu Cindhe..." angguk Sekar Kusumadewi pula.

Lalu Ni Sari Ratna Gandulecapung segera berlari kecil menembus derasnya hujan dengan mengenakan sebuah caping yang terbuat dari tikar. 

Sekar Kusumadewi menarik napas lega dan sejenak membiarkan suara hujan mengalahkan segala suara yang mendesau dalam pikirannya. Namun segala rasa tenang itu segera menghilang dengan munculnya sebuah delman yang ditarik seekor kuda berbulu coklat yang besar. Sang kusir seorang lelaki bertampang kasar dengan blangkon hitam lurik menghiasi kepalanya dan sebuah kumis melintangi wajahnya. Namun dibalik semua kekasaran itu , sang kusir sangatlah menghormati Sekar Kusumadewi . Sang kusir turun dan mengembangkan sebuah payung kertas yang lebar agar Sekar Kusumadewi tidak basah oleh hujan. Dengan rasa enggan , Sekar terpaksa mengikuti kemauan sang kusir dan menaiki delman yang kelilingnya ditutupi tirai bambu agar hujan tidak tampias kedalam.

" Terima kasih mang Kasimudewo..." angguk Sekar Kusumadewi kepada sang kusir dan nadanya selalu sama , lembut dan anggun. " Bu de yang minta mang Kasimudewo untuk menjemputku ? " lanjutnya lagi .

" Nggih , neng Sekar...Bu de sedikit marah tadi , soalnya neng Sekar tidak mengabarkan mang Kas untuk menemani neng Sekar pergi..." jawab mang Kasimudewo dengan nada hormat dan melecut sang kuda agar segera beranjak dari tempat itu.

" Duuh...mang Kas , Bu de selalu seperti ini..kadang aku merasa tidak lagi punya kebebasan sebagai manusia.." keluh Sekar ditengah derap kaki kuda menerobos jalan becek menuju Limbarawa.

" Jangan begitu , neng Sekar...Ini semua demi keselamatan neng Sekar..." jelas mang Kasimudewo dengan nada tetap menghormat , " neng Sekar kan belum melihat bagaimana buasnya dunia diluar sana. Mang Kas juga merasa bersalah karna lengah tidak menemani dan menjaga neng Sekar.." sambungnya lagi.

Sekar Kusumadewi sedikit mangkel dengan alasan itu namun tidak bisa membantah bahwa dirinya memang masih hijau dalam hal ini. Bahkan dia meras beruntung tidak celaka ditangan Tan Shien Lie, anak dari marga Tan di antai utara Simongan yang sering jadi momok dalam masyarakat itu.

" Terima kasih , mang Kas.." ucapnya begh, " mang Kas tahu tentang marga Tan di pantai utara Simongan ? " tanya Sekar Kusumadewi kemudian ketika ingatannya terusik dengan pengalamannya tadi 

Mendengar hal itu , seketika wajah mang Kasimudewo terlihat sedikit terkejut dan balik menatap Sekar Kusumadewi yang duduk dibelakangnya.

" Kenapa neng Sekar bertanya demikian ? Apakah neng Sekar pernah bertemu dengan mereka ? " tanya mang Kasimudewo dengan nada khawatir.

Kemudian Sekar menceritakan hal ikhwal pertemuannya dengan salah satu anggota marga Tan yang sedikit banyak menggetarkan hati siapapun yang berurusan dengan mereka . Mendengar semua cerita Sekar itu , tampak wajah mang Kasimudewo sebentar puct, sebentar gerah. Yang pasti dia sangat khawatir akan keselamatan junjungannya itu . Belum lagi dia membayangkan bagaimana Bu de, majikannya itu akan berkata tentang masalah ini.

" Aduuuh..neng Sekar, bagaimana ini bisa terjadi ? Lupakah neng Sekar kalau Bu de neng Sekar pernah wanti-wanti untuk tidak terlibat dalam urusan yang bisa berakibat buruk bagi neng Sekar ? " keluh mang Kasimudewo pasrah.

" Ini hanya kebetulan saja, mang Kas..aku tidak bisa diam saja melihat kelakuan anak marga Tan yang bertindak semaunya itu..." bantah Sekar Kusumadewi dengan sedikit perasaan kesal .

" Betul neng Sekar tapi hendaknya neng Sekar mulai sekarang lebih hati-hati lagi . Jangan memaksakan diri untuk terlibat dalam urusan begini , bagaimana nanti mang Kas memberi jawaban untuk Bu de ? Neng Sekar harus lebih giat dan rajin lagi untuk berlatih , walau bagaimanapun kepandaian neng Sekar belumlah cukup untuk menghadapi dunia luar.." nasehat mang Kasimudewo dengan sabarnya dan merasa maklum terhadap kekerasan hati keponakan majikannya itu .

" Maafkan Sekar , mang Kas.." angguk Sekar sambil menyentuh pundak lelaki yang selalu menjaga dan melindunginya sejak kecil itu." Bukan maksud Sekar untuk menyusahkan mang Kas..Sekar berjanji untuk berlatih lebih keras lagi dan kejadian tadi mengingatkan Sekar kalau didunia luar begitu banyak orang dengan kepandaian sangat tinggi..cuma saja, Sekar tidak mengerti ; mengapa Bu de selalu menekankan keselamatan Sekar ? Kenapa Bu de selalu mengikat Sekar agar tidak selalu memperlihatkan diri Sekar apa adanya ? " berondong Sekar melampiaskan rasa ingin tahunya .

Mendengar semua pertanyaan itu , mang Kasimudewo tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya . Rupanya anak perempuan ini sama sekali tidak mengetahui rahasia dirinya sehingga sulit menerima perlakukan bibinya itu . Namun mang Kasimudewo juga merasa tidak berhak untuk mengungkapkan rahasia dibalik semuanya itu . Bukan tugasnya itu dan kewajibannya hanyalah menjaga keselamatan Sekar Kusumadewi dengan nyawanya sendiri kalau memang perlu. 

" Sabar toh nduk...suatu hari Bu de mu itu akan menjelaskan semuanya dan neng Sekar akan mengerti bagaimana dan harus apa dalam bertindak. Mang Kas hanya ditugaskan untuk menjaga dan melindungi neng Sekar, biarpun hari ini mang Kas telah melalaikan tugas itu.." jelas mang Kasimudewo dengan sabarnya.

Sekar Kusumadewi lantas diam . Delam itu berlari makin cepat supaya bisa tiba di Limbarawa sebelum gelap . Hujan juga tak peduli dan terus mengguyur dengan derasnya , membiarkan benak Sekar Kusumadewi penuh dengan berbagai pertanyaan yang tidak terjawab. Sekar juga membayangkan bagaimana nanti sikap Bu de nya itu dengan kenekatannya keluyuran tanpa ditemani mang Kasimudewo .

Demikian juga halnya dengan sang kusir yakni mang Kasimudewo , pikirannya terusat pada lari sang kuda agar segera tiba dirumah sekalipun pasti akan mendapatkan teguran atas kelalaiannya hari ini . Namun itu tidak akan mengubah sikapnya terhadap pengabdian yang telah dilakukannya nyaris sepanjang usianya tersebut. Baginya pengabdian itu sangatlah berharga dan terhormat.

Sementara itu Ni Prili sedang berjalan menelusuri desa Kinahrejo itu bersama dengan Lin Jun Yuan , pemuda dari perusahaan pengawalan barang Elang Laut dari Simongan , yang amat menarik hatinya tersebut. Tentu saja Ni Prili tak rela melepaskan kesempatan itu untuk lebih dekat dengan pemuda yang disenanginya. Kegitan itu sedikit banyak telah melupakan tujuannya didesa Kinahrejo dimana dia telah berjanji akan menunggu kedatangan adik seperguruannya Ni Sari Ratna Gandulecapung . Keduanya memang mendapat tugas dari sang guru Nyai Pandera Wirogeni dari riungan Kidul .

Sepertinya gayungpun bersambut karna pemuda itu, Lin Jun Yuan merasa cocok dengan Ni Prili yang rada slengekan itu . Karna tujuan mereka sedikit bersinggungan , yaitu Lin Jun Yuan menuju Surakarta dan dia menuju arah gunung Kidul , maka pemuda itu tidak keberatan menemani Ni Prili menunggu kedatangan adik seperguruannya itu .

" Kalau tugasmu selesai , maukah engkau menemuiku di riungan Kidul ?" tanya Ni Prili tanpa tedeng aling-aling dengan perasaannya sendiri ketika keduanya sedang duduk di sebuah pondok kosong ditepi desa Kinahrejo . Senyum genit mengembang dari bibirnya dan wajah yng sedikit bersemu merah kemaluan itu.

" Hehehehe...apakah kedatanganku nanti tidak akan membuat marah gurumu ?" jawab pemuda itu sembari tertawa kecil.

“ Hihihihi...tentu saja tidak. Guruku kadang memang galak tetapi hatinya baik dan tentunya akan sangat menyenangkan bila engkau datang berkunjung..." geleng Ni Prili semakin tersanjung dengan kesopanan Lin Jun Yuan.

Keduanya tertawa dan kabut mulai mengisi keremangan yang mendekati senja itu. Sesekali Ni rili melongokkan kepalanya menatap ujung jalan untuk melihat apakah adik seperguruannya sudah muncul ataukah tidak. Walau bagaimanapun dia merasa sedikit khawatir kalau-kalau adiknya itu mendapat halangan.

“ Bahkan itu bisa membantumu kalau engkau melakukan perjalanan ke daerah selatan untuk mengirim barang atau melakukan pengawalan. Riungan gunung Kidul mempunyai reputasi didaerah selatan dan tidak akan ada yang berani mengusik bila mereka tahu engkau kenal dengan kami...” sambung Ni Prili sambil mengusik agar pemuda itu memenuhi tawarannya untuk berkunjung. Dalam hati Ni Prili mengumpat akan niat ganjennya itu, namun mungkin hatinya tak rela bila pemuda itu menghilang darinya.

“ Terima kasih sebelumnya. Kami memang membutuhkan hal itu karna belakangan daerah selatan kurang begitu bersahabat dengan kami para pengawal pengiriman barang...” angguk pemuda itu tetap dengan rasa sopan yang tidak berlebihan,” guruku tentu akan sangat berterima kasih sekali dengan riungan gunung Kidul bila pekerjaan kami tidak ada yang mengusiknya..” senyum Lin Juan Yuan yang segera memporak-porandakan hati Ni Prili. Dasar ganjen !

“ Tentu saja. Kalau ada yang berani mengganggu sahabat dari riungan gunung Kidul tentu akan langsung berhadapan dengan kami..” geger Ni Prili dengan sedikit menyombongkan dirinya. Alamak...! , hatinya memaki gemas.

Mereka terus berbincang dengan akrabnya . Rupanya benih-benih cinta mulai bersemi dihati mereka , sering turunnya hujan ditengah kabut yang mulai menggelapi daerah itu. Dan dari kejauhan Ni Prili dapat mengenali adik seperguruannya yang berlari tergopoh-gopoh dalam tirai hujan yang semakin deras. Keadaan Ni Sari Ratna Gandulecapung tidak bisa dikatakan baik karna luka dalam itu masih menyusahkannya disamping harus berlari ditengah hujan untuk memenuhi janjinya ditemat itu .

Dengan napas terengah-engah , Ni Sari Ratna Gandulecapung akhirnya tiba juga dipondok tersebut, dimana kakak seperguruannya sedang berbincang dengan seorang pemuda. Tanpa memperdulikan mereka , Ni Sari Ratna Gandulecapung langsung duduk dan menenangkan napasnya . Ni Prili membiarkan saja kelakuan adik seperguruannya itu dan menunggu penjelasan mengenai keterlambatannya.

“ Maaf aku..terlambat kak...” ujarnya dengan napas memburu, dadanya yang terluka dalam masih menyisakan sakit,” ada sedikit hambatan ketika aku tiba di perbatasan kulon...” lanjutnya kemudian sambil menceritakan pengalaman nya ketika bertemu dengan Cheng Yi Lin dan Tan Shien Li yang telah melukainya.

Mendengar cerita sang adik , wajah NiPrili berubah keras dan tampak amat kesal.

“ Murid dari perempuan tua di hutan larangan itu ? “ sergahnya pelan sambil menahan emosi,” selalu saja ada masalah kalau berurusan dengan perempuan bisu itu..” umpatnya gemas.

“ Dia tidak bisu lagi, kak. Dia sudah bisa bicara , tidak tahu apa alasannya tempo hari dia tidak mau bicara..tapi dia telah menyelamatkan aku dari si perempuan ganas Tan Shien Li itu..setidaknya demikian..” jawab Ni Sari Ratna sambil terus menekan-nekan dadanya yang sakit.

“ Sialan itu anak marga Tan...Suatu hari akan kusumbat kesombongannya..” sekali lagi Ni Prili membentak kesal. 

“ Jangan remehkan perempuan yang bernama Tan Shien Li itu. Marga Tan di pantai utara Simongan sangat ditakuti dan selalu menjadi sandungan bagi siapa saja..” Lin Jun Yuan menyelelutuk pelan, “ Hanya karna hubungan baik guruku dengan kepala marga Tan saja , mereka tidak mengusik pekerjaan kami..” jelasnya lagi, sambil menatap kedua perempuan didepannya itu.

“ Siapa dia ini kak ?” tanya Ni Sari Ratna menatap Ni Prili , kakaknya.

“ Ini Lin Jun Yuan , dari perusahaan pengawalan barang Elang Laut di Simongan. Dia akan ke surakarta dan kebetulan masih satu arah dengan kita..” jelas Ni Prili sambil menahan diri agar tidak kelihatan ganjen didepan adiknya itu.

Ni Sari Ratna hanya mengangguk tanpa mau memberikan komentar , dia hafal dengan kakaknya yang rada ganjen itu .

“ Terus bagaimana dengan Cheng Yi Lin itu ? “ tanya Ni Prili sekedar mengalihkan pembicaraan mengenai pemuda tersebut.

“ Entahlah, tampaknya perempuan tua yang disebut Cui-Beng-Nio-Cu itu memiliki kepentingan atas dirinya. Tidak tahu apakah berniat baik ataukah buruk. Perempuan tua itu memliki kepandanian yang sangat tinggi , sehingga Tan Shien Li dan paman gurunya saja harus lari terbirit-birit..” jelasnya kemudian.

Lin Jun Yuan tampak mengerutkan keningnya. Nama Cui-Beng-nio-Cu pernah didengar dari sang guru namun dia tak menyangka bahwa perempuan tua itu masih terdengar walau sudah lama menghilang.

“ Siapa Cui-Beng-Nio-Cu ini ? “ gumam Ni Prili yang tak pernah mendengar nama itu disebut-sebut oleh gurunya selama ini .

“ Kalau tak salah guruku pernah mengatakan bahwa Cui-Beng-Nio-Cu ini merupakan salah seorang pengawal pribadi dari orang kepercayaan laksamana Cheng-de atau Cheng-ho, yaitu Wang Jing hong. Sewaktu perjalanan dan tiba di pantai utara Simongan , Wang Jing Hong ini sakit dan menetap didaerah Simongan, dimana kedua pengawal perempuan yang amat sakti dan setia itu mengikutinya tinggal. Namun setelah Wang Jing Hong meninggal karna sakitnya kedua pengawal setia itupun pergi merantau dan tidak diketahui kemana tinggalnya . Cui-Beng-Nio-Cu Cheng Yue Lin adalah pengawal nomor satu dan yang kedua adalah adik seperguruannya sendiri yaitu Ang-I-Nio-Cu Cheng Yin Fei . Keduanya sangat sakti dan memiliki kebebasannya sendiri sehingga tidak ada seoarangpun yang mampu mengalahkan mereka....” Lin Jun Yuan sedikit menceritakan asal muasal nama itu seperti yang pernah dikatakan gurunya,” Namun guruku tidak pernah bertemu dengan mereka dan keberadaan mereka hanyalah merupakan sebuah cerita yang kadang sulit untuk dipercaya...” lanjutnya lagi .

Mendengar cerita itu mendadak mata Ni Prili sedikit terbelalak , ingatannya melayang pada pertempuran terakhir gurunya dengan perempuan penguasa hutan larangan itu.

“ Hahh ?? Cheng Yue Lin ? Berarti...” Ni Prili kemudian manggut-manggut sambil benaknya terus berpikir, “ Berarti Cheng Yi Lin ditolong oleh bibi gurunya sendiri. Syukurlah kalau begitu..” ujarnya sedikit lega.

“ Iya, kak...kalau begitu keadaannya tidak mengkhawatirkan lagi, apapun yang terjadi tentunya Cheng Yi Lin lebih aman berada ditangan bibi gurunya..” sambung Ni Sari Ratna ikutan merasa lega.

“ Hanya saja....” gumam Lin Jun Yuan tanpa meneruskan ucapannya, pikirannya melesat dan menganalisa sebab musabab terjadinya bentrokan itu.

“ Apa maksudmu Jun Yuan ? “ tany Ni Prili sedikit mengungkap nada mesra didalam ucapannya . Siyaalll...ganjen banget sih lo ?, hatinya memaki .

“ Cemeti Lengkingan Naga ? Aku belum pernah melihatnya atau mendengar guruku menyebut dalam ceritanya...” jawab pemuda itu mengambang. “ Apakah ini pertanda akan terjadi geger pula seperti halnya sewaktu terjadi perebutan Pedang Naga Giok Langit ? Sampai sekarangpun Pedang Naga Giok Langit tidak tahu kemana rimbanya. Mungkinkah pusaka Cemeti Lengkingan Naga adalah pembuka misteri pedang itu ? “ lanjut Lin Jun Yuan melemparkan pemikirannya.

“ Mungkin memang benar ada hubungannya , dua purnama yang lewat sewaktu guruku bertarung dengan perempuan dari hutan larangan, Cheng yi Lin muridnya itu juga menggunakan selembar tali yang mirip cemeti dan sangat hebat kemampuannya...mungkin itulah Cemeti Lengkingan Naga yang hendak direbut Tan Shien Li dan paman gurunya...” angguk Ni Prili sambil mengingat kembali kejadian itu .

Tak lama kemudian mereka meneruskan perjalanannya setelah hujan mulai reda dan tidak mau menunggu lagi karna kabutpun semakin tebal menyelimuti kaki gunung itu. Mereka akan berusaha mencapai kampung yang lebih besar atau bahkan kota kecil karna mereka akan membutuhkan rumah penginapan.

Kabut memang selalu menjadi pemandangan tersendiri kala senja menjelang apalagi kalau hujan menyerbu. Begitu pula ketika gemeretak kaki kuda yang menarik delman itu mulai memasuki daerah Limbarawa . Hawa kian dingin menusuk kulit dan hujan belum juga mau berhenti . Daerah Limbarawa memang terkenal banyak hujannya dan daerah lembah itu merupakan daerah yang amat dingin kalau malam menjelang.

Akhirnya delman itu sampai juga disebuah rumah besar yang dikelilingi oleh pagar tembok yang kuat. Mang Kasimudewo membawa delman itu masuk melalui pintu belakang dan para pelayan tergopoh membuka pintu yang besar dan berat itu. Sekar Kusumadewi tampak sedikit menggigil dengan pakaian basah ditambah lagi dengan udara yang dingin. Segera saja dia merubungi perapian yang sengaja dibuat dibagian belakang halaman rumah itu . Beberapa pelayan segera memberi tempat bagi junjungan mereka itu dengan hormatnya.

“ Neng Sekar , sebaiknya segeralah mandi dan berganti pakaian kering. Nanti Mbah Putri bisa marah..” kata salah seorang pelayan muda, seorang anak perempuan yang usianya paling baru tiga belas tahun itu. Dia adalah putri semata wajang mang Kasimudewo dan selalu dekat dengan Sekar dalam kesehariannya.

“ Ndak apa-apa , nduk..” jawab Sekar sembari menerima sehelai kain dan membungkus dirinya dan menghangatkan badannya dekat tumpukan kayu yang menjadi perapian kala musim hujan itu.

“ Neng Sekar mau dibuatkan bubur panas ? Atau teh manis hangat ?” tawarnya lagi.

“ Tak usahlah, Karmita..Nanti saja kita makan bersama Mbah Putri..” jawab Sekar mengusap kepala perempuan kecil itu dengan lembutnya.

Karmita hanya mengangguk dan ikut menghangatkan dirinya. Sementara mang Kasimudewo sibuk mengurusi kudanya dan menghangatkan kuda itu dengan memberi nya selimut pula. Sedangkan para pelayan yang lain tampak sibuk mempersiapkan makan malam di dapur . 

Sekar Kusumadewi dan Karmita tak peduli dengan hal lain . Perlahan rasa hangat mulai merasuki badannya yang tadi menggigil kedinginan. Sekar juga tak melihat seorang perempuan paru baya tampak berjalan mendatangi mereka di perapian itu. Perempuan itu masih tampak menyimpan kecantikannya dan sedikit kesal melihat kelakuan keponakannya yang sedikit pemberontak itu.

“ Nuhun..Mbah Putri...” sambut Karmita penuh hormat ketika pertama menyadari kehadiran sang junjungan utama .

“ Nggiih , Karmita...” angguk sang Mbah Putri lembut sambil duduk diatas bangku yang disediakan oleh Karmita.

“ Bu de..” sapa Sekar sambil menciumi tangan sang Bu de yang sedikit gemas itu.

“ Aah..engkau ini seringkali menyusahkan hati Bu de ,Sekar..” omelnya namun tak terlihat memaksa, “ Engkau pergi seharian tanpa berita yang jelas, terus hujan-hujanan dan sekarangpun tidak mau segera mandi dan berganti pakaian ?” lanjutnya lagi. 

“ Duuh..Bu de..jangan sering-sering ngomel nanti kerut-kerut itu semakin banyak..” goda Sekar tak peduli, “ Nanti saja mandinya kalau badan ini sudah hangat..” sambungnya kemudian .

Sang Bu de hanya bisa geleng-geleng kepala dengan kelakuan Sekar. Dia tidak bisa menumpahkan segala kekesalannya . Tidak , walau bagaimanapun dia tidak bisa memperlakukan Sekar dengan seenak perutnya sendiri .

Sang Bu de ini di kenal sebagai Gaharu Cindhe , seorang perempuan perantauan dari daerah Kediri dan menetap di Limbarawa sejak tujuh belas tahun yang lalu . Tak seorangpun tahu latar belakangnya kecuali bahwa perempuan baya itu adalah seorang pengusaha dan memiliki banyak sawah serta perkebunan.

Sesungguhnya Gaharu Cindhe adalah seorang yang berasal dari kalangan kerajaan di Kediri . Namun karna perebutan kekuasaan dan perselisihan sang raja dengan pemegang kekuasaan di Majapahit , menyebabkan Gaharu Cindhe harus melarikan diri dan mencari tempat untuk meneruskan hidupnya . Sedapat mungkin rahasia itu terus dipegang tanpa ada yang mengusiknya. Gaharu Cindhe sendiri sebenarnya bukanlah namanya dan dia bertekad untuk melupakan namanya maupun siapa dirinya .

Yang paling memberatkan dirinya adalah ketika harus mengasuh salah seorang keturunan raja terakhir dari kerajaan Kediri yaitu Sekar Kusumadewi yang dilahirkan oleh salah seorang selir dari sang raja Kediri, Jayakatwang yang akhirnya ditundukkan oleh salah seorang bekas raja singosari yang diberi pengampunan. Sayangnya , niat baik itu telah dipergunakan oleh sang raja singosari yang diampuni yakni Raden Wijaya untuk memupuk kekuatan dalam usahanya membalas dendam . Raden Wijaya berhasil menggunakan kekuatan pasukan mongol yang ingin memberi pelajaran kepada Raja Kertanegara untuk memukul balik kepada Raja kediri yang mengampuninya yaitu Jayakatwang. Akhirnya usaha itu berbuah hasil, Raden Wijaya yang menempati satu daerah yang namanya hutan Tarik berhasil menyusun kekuatan sehingga daerah itu diubahnya menjadi Majapahit, yang berasal dari buah maja yang rasanya pahit. 

Akibat hantaman pasukan mongol yang sengaja diperalat Raden Wijaya, maka berakhirlah kerajaan Kediri dan mulailah era baru kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Raden Wijaya sebagai raja pertama setelah pasukan mongol itu berhasil pula diusirnya dari tanah jawa .

Berakhirnya kerajaan Kediri membawa banyak dampak buruk, dimana para punggawa yang setia terpaksa harus melarikan diri dan berpencar mencari penghidupan baru dengan menyembunyikan siapa diri mereka sesungguhnya. Demikian pula halnya dengan salah seorang pelayan utama dari sang selir Raja Jayakatwang, yaitu yang disebut dengan Gaharu Cindhe , harus melarikan diri dengan membawa serta bayi perempuan berumur dua tahun dan menyembunyikannya jauh dari hingar bingar berdirinya kerajaan majapahit . Pada waktu itu dia sendiri berusia kurang lebih dua puluh delapan tahun .

Selama belasan tahun hidup dalam pengasingan dan menyembunyikan keadaan jati dirinya tidak membuat Gaharu Cindhe lantas melupakan asal muasal mereka. Untunglah selama perjalanan itu , Gaharu Cindhe yang membawa banyak harta pemberian sang selir untuk menjaga anaknya, ditemani oleh punggawa utama kerajaan yaitu sang kusir delman yang menyembunyikan dirinya dalam nama Mang Kasimudewo . Sang punggawa ini telah bersumpah setia dihadapan junjungannya sang raja Jayakatwang sebelum kematiannya . Itulah sebabnya mang Kasimudewo amat menghormati Sekar Kusumadewi yang sesungguhnya adalah puteri raja Kediri yang terguling. Namun kesetiaannya tak tergoyahkan walau kenyataannya bahwa kerajaan Kediri sendiri sudah musnah.

Rahasia itu tersimpan rapat selama belasan tahun dan tampaknya sulit untuk mencegah rasa ingin tahu Sekar Kusumadewi yang kini berusia sembilan belas tahun. Namun semua itu amat tergantung dari kebijakan Gaharu Cindhe karna perempuan itu sangatlah pandai dan keahliannya dalam ilmu silat sesungguhnya tidaklah banyak yang tahu termasuk Sekar Kusumadewi sendiri !

Sementara itu Tan Shien Li yang terpaksa berlari mengikuti sang paman guru sangatlah mendongkol . Tetapi nama Cui-Beng-Nio-Cu sangatlah menakutkan dan dia menggerutu panjang pendek karna niatnya merebut cemeti milik Cheng Yi Lin gagal total. Itulah pertama kalinya dia gagal dalam memenuhi keinginannya atas sesuatu , sekalipun itu milik orang lain .

Setelah jauh melewati Limbarawa , sampailah mereka diperbatasan Simongan dan Tan Shien Li melampiaskan rasa kesalnya dengan menghajar salah seorang penjual tahu goreng yang sedikit pelit memberinya cabe rawit. Tak seorang pun yang berani menentang karna merasa ngeri dengan keangkeran nama marga Tan. Alhasil sang penjual tahu goreng itu babak belur hanya karna rasa pelitnya tersebut. Dengan kesal Tan Shien Li mengambil tahu dan cabe rawit sebanyak yang dia mau serta membayarnya sebanyak yang dia pesan.

Hek San Kui Jau Tak Gai hanya menyeringai dan tak peduli dengan kelakuan murid keponakannya itu . Dia tahu bahwa akan percuma menasehati Tan Shien Li yang amat keras kepala itu, apalagi itu adalah murid kesayangan adik seperguruan nya sendiri, Pek Mau Siang Cu yang dasarnya amatlah egois.

“ Kenapa paman harus melarikan diri seperti ini ? “ gerutu Tan Shien Li merasa tidak puas , setidaknya mereka harus bertarung lebih dahulu.

“ Cui-Beng-Nio-Cu bukanlah orang yang bisa dibuat main-main..” jawab Hek San Kui tenang, “ Melawan murid Ang-I-Nio-Cu saja kita tidak bisa mengalahkannya dalam waktu singkat, bagaimana kita mau mengusik Cui-Beng-Nio-Cu ?” jelasnya lagi sambil berpikir keras dengan kehebatan perempuan tua itu.

“ Jadi..? Paman tidak sanggup mengalahkannya ?” ejek Tan Shien Li lagi.

“ Jangan suka merendahkan orang, Shien Li..” bentak Hek San Kui panas juga hatinya diejek begitu, “ Untuk mengalahkan Cui-Beng-Nio-Cu bukan hanya asal ngomong dan asal serang. Dan engkau juga suka seenaknya sendiri..” lanjutnya sedikit berang.

Tan Shien Li tak peduli . Mulutnya terus mengunyah tahu goreng panas itu dan cabe rawit bergantian masuk. Sedangkan kakinya masih juga sempat menendang tukang tahu goreng itu sampai mental masuk ke selokan. Orang-orang yang menyaksikan kebrutalan perempuan itu hanya bisa memaki dalam hatinya. Mereka tahu siapa perempuan itu dan kalau menentang berarti hanya mencari kematian datang lebih cepat .

Tak lama kemudian datanglah serombongan orang dengan derap kudanya. Ternyata mereka adalah orang-orang dari marga Tan , entah siapa yang mengabarkannya dan mereka datang menjemput Tan Shien Li dengan membawa kuda kesayangannya.

Dengan perasaan mendongkol Tan Shien Li memacu kuda kesayangannya bagaikan terbang menuju ke pantai utara Simongan , dimana rumah keluarga dari marga Tan berdiri kokoh dengan pagar tinggi nan luas.

Hek San Kui sendiri tidak terlalu mengacuhkan tabiat jelek murid keponakannya dan hanya memacu kuda itu bersamaan dengan yang lainnya. Senja sudah semakin dekat dan hujan tinggal gerimis saja sekalipun tidak membiarkan gigil menyergap mereka.

Selepas senja maka segalanya akan terjadi atau tidak sama sekali, itu tak lagi penting. Manusia senantiasa meletakkan kepentingannya diatas segalanya dan itu selalu terjadi . Tan Shien Li sebenarnya seorang perempuan yang cantik namun gemblengan kemanjaan sedari kecil telah membentuknya jadi seorang yang sangat mengesalkan bagi siapapun juga. Tan Shien Li tak peduli karna dia hanya peduli pada segala keinginannya tercapai . Tak peduli sekalipun itu akan menimbulkan kematian.

Sedangkan ditempat lainnya , Cheng Yi Lin tersadar ketika senja telah tertutup oleh gelapnya malam . Rasa dingin menyeruak seakan ingin merobek kulit. Yi Lin masih merasakan pening melanda kepalanya. Sebuah lampu teplok menemani dirinya dekat pembaringan sederhana yang terbuat dari bambu itu. Sedangkan tak jauh dari situ terdapat sebuah api unggun yang dikelilingi batu-batu kali memendarkan rasa hangat diruangan yang cukup luas itu.

Samar-samar Cheng Yi Lin melihat seorang perempuan tua sedang memasak didapur kecil yang ada disudut ruangan itu. Dengan kepala berat Cheng Yi lin berusaha bangun dan gerakan itu mengusik sang perempuan tua tersebut.

“ Aaiih...jangan paksakan dirimu bangun. Beristirahatlah karna engkau terkena jarum beracun milik marga Tan yang terkenal itu...” ucapnya lembut sembari mendatangi Cheng Yi Lin dan menekan tubuh itu untuk kembali berbaring. 

Cheng Yi Lin sedikit terkesiap karna perempuan tua itu mendatanginya hanya dalam waktu sekejap sedangkan jarak diantara mereka lumayan jauh. Dalam hati dia hanya berharap bahwa perempuan tua itu tidak akan menjadi lawannya kelak.

Tekanan lembut tangan itu membuat usaha Cheng Yi Lin jadi sia-sia dan harus kembali terbaring. Diam-diam perempuan tua itu telah memperlihatkan kekuatan sinkangnya yang hebat. 

“ Siancay...siancay....siapakah engkau anakku ? Apa hubunganmu dengan Ang-I-Nio-Cu ? Kulihat engkau menggunakan ilmu It-Yang-Cie dan Im-Yang-Kun-Hoat dalam satu kali serangan, itu tidak pernah dilakukan sebelumnya. Juga engkau menggunakan ilmu selendang merah pencabut nyawa milik Ang-I-Nio-Cu...apakah engkau adalah muridnya ?” suara lembut itu melontarkan banyak pertanyaan yang mengusik rasa ingin tahunya.

Cheng Yi Lin memandang perempuan tua itu dengan takjub, tak pernah disangkanya bahwa perempuan tua itu mengenal semua jurusnya hanya dengan sekali pandang dan itupun dari jauh pula. Dalam hati Cheng Yi Lin merasakan getar yang hebat melandanya . Mungkinkah dia ? Tanyanya dalam-dalam.

“ Maafkan aku , bibi..Aku Yi Lin , Cheng Yi Lin . Aku adalah murid ibu guru Ang-I-Nio-Cu Cheng Yin Fei..” jawab Cheng Yi Lin berterus terang.

Wajah perempuan tua itu tersenyum dan rasa damai melingkupi hati Cheng Yi Lin seketika itu juga.

“ Aaah...ternyata benar dugaanku ketika melihat engkau bertarung..Siancay... Siancay...ternyata jodoh telah mempertemukan kita , anakku...” ujarnya pelan sambil mengusap lembut kening Cheng Yi Lin, “ Aku adalah kakak seperguruan dan kakak kandung gurumu itu , Cheng Yue Lin...” sambungnya pula.

“ Salam hormat bibi guru..ah, maafkan Yi Lin kurang ajar pada bibi guru” seketika perasaan membludak dan berkecamuk dalam hatinya.

“ Anak baik..jangan minta maaf..engkau sungguh luar biasa telah mampu menyerap ilmu adikku itu..” tegurnya dengan senyum lembut mengembang.

“ Ibu guru memintaku untuk mencari bibi guru , itu adalah pesan terakhirnya “ jawab Cheng Yi Lin menitikkan air matanya. Sedih karna teringat dengan guru dan sekaligus ibu serta gembira karna telah dipertemukan dengan sang bibi guru yang harus dicarinya itu.

“ Siancay..siancay..Amithaba....Rupanya adikku telah mendahului aku si tua bangka ini menuju nirwana...Siancay...siancay...” perempuan tua itu tersenyum sambil menangkup kedua tangannya memanjatkan doa tanpa ada kesedihan sedikitpun melandanya.

Dalam isaknya Cheng Yi Lin mengeluarkan selendang merah milik ibu gurunya dan berlutut dipembaringan untuk menyerahkannya kepada sang bibi guru. Cheng Yue Lin menepuk kepala murid keponakannya itu dengan lembut.

“ Itu adalah milikmu sekarang, anakku Yi Lin..Simpanlah baik-baik, suatu hari akan ada gunanya...” ujarnya masih tetap dengan nada penuh kelembutan.

Cheng Yi Lin mengangguk dan begitu terkesan dengan kedamaian yang tersirat dalam kematangan hidup bibi gurunya itu.

“ Jangan menangisi apa yang telah menjadi kehendak alam , anakku Yi Lin..Ku lihat engkau telah dididik dengan baik oleh adikku itu dan aku sangat senang melihatnya. Kini engkau bersamaku dan akan kuajarkan semua ilmu yang cetek ini untuk menjadikan engkau sebagai ahli waris kami...” angguk Cheng Yue Lin tersenyum penuh kasih dan mengelus wajah cantik didepannya itu.

“ Sekarang ceritakan bagaimana asalnya engkau sampai bentrok dengan Hek San Kui Jau Tak Gai dan anak dari marga Tan itu ?” tanya Cheng Yue Lin sembari memeriksa denyut nadi ditangan Yi Lin . Wajahnya lega karna racun yang terkandung dalam jarum milik anak marga Tan itu telah hilang dan diam-diam dia mengagumi kehebatan tenaga dalam Yi Lin yang masih muda itu.

Cheng Yi Lin kemudian menceritakan semua kisahnya sejak pertemuan dengan Nyi Pandera Wirogeni sampai ketika dia memulai perjalanannya dan bentrok dengan Tan Shien Li yang menginginkan Cemeti Lengkingan Naga miliknya itu. Cheng Yue Lin mendengarkan semua kisah itu tanpa menimbulkan gejolak atau gemuruh dihatinya . Dia hanya mendengarkan semua kisah itu dan sesekali mengangguk dalam senyumnya.

“ Cemeti Lengkingan Naga ? Hmm...ternyata ibu gurumu telah mewariskan harta miliknya dan menjadikannya sebuah senjata hebat untukmu, Yi lin anakku..” ujarnya pelan,” jangan khawatir Cemeti Lengkingan Naga itu akan semakin hebat bila sembilan lembar benang emas milikku menyatu dengan sembilan lembar benang emas milik ibu gurumu yang telah mengikat tujuh belas urat harimau itu. Sebenarnya senjata itu adalah warisan guru kami dari partai Hoasanpay dan hanya bisa sempurna bila delapan belas lembar benang emas milik kami berdua menyatu dan mengikat ketujuh belas urat harimau itu. Sebenarnya Cemeti Lengkingan Naga diciptakan guru kami untuk menandingi kehebatan Pedang Naga Giok Langit yang telah menghilang . Kedua senjata ini akan menjadi satu bila berada ditangan yang tepat dan menguasai ilmu pedang itu . Rahasia Cemeti Lengkingan Naga itu sebenarnya sudah ada sejak Pedang Naga Giok Langit diciptakan, namun perebutan berdarah atas pedang itu dan akhirnya menghilang dari rimba persilatan membuat guruku memisahkan warisannya kepada kami berdua. Baru pada belasan tahun silam aku mengetahui bahwa sesungguhnya Pedang Naga Giok Langit selalu menyertai kami dan itu dimiliki oleh Laksamana Cheng-de. Dan yang paling menyakitkan adalah pemegang pedang itu adalah orang kepercayaan beliau sendiri yakni Wang Jing Hong , yang akhirnya meninggal karna sakit dipantai utara Simongan. Anehnya pedang itu tidak berada ditangannya dan selama puluhan tahun aku mencoba untuk mencarinya namun aku kehilangan jejak . Rupanya ada orang lain yang membawa pedang itu dan menyembunyikannya setelah peristiwa penyerangan rombongan Wang Jing Hong ketika melewati pantai selatan oleh para perompak disana. Entahlah, aku juga tidak tahu kemana pedang itu berada , seolah-olah hilang ditelan bumi. Satu- satunya jalan adalah menciptakan Cemeti Lengkingan Naga seperti yang dilakukan ibu gurumu itu, untuk memancing kembalinya Pedang Naga Giok Langit muncul kembali . Kedelapan belas benang emas itu sesungguhnya adalah kumis sang naga sendiri yang menyatu dalam Pedang Naga Giok Langit . Apabila benang- benang emas itu disatukan untuk mengikat tujuh belas urat harimau, maka lengkingan cemeti itu akan membangkitkan kembali ruh naga dalam pedang itu. Setidaknya itulah yang dikatakan guru kami waktu itu , Yi Lin anakku..” Cheng Yue Lin menceritakan panjang lebar mengenai rahasia Cemeti Lengkingan Naga sembari mengamati senjata itu dengan seksama. Senyum terkembang dibibirnya.

Cheng Yi Lin sendiri hanya bisa melongo. Tak pernah disangkanya begitu besar rahasia yang dikandung oleh Cemeti Lengkingan Naga buatan ibu gurunya dan baginya itu hanya sekedar senjata serta untuk mengikat rambutnya saja.

“ Kini tugasku adalah untuk menyempurnakan Cemeti Lengkingan Naga ini serta mengajari engkau ilmu Pedang Naga Giok Langit, agar suatu hari nanti engkau dapat menguasai pedang itu tanpa menimbulkan prahara..” lanjut Cheng Yue Lin kemudian . “ Cemeti ini harus disucikan dahulu , karna ada aroma darah yang telah menodainya. Tak usah engkau ceritakan tentang darah yang mengotori Cemeti Lengkingan Naga ini karna aku percaya engkau hanyalah membela diri. Ketika cemeti ini telah sempurna, maka engkau harus berhati-hati agar tidak sembarangan menggunakannya kecuali bila engkau terdesak dan harus membela diri. Marga Tan bukanlah ancaman tetapi Hek San Kui dan Pek Mau Siang Cu adalah orang yang harus diwaspadai karna mereka banyak kaki tangannya yang hebat-hebat. Engkau harus lebih hati-hati dalam perjalananmu kelak , anakku” Cheng Yue Lin memberikan wejangannya sebelum membawa Cemeti Lengkingan Naga itu dan merendamnya dalam air masakan obat yang rupanya sudah dipersiapkannya terlebih dahulu. 

Cheng Yi Lin hanya bisa mengangguk dan merasa kini badannya jauh lebih segar setelah mendapat pengobatan dari bibi gurunya. Cheng Yi Lin kemudian menikmati masakan sederhana yang dibuat oleh bibi gurunya. Suasana rumah yang pernah dirasakannya kini kembali menyeruak.

“ Dimanakah ini , bibi guru ?” tanya Yi Lin kemudian, daerah itu masih asing baginya .

“ Ini didaerah pedesaan yang agak jauh dari keramaian dan cocok untuk hidup tenang. Namanya Dusun Darum atau Desa Candi,masih masuk daerah Kadipaten Limbarawa,tak jauh dari sini ada Gedong Songo...” jelas Cheng Yue Lin dengan fasihnya menjelaskan arti tempat itu. “Gedong” berarti rumah atau bangunan, “Songo” berarti sembilan. Jadi Arti kata Gedongsongo adalah sembilan (kelompok) bangunan yang dibangun pada abad ke-9 masehi.

“ Disini tempatnya tenang dan hawanya sejuk. Tempat ini cocok untuk memperdalam ilmu dan kekuatan tenaga dalammu, anakku..” sambung Cheng Yue Lin dengan sabar dan tenang.” Karna letaknya di lereng gunung Ungaran, maka tak banyak orang-orang asing berkeliaran disini..”

Cheng Yi Lin hanya menganggukkan kepalanya. Dimanapun dia berada tak begitu memusingkannya selama dia dekat dengan sang bibi gurunya. Kerinduan akan sang guru kini sedikit terobati dengan kehadiran sang bibi guru. Keduanya terus berbincang-bincang sampai akhirnya Cheng Yi Lin terlelap dalam lelahnya.

Cheng Yue Lin dengan lembut menyelimuti tubuh Yi Lin dari terpaan dingin angin dilereng gunung ungaran itu. Sedangkan baginya sendiri hal itu tak menjadi masalah sama sekali . Selama belasan tahun tinggal dan mengasingkan dirinya jauh dari keramaian , akhirnya secara kebetulan dia menemukan pewaris dari adik seperguruannya. Cheng Yue Lin amat bersyukur sekalipun dia harus menerima kenyataan bahwa adik seperguruan yang juga adik kandungnya itu telah meninggal dunia . Namun kehadiran Cheng Yi Lin sangat menggembirakannya walaupun asal usul Yi Lin tidak diketahuinya secara jelas. Dia hanya berrharap bahwa pilihan sang adik tidaklah salah dan akan berbuah baik.

Sementara itu di Limbarawa. Kediaman keluarga Gaharu Cindhe yang tepatnya berada didesa Ngampin terletak paling barat wilayah Kadipaten Limbarawa, berbatasan dengan Kadipaten Jambu. Didaerah ini sangat terkenal akan buah-buahannya, antara lain buah durian yang berbau harum menyengat.

Di ruangan belakang rumah besar berpagar tinggi itu, sedang berkumpul para pelayan dan abdi dalam . Semuanya duduk dialas tikar sambil menikmati hangatnya api unggun dengan cangkir-cangkir kopi bertebaran. Ada pula yang membuat kue serabi dan ada pula yang menikmati buah durian yang diambil dari perkebunan milik keluarga itu.

Sekar Kusumadewi sendiri telah selesai dengan mandinya dan telah pula berpakaian kering. Karmita , bocah perempuan itu entah kemana, mungkin sibuk dengan kenakalannya kalau malam menjelang , mengusik para pelayan sibuk menyiapkan makan malam mereka . Satu kebiasaan dalam keluarga ini , adalah tradisi makan bersama tanpa ada batasan antara majikan dan bawahan. Itulah yang membuat para bawahan disitu sangat setia dan selalu menjaga keharmonisan mereka dalam satu kesatuan.

Gaharu Cindhe menatap kecantikan Sekar Kusumadewi yang memendar diantara lampu teplok yang menggantung didinding kamar itu. Sedangkan Gaharu Cindhe sendiri masih tampak menyiarkan kecantikannya walaupun telah berusia empat puluh lima tahun . Seorang pelayan utama yang tidak pernah menikah dalam usahanya mengabdikan diri untuk membesarkan putri junjungannya.

Sekar Kusumadewi berbalik dan menatap penuh rasa sayang kepada bu de nya itu dan segera memberikan sebuah pelukan .

“ Bu de selalu tampak cantik dan menyenangkan..” pujinya sedikit manja.

“ Ahh...engkau selalu pintar memuji , Sekar...” balas sang bu de dengan rasa senang dan bangga dengan kepandaian Sekar dalam bertutur kata.

“ Marilah kita makan sebelum mereka yang dibelakang kekenyangan dengan kue serabi dan buah duriannya...” ajaknya kemudian.

Sekar tertawa mendengar nada gerutuan sang bu de. Mereka para pelayan dan abdi dalam selalu ada saja kesibukannya sementara menunggu makan malam tiba. 

Sementara itu mang Kasimudewo tampak sedang berbincang dengan seseorang didekat pintu gerbang . Raut mukanya tampak tidak begitu enak dilihat apalagi dengan perawakannya yang tampak kasar itu. Tak lama kemudian orang itu pergi dan mang Kasimudewo segera menutup gerbang itu dan bergegas masuk kedalam.

“ Ada yang menyampaikan ini untuk ibu...” katanya sambil menyerahkan sebuah gulungan daun lontar kepada Gaharu Cindhe ketika mereka berpapasan dengan mang Kasimudewo didekat ruang makan.

Sejenak wajah Gaharu Cindhe mengerutkan keningnya ketika menerima gulungan daun lontar itu apalagi saat melihat perubahan wajah mang Kasimudewo tersebut. 

“ Terima kasih, mang Kas..dari siapa ini ?”, tanyanya sambil lalu.

“ Dari utusan Adipati Limbarawa , bu..” jawab mang Kas sedikit marah.

“ Baiklah...setelah makan kita akan membahasnya. Simpanlah dulu, mang Kas “ ujar Gaharu Cindhe berusaha untuk meredakan gejolak hatinya, “ Sekarang kita makan malam dulu..” ajaknya kemudian.

Tanpa bicara lagi mang Kasimudewo segera menyimpan gulungan lontar dibalik bajunya dan melangkah menuju ruang makan dimana para pelayan dan abdi dalam sedang menantikan kehadiran mereka. Kemudian makan malampun mereka lalui seperti yang sudah-sudah, penuh rasa kekeluargaan dan keakraban .

Malam yang dingin itu terus merayap dan menebarkan rasa gigil yang menggigit. Sekar Kusumadewi tampak bengong dan melongo ketika sang bu de Gaharu Cindhe menuturkan riwayat hidupnya . Sesekali pandangannya menabrak tatapan mang Kasimudewo yang juga ikut bersama dalam perbincangan tersebut. Mang Kasimudewo hanya manggut-manggut membenarkan setiap cerita sang bu de Gaharu Cindhe yang kali ini menceritakan semuanya dengn rasa beban yang berat.

Rasa keterkejutan dan desakan emosi yang luar biasa menghimpit perasaan serta kemampuan Sekar Kusumadewi menerima kenyataan yang ada. Setelah cerita itu berakhir , Sekar Kusumadewi tak lagi bisa menahan gejolak hatinya dan kenyataan itu sangat membebani hatinya. Sekar Kusumadewi langsung jatuh pingsan . Keruan saja hal itu membuat sibuk Gaharu Cindhe dan mang Kasimudewo memberikan pertolongan .

Tak berapa lama kemudian Sekar Kusumadewi lalu tersadar dengan sakit kepala menghimpitnya . Untuk pertama kalinya dia melihat sang bu de dan mang Kasimudewo berlutut dihadapannya.

“ Nuhun Kanjeng Puteri....” salam keduanya dengan sangat hormat dan hal itu membut Sekar Kusumadewi sangat terkejut dan sedikit marah .

“ Tidak...tidak mau...jangan lakukan ini bu de...mang kas...” sergah Sekar Kusumadewi dengan keras dan membangunkan mereka segera . Sekar Kusumadewi menangis tersedu-sedu dan air matanya berjatuhan .

“ Inilah kehendak hyang widhi , Kanjeng Puteri..” bantah sang bud de yang ikut juga menangis. “ Dulunya aku ini seorang pelayan dan sampai sekarangpun tetap seorang pelayan. Kanjeng Puteri adalah junjungan hamba dan itu tak terbantahkan...” jelas Gaharu Cindhe dengan lembut.

“ Betul , Kanjeng Puteri..kami ini adalah pelayan dan hamba dari Kanjeng Puteri Tugas kami adalah menjaga dan merawat Kanjeng Puteri sampai kapanpun..” sambung mang Kasimudewo tak kalah hormatnya.

“ Tidak...tidak...ini tidak boleh terjadi...aku tak ingin berubah seperti ini...aku ingin seperti sebelumnya. Aku tak pantas mendapatkan kehormatan ini, aku hanya ingin menjalani kehidupanku seperti sebelumnya..” protes Sekar Kusumadewi sambil berlutut pula dihadapan kedua orang yang telah merawat dan menjaganya selama ini, terutama menyayanginya sepenuh hati .

“ Aku tidak membutuhkan gelar atau kebanggaan menjadi seorang puteri raja, toh kerajaan Kediri sudah lama berakhir. Jadi , untuk apakah aku harus memangku sebagai Kanjeng Puteri ? Ini tidak bisa, bu de...mang Kas..” geleng Sekar dengan tegas, derai air matanya belum berhenti,” Aku tidak ingin berubah jadi aku mohon dengan sangat, janganlah mengubah kehidupanku sebelumnya. Aku hanya ingin menjalani kehidupanku apa adanya dan biarlah masa lalu selesai ketika kerajaan Kediri berakhir. Biarkan aku hidup seperti sebelumnya...aku mohon dengan sangat bu de...mang Kas...” lanjutnya sambil berkali-kali memberikan sujudnya kepada kedua orang yang telah menjaganya itu .

Gaharu Cindhe dan mang Kasimudewo tidak bisa mengeluarkan kata-kata apapun dan keduanya saling berpandangan sambil menarik napas . Pengorbanan mereka untuk sebuah pengabdian kepada sisa kemuliaan kerajaan Kediri tampaknya harus berakhir disini . Sekar Kusumadewi sebagai keturunan raja Jayakatwang, penguasa kerajaan Kediri yang dikhianati oleh Raden Wijaya yang kini adalah penguasa Kerajaan Majapahit , ternyata tidak menghendaki segala kemuliaan itu. Entah bagaimana tanggung jawab mereka nanti bila keturunan terakhir junjungan mereka tidak bisa melanjutkan perlawanan untuk menegakkan kembali kerajaan Kediri yang mereka hormati itu. Itu berarti hasil kerja keras mang Kasimudewo mengumpulkan para punggawa yang setia kepada kerajaan Kediri akan menjadi sia-sia, padahal para punggawa itu telah bersusah payah mengumpulkan barisan untuk menyerang Majapahit demi mengembalikan kehormatan kerajaan Kediri !

Kita tinggalkan sejenak kemelut yang melanda perasaan Sekar Kusumadewi yang telah mengetahui asal usul dirinya itu.

Kita mengunjungi markas keluarga dari marga Tan yang terkenal di pntai utara Simongan itu. Tan Shien Li yang tampak gusar memacu kudanya memasuki gerbang dan nyaris melindas para pelayan yang kalang kabut menghindari kuda itu. Tak ada keluhan selain hanya bisa memaki dalam hati atas kelakukan Tan Shien Li yang sering seenaknya itu.

Sang ayah, kepala marga Tan itu hanya menggelengkan kepalanya melihat puteri kesayangannya tersebut uring-uringan. Saat itu Tan Ek Tjoan , kepala keluarga marga Tan sedang sembahyang menghadap dewa langit dengan beberapa hio yang menyala. Perawakannya yang gendut dan pendek itu sama sekali tidaklah bisa diremehkan karna langkahnya amat gesit . Tan Ek Tjoan adalah seorang perantau dari negeri tiongkok dan merupakan salah seorang pengawal kapal-kapal laksamana Cheng-de dalam pelayarannya. Setelah kedua kalinya singgah di pantai utara Simongan, Tan Ek Tjoan memutuskan untuk tinggal disitu dengan membawa keluarganya . Dengan bakal dagang serta kepandaian silatnya yang berakar dari perguruan cakar besi yang cukup terkenal didaratan tiongkok, Tan Ek Tjoan memulai usahanya dengan membuka tokok kelontong di sebuah pasar yang dekat dengan pelabuhan dipantai utara itu.

Mulanya usaha tersebut banyak diganggu oleh para begundal pribumi yang merasa jadi jagoan didaerah tersebut. Namun Tan Ek Tjoan tidaklah gentar dan menundukkan mereka dengan jurus-jurus cakar besi yang ganas. Akhirnya para begundal itu tunduk dan mereka dijadikan kaki tangannya untuk melebarkan usahanya. Setelah bertahun-tahun bekerja keras , mulailah Tan Ek Tjoan melebarkan sayapnya dengan mengikat hasil bumi dan mengirimnya kembali ke daratan tiongkok dimana dia memiliki hubungan baik dengan berbagai kota pelabuhan disana. Dengan para begundal yang ditundukkannya, Tan Ek Tjoan berhasil menjadi seorang tauke ( pengusaha ) segala macam hasil bumi dan mulai memasukkan candu dari daratan india untuk dijual kepada pribumi maupun para perantau yang banyak menyinggahi kota dipantai utara tersebut. 

Selain keberhasilan dalam usahanya yang beraneka ragam itu , Tan Ek Tjoan juga menimbulkan penyakit akibat keserakahannya dalam berdagang. Mulailah terjadi pengacauan-pengacauan dalam usaha melebarkan dagangannya. Namun Tan Ek Thoan tidak bergeming, malah mendatangkan jagoan-jagoan yang dikenalnya dan pernah ditundukkannya di daratan tiongkok sana untuk datang membantu usahanya. Semakin lama Tan Ek Tjoan semakin terkenal dan kaya raya dari hasil usaha dagangnya itu, apalagi candu yang dimasukkannya dari negeri india itu segera menampakkan hasil dimana para pecandu selalu mencari barang tersebut kepadanya.

Namun dibalik kemajuan usahanya , sang istri tak kuat menghadapi perubahan cuaca dan kerasnya kehidupan dinegeri rantau. Setelah melahirkan anak keduanya yaitu Tan Shien Li , sang istri menghembuskan napas terakhirnya. Tan Ek Tjoan amatlah berduka dengan kepergian sang istri tercinta namun takdir berkata lain dan dia harus menerimanya. Anak pertamanya laki-laki dan bernama Tan Ek Song. Setelah berumur sepuluh tahun dan adiknya Tan Shien Li berumur empat tahun , Tan Ek Song dikirim ayahnya untuk belajar ilmu silat didaratan tiongkok dengan bimbingan seorang pendeta murtad dari perguruan Shiao Lin She, yaitu hweesio Gwee Ngang Kang yang tinggal disebuah kota kecil yaitu Shenzen .

Sedangkan Tan Shien Li dibesarkannya sendiri dan sedari kecil digembleng dengan keras oleh sepupunya yang merupakan tokoh persilatan yang amat dikenal didaratan tiongkok. Pek Mau Siang Cu merupakan tokoh persilatan yang amat disegani karna ilmu silatnya tinggi dan kejam. Setelah menjadi buronan pemerintah tiongkok, akhirnya Pek Mau Siang Cu menyusul sepupunya Tan Ek Tjoan dan tinggal di pantai utara itu sambil mendidik Tan Shien Li dalam ilmu silat. Selain itu sepupunya Pek Mau Siang Cu masih memiliki seorang kakak seperguruan yaitu Hek San Kui Jau Tak Gai , namun sama seperti Pek Mau Siang Cu , dia juga menjadi pelarian setelah kelakuannya mencuri kitab rahasia di perpustakaan kerajaan. Hek San Kui juga akhirnya menerima pinangan Tak Ek Tjoan agar bergabung dengannya.

Enam belas tahun sudah berlalu dan setiap hari Tan Ek Tjoan sembahyang kepada dewa langit dan bumi, agar anak lelakinya Tan Ek Song segera kembali kesisinya setelah selesai belajar dengan gurunya. Dan dari kabar yang diterimanya dari beberaa orang sahabatnya, bahwa Tak Ek Song akan kembali bersama gurunya hweesio murtad Gwee Ngang Kang ke pantai utara Simongan tak lama lagi. Tentu saja berita itu amat menggembirakan Tan Ek Tjoan, apalagi dengan kedatangan sang guru si anak, maka kekuatannya akan bertambah lagi untuk meluaskan usahanya keseluruh pulau jawa .

Tan Ek Tjoan nyaris terbahak melihat tampang anak kesayangannya yang cemberut dan melampiaskan kekesalannya dengan menendang baki minuman diatas meja. Namun tidak diperlihatkannya karna itu hanya akan menambah gemuruh marah sang anak kesayangannya tersebut. Tak Ek Tjoan tidak pernah ingin melarang apapun yang dikehendaki puterinya itu, sekalipun harus ada nyawa yang melayang itu tak apa.

“ Ada apa Shien Li ? Kenapa engkau begitu marah ?” tanya Tan Ek Tjoan kemudian.

“ Aku kesal , pa...masa tadi aku harus melarikan diri bersama supek hanya karna kedatangan seorang Cui-Bng-Nio-Cu ?” umpatnya menjadi-jadi.

“ Hahh ? Cui-Beng-Nio-Cu ? Engkau bertarung dengannya ?” , TAn Ek Tjoan tampak terperanjat dan menatap lekat puteri kesayangannya itu.

“ Kenapa papa juga sama seperti supek ( paman guru ) ?” sergah Tan Shien Li mendelik.

“ Waduuh..anakku , Cui-Beng-Nio-Cu itu tidak bisa dibuat main-main dan engkau bukanlah lawannya..” keluh Tan Ek Tjoan tak habis pikir, “ Hanya gurumu bersama supekmu saja yang mampu menandinginya...” jelas Tan Ek Tjoan sedikit berkeringat dengan ambisi anaknya yang melewati batas itu.

Kemudian dengan sabar Tan Ek Tjoan meminta puterinya itu menceritakan asal muasal pertemuannya dengan tokoh yang ditakutinya itu. Tan Ek Tjoan mendengarkan cerita sang puteri yang merasa kesal karna keinginannya tak tercapai yaitu benda milik Cheng Yi Lin yang belakangan diketahuinya sebagai Semeti Lengkingan Naga . Benda itu amat diinginkannya terutama setelah mengetahui benda itu amatlah hebat auranya.

“ Sabarlah, Shien Li...tak lama lagi kokomu akan datang kesini bersama gurunya. Engkau akan punya kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan Cemeti Lengkingan Naga itu..” hibur Tan Ek Tjoan dengan gayanya.

“ Koko akan kesini ? Kapan pa ?” tanya Tan Shien Li antusias. Wajahnya seketika tampak kegirangan dengan rencana kedatangan kakaknya itu. Semasa kecilnya Tak Ek Song amatlah menyayangi adiknya itu.

“ Mungkin sebulan lagi , saat ini dia dan gurunya telah menaiki kapal yang sekalian membawa barang untuk kita..” jelas Tan Ek Tjoan dengan gembira.

Tampaknya berita itu sedikit menghilangkan gundah dihati Tan Shien Li dan itu sangat menyenangkan hati Tan Ek Tjoan yang kadangkala sedikit miris melihat tingkah laku puteri kesayangannya itu. Karna walau bagaimanapun Tan Ek Tjoan tak mau ada masalah berkepanjangan dan mengusik usahanya. Apalagi kian hari semakin banyak saja yang coba mengusiknya dan berusaha untuk menjatuhkan usahanya dimana pihak kerajaan juga sedang menimang-nimang untuk mengenakan pajak kepada mereka . Namun dengan kedatangan kakak seperguruan Pek Mau Siang Cu yitu Hek San Kui Jau Tal Gai , cukup menenangkan hatinya apalagi nanti akan kedatangan putra sulungnya serta gurunya. Itu berarti tambahan kekuatan untuk membentengi usahanya dari gerogotan kelompok lain. Tan Ek Tjoan bertekad mempertahankan reputasinya disepanjang pantai utara Simongan agar tidak direbut kelompok lain.

Sedangkan ditempat lain, tampak ada keributan disebuah pasar dipinggiran ibukota kerajaan. Di pasar yang ramai dan banyak pengunjungnya itu tampak seorang pemuda bergajulan sedang bersitegang dengan murid kelima Nyi Pandera Wirogeni, yakni Ni Plur Bungopante alias si Bengal Kucing Wadas , seorang perempuan berambut lurus dan terikat dengan tali rami warna hijau. Kemben dan celana selutut yang dikenakannya juga berwarna hijau dengan lurik hitam. Sebuah pedang yang terbungkus kain tampak tergantung dibelakang punggungnya agar tidak terlalu menarik perhatian orang.

Ni Plur Bungopante alias si Bengal Kucing Wadas tampak melotot dan berkacak pinggang didepan pemuda yang cengangas-cengenges mempermainkan sebuah buntalan kain. Pemuda itu tidak sendirian tetapi ditemani oleh dua orang sebayanya yang kelihatan dari dandanannya bukanlah pemuda biasa. Pemuda yang sedang memainkan buntalan kain itu berpakaian warok dengan sebuah clurit besar menggantung dipinggangnya . Wajahnya sendiri tampak buruk dengan bopeng disana-sini. Sedangkan yang satu lagi berpakaian beskap dan mengenakan sebuah blangkon butut dengan sebuah codet memanjang dari ujung mata bagian dalam mendekati telinganya . Dan yang ketiga adalah seorang pemuda yang mengenakan celana cingkrang hitam dengan kasut tali tanpa baju sehingga perutnya yang buncit tampak mengerikan dihiasi panu-panu bertebaran.

Ketiganya terkenal sebagai bergajulan yang menguasai pasar beringharjo itu dan selalu bertindak semena-mena . Tak ada yang berani menentang karna mereka adalah penguasa pasar beringharjo itu dan para punggawa kerajaan tampak malas berurusan dengan mereka. Sore itu mereka melihat kehadiran seorang perempuan molek dan berusaha mengusiknya dengan merebut buntalan kain yang sedang dibawanya. Ketika mendapati bahwa perempuan itu malah hendak melawan, maka semakin beringaslah mereka karna selama ini mereka selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan.

“ Kembalikan buntalanku dan aku akan membiarkan kalian pergi dengan selamat “ ancam Ni Plur Bungopante alias si Bengal Kucing Wadas berusaha menghindari keributan yang tidak perlu.

“ Hahahahahhahaha...duuh si denok ini memang menggairahkan..” jawab di muka codet sambil tertawa . Siapa perempuan ini sehingga berani mengancam mereka ? Pikirnya merendahkan peringatan tersebut.

“ Hahahahahaha...betul..betul , kawan...tentu akan menyenangkan kalau malam ini kita minum arak dan makan daging babi panggang dengan ditemani si molek ini...” lanjut si warok dengan pongahnya dan terbahak.

“ Aku akan memangku dirimu..denokku...pasti engkau akan hangat dalam pelukanku ini..” sambung si perut panuan tak mau kalah dengan temannya.

Ketiganya terbahak dan tak peduli dengan pandangan orang-orang yang menatap perempuan itu dengan perasaan kasihan. Namun perempuan berkemben hijau itu tak terusik dan pandangannya yang tajam mendelik mengukur kemampuan ketiga bergajulan itu . 

“ Sudah kuperingatkan sekali dan jangan sesali kalau kalian tidak mau menyerahkan buntalan milikku itu..” desis Ni Plur Bungopante dengan entengnya dan tak tampak sedikitpun rasa gentarnya.

“ Wah..denokku sudah tak sabar rupanya...sini sayang, kakangmas akan memelukmu dengan erat...” jawab si perut panuan sambil merentangkan tangannya dan melangkah hendak memeluk perempuan berkemben hijau itu dengan gaya seronokya .

Namun apa yang terjadi ? Dengan sekali putaran badannya Ni Plur Bungopante melayangkan tumit kakinya menghantam dengan telak kearah tenggorokan si perut panuan tanpa ampun. 

“ Hahaha...hecckk..hecckkk..” siperut panuan tak bisa lagi melanjutkan tawanya dan tangannya memegang tenggorokannya sambil melotot . Tenggorokan itu seperti hendak meledak dan nyaris membuatnya pingsan. Si Perut panuan menggelosor dan jatuh berlutut sambil memegang tenggorokannya dengan kedua tangan . Dia terjengkang jatuh sambil menggelepar menahan rasa sakit yang menggigit tenggorokannya sambil mengeluarkan suara menggorok.

Kedua temannya terkejut bukan alang kepalang. Sama sekali tidak menyangka bahwa perempuan denok itu ternyata memiliki keberanian dan kepandaian pula. Dengan penuh amarah si blangkon codet merangsek dan tinjunya bertubi-tubi mengejar perempuan itu dengan ganasnya . Sedangkan si warok tampak melotot dan tangannya bergetar keras, lalu membanting buntalan kain ditangannya itu ke tanah sambil memaki-maki . Tampaknya dia sudah terlanjur kehilangan nalarnya sehingga dengan berang dicabutnya clurit besar itu dan mengayunkan nya kearah kedua kaki perempuan tersebut

Ni Plur Bungopante tidak tampak gugup. Tangannya bergerak cepat menangkis pukulan bertubi-tubi dari si perut panuan sehingga tak satupun tinju itu mengenainya. Dengan satu teriakan nyaring perempuan itu menjejak tanah untuk menghindari sabetan clurit dari si warok namun tangannya meneruskan satu pukulan tepat mengenai mata si blangkon codet. Rasa terkejut si blangkon codet akhirnya menjadi bumerang. Matanya lebam dan menimbulkan rasa nyeri yang menghimpit kepalanya. Si Balngkon codet cepat melangkah mundur dengan lebam menghiasi matanya yang bengkak dan bercucuran air mata saking sakitnya.

Melihat hal itu , si warok semakin ganas apalagi serangan pertamanya gagal. Tak ada lagi niat menggoda , kini niatnya adalah segera menghabisi perempuan denok yang tak lagi menarik hatinya. 

Ni Plur Bungopante melompat mundur selangkah dan bersiap menanti serangan si warok selanjutnya . Pedang yang terbungkus itu masih melekat dipunggung dan dia merasa tak perlu mengeluarkannya. Kali ini Ni Plur Bungopante merapal ilmu lima racun ular berbisa yang sudah dikuasainya 60 persen itu.

Si warok semakin menggila dan teriakannya membahana dikeramaian pasar beringharjo yang tampak dipenuhi orang yang menonton pertarungan itu. Diam-diam mereka mensyukuri pertarungan yang tampaknya akan dimenangkan oleh perempuan denok berkemben hijau itu. Bahkan ada pula yang langsung mengajak temannya untuk bertaruh siapa pemenangnya !

Dengan kepandaian yang lumayan si warok kini mulai hati-hati agar tidak lagi meremehkan perempuan itu. Clurit besar itu berputar bagaikan gangsing mengikuti tubuhnya yang berayun mengitar dan dalam satu teriakan, dia mengayunkan clurit itu untuk menebas pinggang perempuan tersebut. Namun Ni Plur Bungopante tidak mandah saja menerima serangan itu. Dengan menjejak tubuh si perut panuan Ni Plur Bungopante mengayunkan tubuh rampingnya melenting melewati sabetan clurit besar itu. Tak hanya sampai disitu, tangan kananya yang merapal ilmu lima racun ular berbisa itu menukik tajam dan mengibas kearah muka si warok yang dengan susah payah berhasil juga mengelak sekalipun harus terguling-guling karna putaran tubuhnya tadi.

Ni Plur Bungopante menggeram karna serangannya gagal. Perhatiannya segera berubah karna datangnya lengkungan sebuah golok menghantam ke arah pundaknya. Rupanya si blangkon codet telah mengeluarkan golok yang entah darimana didapatnya itu. Ni Plur Bungopante sengaja mendekatkan tubuhnya sehingga lengkungan golok itu melewati pundaknya dalam sekejap. Tentu saja si blangkon terkejut dengan cara perempuan itu mengelakkan serangannya, namun terlambat sebuah tepukan kembali mengenai lehernya. Si blangkon codet seketika menggelepar dengan wajah kehitaman . Rupanya dia telah terkena pukulan ilmu lima racun ular berbisa milik Ni Plur Bungopante !

Perempuan itu kini terkekeh dan bersiap pula menghadapi si warok yang telah berhasil mengendalikan dirinya . Melihat si blangkon codet rubuh, si warok semakin menggila . Segala caci maki menerjang sore yang mulai redup oleh gerimis yang berjatuhan . Dengan nekad dia melemparkan sebuah gentong milik penjual gudeg kearah Ni Plur Bungopante dan isinya berantakan bertebaran. Tentu saja perempuan itu mengelak tumpahan gudeg itu sambil melompat ke kiri dan satu tendangan kaki kanannya yang berputar berderak menghantam telinga kiri si warok . Hantaman itu membuat si warok berkunang-kunang matanya dan belum sempat mengendalikan dirinya , sebuah tepukan mengenai leher kirinya pula . Seketika si warok menjerit panjang dan wajahnya berubah menjadi kehitaman. Tubuhnya menggelepar dan nyawanya seketika putus !

Dengan tenang Ni Plur Bungopante mengambil buntalan kainnya dan menggendong diatas pundaknya lalu melangkah pergi meninggalkan keramaian pasar beringharjo yang kini terdiam menyaksikan ketiga begundal pasar itu tergeletak tak berdaya di emperan pasar. Tak ada yang berani berucap kata sekalipun mengeluarkan suara melihat ketenangan perempuan berkemben hijau itu berjalan meninggalkan mereka semua .
Senja semakin jatuh dan derai gerimis kini telah berubah menjadi tirai hujan yang membasahi pasar itu dengan derasnya, sedangkan perempuan denok berkemben hijau itu telah menghilang dalam langkahnya yang amat cepat.

Golek golek..capunge tak golek golek
Capunge golek golek dewe...
Golek golek...capunge tak golek wae..
Capunge golek golek dewe..
Capunge tak golek dewe..
Capunge modar kuwi...
golek golek...tak golek kuwi...~

Senja telah jatuh dan keriuhan akan semakin menggemuruh menghiasi pertarungan dari hari ke hari.


( See ya in the next note...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar