Minggu, 23 Februari 2014

TUMENGGUNG KAKANGMAS BENDORO LANTING



Bagian ke-sembilan

Sang Habib Juwandi Ahmadireja menatap tajam Ni Sekar Kusumadewi didepannya itu. Dia tahu bahwa perempuan paru baya itu tidak bisa dianggap remeh namun apa yang dikatakannya tentang rahasia untuk menarik keluarnya Pedang Naga Giok Langit atau Thian-Yu-Kiam-Liong itu sangat menarik perhatiannya.Diam- diam dia membahtin dalam hatinya dan memaki akan ketidak-tahuannya tentang rahasia yang sangat penting itu. Sedangkan Ni Sekar Kusumadewi tampak tak begitu peduli namun tetap bersiap sedia karna mengenal sifat lawannya yang suka bertindak seenaknya sendiri itu.

“ Hmm..ternyata puluhan tahun menyendiri di Bukit Menoreh tidak membuat dirimu kehilangan berita dalam dunia persilatan, Ni Sekar..” gumam Habib Juwandi Ahmadireja atau Sang Rubah Jenggot Putih mencoba memancing lawannya bicara tanpa harus melakukan pertarungan.

“ Hihihihihihihihi...engkau coba memancingku untuk bicara ? Aahh..ternyata selama ini engkau tak pernah berubah dewasa Habib Juwandi..” Ni Sekar tertawa dan menggelengkan kepalanya,” Kita ini sudah sama-sama tua, bukan? Seharusnya kita tak lagi memikirkan hal-hal duniawi. Tetapi engkau masih mengejar perempuan kekasihmu dulu itu dan kini mengejar sebuah pedang pula tanpa tahu rahasia dibalik kehebatan pedang itu..” ujar Ni Sekar sambil mengejek.

Wajah Sang Rubah Jenggot Putih seketika mengeras. Ejekan itu sangat mengena pada hatinya. Namun untuk gegabah dia masih bisa menahan dirinya. Sang Rubah Jenggot Putih pun terbahak untuk menutupi rasa jengahnya.

“ Hahahahahahahahaha...mulutmu masih setajam dulu, Ni Sekar..” timpal Sang Rubah Jenggot Putih menahan diri, “ Ataukah engkau mau menyimpan sendiri rahasia itu agar dapat menguasai Pedang Naga Giok Langit ?” balasnya pula.

“ Aih..aaiihh...pandai sekali engkau memutar omongan, Habib Juwandi..”geleng Ni Sekar Kusumadewi tersenyum, “ Pedang Naga Giok Langit itu bukanlah milik tanah jawa ini, melainkan milik tanah tiongkok dan disini pedang itu memiliki pewarisnya. Pedang itu hanyalah sebuah pedang namun jiwanya mati kalau tidak ada yang mampu membuka rahasianya..” ungkap Ni Sekar Kusumadewi kemudian.

Wajah Habib Juwandi Ahmadireja atau Sang Rubah Jenggot Putih sedikit berubah dan pikirannya coba menangkap maksud Ni Sekar Kusumadewi.

“ Aku tahu soal pedang itu, Ni Sekar. Pedang itu memang bukanlah milik tanah jawa ini. Hanya apa yang engkau maksud dengan rahasia pedang itu ? Pedang itu merupakan kunci untuk membuka sebuah misteri yang ada ditanah tiongkok yang dibawa oleh utusan kaisar dan terdampar ditanah jawa ini..” Habib Juwandi coba menjelaskan apa yang diketahuinya.

Ni Sekar Kusumadewi tergelak dan tak bisa menahan rasa gelinya. Diam-diam dia merasa kasihan karna keserakahan manusia malah membutakan hati. Kepalanya mengeleng dan tersenyum kecut sambil menatap Habib Juwandi .

“ Pernahkah engkau mendengar rahasia Cemeti Lengkingan Naga ? Rahasia itu dimiliki oleh murid dari pengawal utama Wang Jing Hong yang merupakan tangan kanan Laksamana Chengde, sang utusan kaisar .Rahasia tersebut adalah cara membuat Cemeti Lengkingan Naga, yang nantinya akan menjadi penakluk keganasan Pedang Naga Giok Langit . Selain mereka berdua maka tidak ada lagi yang mampu membuat pusaka untuk menaklukkan keganasan pedang itu . Pernahkah engkau mendengar kalau kedua pengawal utama itu mungkin memiliki seorang murid yang menerima semua ilmu mereka dan sebagai pewaris pusaka Cemeti Lengkingan Naga yang nantinya akan menguasai Pedang Naga Giok Langit ? Hanya dia yang berjodoh saja yang bisa menguasai pedang itu , bukan karna ambisi atau kepandaian silat..” tukas Ni Sekar kemudian dengan sedikit gemas.

Habib Juwandi Ahmadireja atau Sang Rubah Jenggot Putih melongo mendengar penjelasan itu. Diam-diam dia memaki kebodohannya. 

“ Apa maksudmu yang sebenarnya Ni Sekar ? Katakan saja dan jangan terus berputar-putar seperti gangsing..” tanya Habib Juwandi sambil menggerutu.

Ni Sekar Kusumadewi tersenyum melihat kebingungan Habib Juwandi yang punya nama besar di pesisir laut selatan namun tidak memiliki pengetahuan apa yang sedang diburunya. Namun dia juga memakluminya karna lawannya lebih suka mengurusi hal-hal yang bersifat pribadi dan baru kali ini dia memburu sesuatu yang masih gelap baginya. Diam-diam Ni Sekar Kusumadewi berharap agar prahara Pedang Naga Giok Langit atau yang disebut juga Thian-Yu-Kim-Liong tidak terulang kembali. Ngeri dia membayangkan akan adanya pertumpahan darah dan perselisihan antar para pendekar maupun para bajingan memperebutkan pedang itu. Ni Sekar Kusumadewi menghela napasnya, mungkin ini sudah takdir, keluh hatinya diam-diam. Rasa khawatirnya memuncak bila saja dunia persilatan semakin keruh dengan perebutan Pedang Naga Giok Langit dan juga persoalan kerajaan yang penuh dengan intrik-intrik penghianatan .

Sementara itu murid tunggalnya Kirara Kariri mendengarkan semua pembicaraan itu dengan seksama. Demikian juga halnya dengan kedua murid Sang Rubah Jenggot Putih yaitu si Kucing Bengal Ni Prilli Aduswae dan si Kucing Garong Kiwilcemong atau Willy Wijaya yang tampak masih belum pulih sepenuhnya dari pengaruh bius bubuk penyekat sukma milik Kirara Kariri. Pembicaraan antara kedua orang tua itu sangat menarik perhatian mereka dan timbul sebersit keinginan untuk memiliki Pedang Naga Giok Langit yang menghebohkan itu.

“ Pedang Naga Giok Langit hanya akan bisa keluar bila engkau memiliki Cemeti Lengkingan Naga. Sudah jelaskah engkau Habib Juwandi ?” jawab Ni Sekar Kusumadewi dengan nada sedikit ketus dan menatap tajam.

“ Benarkah itu Ni Sekar ? Engkau tidak sedang mempermainkan aku, bukan ?” Habib Juwandi mengaruk-garuk kepalanya semakin bingung dengan penjelasan itu. Tak pernah disangkanya misteri tentang pedang itu begitu rumit.

“ Sejak kapan aku punya kebiasaan itu Habib Juwandi ?” jawab Ni Sekar Kusumadewi terdengar ketus, “ Sampai saat ini tak ada yang bisa menandingi kepandaian kedua pengawal utama tersebut. Mungkin juga mereka telah melatih murid yang akan menjadi pewaris Cemeti Lengkingan Naga dan Pedang Naga Giok Langit. Kuragukan kalau engkau bisa menandinginya..” ejeknya kemudian.

Habib Juwandi Ahmadireja melengos dengan wajah memerah. Emosinya sedikit memuncak dengan ejekan itu. Namun dia memerlukan penjelasan dari perempuan sakti didepannya itu.

“ Engkau selalu meremehkan aku, Ni Sekar..” gerutunya kesal, “ Aku tak yakin kalau engkau tak juga mengincar pedang itu..” lontarnya sembarangan.

“ Hahahahaha...dirimu selalu melakukan ini, Habib Juwandi. Pantas saja otakmu selalu kosong dan hanya terisi prasangka buruk terhadap orang lain..” sambut Ni Sekar tanpa takut, “ Kalau aku berniat mengincar pedang itu, apakah masih menunggu saat engkau memburunya ? Aku sendiri belum pernah bertemu dengan pewaris pedang itu dan mungkin sekarang sudah ada muridnya pula yang akan menjaga pedang itu dari kejaran orang-orang yang serakah. Untuk menghadapi seorang dari Cui-Beng-Nio-Cu ( Wanita Iblis Pencabut Nyawa ) Cheng Yue Lin atau Ang-I-Nio-Cu ( Dewi Selendang Merah ) Cheng Yin Fei, engkau atau aku takkan mampu bertahan dalam lima jurus saja. Sekarang mengertikah engkau, Habib Juwandi ? “ jelas Ni Sekar Kusumadewi dengan tenangnya.

Kali ini Habib Juwandi Ahmadireja atau Sang Rubah Jenggot Putih benar-benar melongo dan tampak seperti orang yang kehilangan semangat karna disambar petir disiang bolong. Pening kepalanya mendengar penjelasan itu dan angannya sedikit membuyar untuk mendapatkan pedang itu. Namun Habib Juwandi enggan mengaku kalah apalagi dengan seorang perempuan seperti Ni Sekar Kusumadewi yang tingkat kepandaiannya tidaklah berada diatasnya.

Melihat hal itu, Ni Sekar Kusumadewi tersenyum dalam hatinya. Dia sengaja menyebut nama-nama itu supaya lawannya berpikir seribu kali untuk bertindak gegabah dalam melakukan sesuatu. Apa yang dikatakannya menenai kepandaian siaat sang pewaris itu bukanlah sebuah omong kosong. 

“ Sekarang, apa yang hendak engkau katakan lagi Habib Juwandi ?” tanya Ni Sekar Kusumadewi dengan nada kemenangan.

“ Aku tidak tahu akan kebenaran ini, Ni Sekar. Aku akan menyelidikinya dan aku yakin akan menemukan jalan untuk menguasai pedang itu baik dengan Cemeti Lengkingan Naga seperti yang engkau katakan itu atau tidak..” elak Habib Juwandi yang merasa yakin dengan pengejarannya terhadap kepala desa Tambakboyo yang diketahuinya bersama pedang itu ketika terjadi pengejaran di pesisir pantai selatan waktu itu.

“ Lakukanlah itu, Habib juwandi dan engkau akan menemukan kebenaran atas kata-kataku tadi. Mungkin pada saat itu engkau akan menyadari betapa usia tua mulai menggerogoti ilmu kepandaianmu..” sambung Ni Sekar dengan dingin.

“ Huahahahahaha...engkau memang terkenal pandai bermain kata-kata, Ni Sekar. Kurasa tak seorangpun akan mampu mengalahkanmu dalam hal ini...” gelaknya sambil berusaha menghilangkan rasa malunya atas ketidak-tahuannya tentang rahasia yang menyelimuti Pedang Naga Giok Langit yang diinginkannya itu.

“ Terserah apa maumu, Habib Juwandi. Aku tidak ingin mencampuri urusanmu tentang pedang itu..” jawab Ni Sekar tersenyum.

Sejenak Habib Juwandi terdiam. Coba meresapi omongan Ni Sekar Kusumadewi tadi dan diam-diam dia harus mengakui akan adanya kebenaran disana. Akhirnya sifat keras yang selalu menjadi miliknya itu sedikit melemah.

“ Baiklah, Ni Sekar..” angguknya kemudian, “ Baiknya pertemuan ini kita akhiri sampai disini..” lanjutnya pula.

“ Mari muridku, kita pergi dari sini dan terima kasih telah memperlakukan kedua muridku dengan baik Ni Sekar..” ujarnya sedikit membungkuk.

“ Silahkan Habib Juwandi..” jawab Ni Sekar Kusumadewi tersenyum lagi.

Kedua murid Sang Rubah Jenggot Putih melangkah sambil bergandengan karna si Kiwilcemong masih sedikit lemah. Ni Prili Aduswae mengangguk kepada Ni Sekar yang telah menolongnya tadi.

“ Terima kasih, bibi atas bantuannya tadi..” ucapnya lirih.

“ Baik..baik..ingatlah akan kata-kataku tadi..” angguk Ni Sekar pelan .

Ketiganya segera melangkah pergi meninggalkan bukit itu melalui jalan setapak dan menghilang disebuah tikungan. Ni Sekar Kusumadewi menatap kepergian Sang Rubah Jenggot Putih dan merasa lega bahwa hari ini tidak ada yang memaksanya untuk bertarung. Kirara Kariri mendekati sang guru dan menatap wajah Ni Sekar Kusumadewi dengan berbagai pertanyaan yang menggumpal.

“ Jangan pernah terpikir olehmu untuk ikut memperebutkan pedang itu, muridku..” gumam Ni Sekar seperti tahu apa yang dipikirkan oleh muridnya itu.

“ Engkau takkan pernah tahu bagaimana rumitnya persoalan yang timbul bila engkau nekad ikut terjun memperebutkan pedang tersebut. Kepandaianmu masih sangat lemah. Guru sendiri tidak akan pernah mau ikut terlibat. Selain punya kesaktian hebat, kedua pengawal sakti itu juga tidak diketahui dimana mereka tinggal. Hanya orang yang bosan hidup saja bila ingin bentrok dengannya. Kesaktiannya amatlah hebat dan mungkin mereka telah mempersiapkan seorang murid untuk menjaga kedua pusaka itu dari jangkauan orang-orang serakah..” jelasnya sambil terus menatap dikejauhan seakan ada yang mengusik pikirannya.

“ Guru pernah bertemu dengan murid mereka ini ?” tanya Kirara Kariri memberani kan dirinya .

Ni Sekar Kusumadewi tidak langsung menjawab, hanya terdengar suara tawa lembut mengisi senja yang mulai jatuh. 

“ Sudah lama sekali semuanya berlalu, muridku. Aku mengenalnya sebagai Cheng Yi Lin secara kebetulan dan waktu itu dia sedang mengembara mencari bibi gurunya. Dia sendiri adalah murid dari adik sang bibi gurunya. Aku sangat menyayanginya bagaikan adik karna dia lebih muda beberapa tahun dibawahku. Bahkan kami seperti saudara kandung dan kami banyak menghabiskan malam-malam kami diatas wuwungan rumah kalau bibi gurunya sedang meditasi. Waktu itu dia hanya sedang ditempa oleh bibi gurunya dengan ilmu Pedang Naga Giok Langit tetapi dia sudah memiliki Cemeti Lengkingan Naga yang dibuatkan oleh gurunya dan disempurnakan oleh bibi gurunya yang merupakan kakak dari gurunya sendiri. Kepandaiannya sangatlah hebat dan aku sendiri bukanlah tandingannya. Hanya saja ketika dia selesai belajar dari bibi gurunya, dia kemudian pergi untuk menuntut balas atas kematian keluarganya. Setelah itu dia tidak ada lagi kabarnya dan aku tidak mendengar lagi pembicaraan tentang Pedang Naga Giok Langit yang lenyap begitu saja sejak terjadinya perompakan dipesisir laut selatan itu. Peristiwa perompakan itu sendiri terjadi belasan tahun yang lalu. Pedang itu memiliki jodohnya sendiri karna itu merupakan pedang warisan dari tanah tiongkok. Hanya orang yang memiliki jodoh dan kepandaian hebat saja yang bisa menguasai pedang yang amat sakti itu..” jelas Ni Sekar Kusumadewi sambil menatap kepada murid tunggalnya itu. Kirara Kariri tampak mendengarkan dengan takjub.

“ Jadi...mungkinkah setelah pedang itu ditangannya, dia terus menghilang guru ?” tanya Kirara Kariri dengan rasa penasaran mendalam.

“ Ya, guru tidak tahu Kirara, karna selama ini pedang itu belum pernah muncul didunia persilatan. Mungkin juga Cheng Yi Lin ini memang disiapkan untuk menjaga Pedang Naga Giok Langit, guru juga tidak tahu. Mungkin ada penyesalan setelah dendamnya terbalas. Kadang Cheng Yi Lin bisa bersikap amat kejam terhadap musuh-musuhnya. Kasihan dia karna semua yang menyayanginya telah pergi dengan berbagai alasan. Mungkin juga dia telah kembali kemakam gurunya di daerah hutan larangan di gunung merapi sana. Tetapi hutan itu sangatlah angker dan tidak ada yang berani sembarangan memasukinya. Atau mungkin juga dia kembali mengantarkan abu kedua gurunya itu ke tanah leluhur mereka karna kedua guru itu sudah dianggapnya sebagai ibu..” jawab Ni Sekar Kusumadewi menahan rasa rindu kepada sosok Cheng Yi Lin yang pernah dikenalnya semasa masih muda itu.

“ Kenapa dia tidak tinggal bersama guru saja ?” tanya Kirara Kariri lagi.

“ Dia punya alasan sendiri, muridku. Pada dasarnya Cheng Yi Lin tak mau bikin repot siapapun. Dia terbiasa hidup sendiri..” hela Ni Sekar tersedak.

Kedua murid dan guru itu tidak bicara lagi. Masing-masing sibuk dengan pikiran yang mengusik benak mereka. Kemudian keduanya melangkah pergi meninggalkan tempat itu menuju ke kediaman Ni Sekar Kusumadewi di bukit menoreh yang letaknya tak begitu jauh dari pondok yang dibangun Kirara Kariri untuk bersenang-senang itu.

Kita tinggalkan sejenak Ni Sekar Kusumadewi dan murid tunggalnya, Kirara Kariri yang sedang berjalan kembali ke bukit Menoreh.

Kita menuju ke Padepokan Nyi Gaharu Cindhe yang terletak di dekat Air Terjun Tujuh Bidadari yang memiliki terjunan air sebanyak tiga susun dengan tiga kolam air dibawahnya. Ketiga susunan tersebut membentuk tujuh buah air terjun. Ketinggian total air terjun ini sekitar 10 meter dengan airnya jernih, segar, dan udaranya sejuk. Air terjun yang terletak di sebelah barat desa Bandungan ini masih alami, dikelilingi pohon dengan pemandangan terasering persawahan. Air terjun tiga susun ini masing-masing memiliki ketinggian sekitar 3 meter yang nantinya mengalir jatuh ke sela-sela batu pertemuan Kali Banteng dan Beringin di lereng Gunung Ungaran.

Konon, sejumlah bidadari pernah mampir untuk mandi di air terjun tersebut sehingga dinamakan Air Terjun Tujuh Bidadari. Juga di sekitar wilayah air terjun terdapat Makam Kyai Mandhung, seorang pengikut setia Pangeran Diponegoro yang dianggap sesepuh ( leluhur yang di-tua-kan ) di desa tersebut. Di tepi air terjun terdapat sebuah sumur tua dengan kedalaman 1,5 meter dengan sumber air yang tidak pernah habis, dan dipercaya berkhasiat serta dapat menyebabkan seseorang menjadi awet muda, cepat memperoleh jodoh, rezeki, jabatan, pangkat dan sebagainya. 

Nyi Gaharu Cindhe sendiri memilih tinggal di Dusun Keseneng dimana air terjun tujuh bidadari ini berada untuk menghilangkan kejenuhannya dan hidup damai bersama kedua muridnya yaitu Gebe dan Cheung Yang Fan atau yang biasa dipanggil dengan nama Fanny. Nyi Gaharu Cindhe sendiri sangat rindu dan khawatir karna kedua muridnya itu telah pergi dari padepokan dan kini memasuki hari kedua. Kekhawatirannya agak memuncak karna keduanya adalah perempuan muda dan cantik, yang tentu banyak yang ingin menggoda maupun mengusiknya. Diam- diam dia berusaha mengirimkan orang untuk mencari dan menelusuri kedua muridnya yang pamit hendak mengunjungi kota Limbarawa. Namun sayang tidak ada kabar apapun yang bisa menenangkan hatinya.

Nyi Gaharu Cindhe nyaris memutuskan akan pergi mencari kedua muridnya itu sendiri ketika senja mulai datang . Dia takut terjadi apa-apa terhadap mereka dan tak ingin kejadian dahulu kembali terulang. Namun keinginan itu harus dibatalkannya karna kedua muridnya telah kembali. Nyi Gaharu Cindhe amat senang dan sedikit melupakan rasa khawatir yang sempat menderanya.

“ Salam hormat guru..” kedua muridnya memberi salam nyaris berbarengan dan memeluk sang guru dengan rasa rindu.

“ Duuh..kalian ini membuat hatiku khawatir..” gerutu Nyi Gaharu Cindhe sambil berusaha memasang muka masam namun tak berhasil, “ Apa yang kalian lakukan diluar sana, murid-muridku ?” tanyanya kemudian.

Si kemben hitam dengan lurik merah menyala yang dipanggil dengan nama Fanny atau Cheung Yang Fan memegang lengan gurunya dengan manja.

“ Duduklah dulu, guru..” katanya tersenyum sambil menggamit gurunya untuk duduk diatas ambin diruang depan pondok mereka, “ Akan kami ceritakan semua yang kami alami selama dua hari ini..” lanjutnya pelan.

“ Iya, guru. Tenang saja, kami tidak kekurangan apa-apa. Kami selalu waspada seperti pesan guru..” sambung si kemben kuning lurik merah yang cantik dan dipanggil Gebe itu turut menggamit lengan Nyi Gaharu Cindhe. Keduanya sangat menyayangi gurunya itu.

Nyi Gaharu Cindhe tersenyum dan harus mengakui rasa sayangnya yang tak terhingga kepada kedua muridnya itu. Itulah sebabnya dia selalu khawatir membiarkan mereka melakukan perjalanan keluar dari daerah itu, sebab dunia persilatan tak bisa ditebak baik dan buruknya.

Cheung Yang Fan atau Fanny dan Gebe saling bergantian menceritakan pengalaman mereka selama dua hari itu. Nyi Gaharu Cindhe mendengarkan semua cerita itu sambil kadang-kadang mengernyitkan keningnya dan kadang pula menyelak. Namun kedua muridnya selalu bisa meredam segala gerutunya.

“ Aaiiihh..rupanya dunia persilatan akan kembali geger dengan berita Pedang Naga Giok Langit ini. Thian-Yu-Kiam-Liong hanya bisa dimiliki oleh orang yang tepat dan memiliki jodoh...” gumam Nyi Gaharu Cindhe sambil menarik napas.

“ Seperti apakah hebatnya Pedang Naga Giok Langit ini, guru ?” tanya Fanny sambil menatap lekat kepada gurunya itu.

“ Iya guru...selama ini kami tidak tahu kehebatan pdang itu seperti apa. Kini malah mulai ramai diluar sana..” angguk Gebe sambil merayu sang guru.

“ Kalian ini jangan anggap remeh Pedang Naga Giok Langit..” tegur Nyi Gaharu Cindhe lembut, “ Dulu pernah muncul sekali dan banyak terjadi pertumpahan darah ketika para pendekar memperebutkannya. Kini telah muncul kembali setelah puluhan tahun menghilang. Agaknya kali ini akan memakan korban yang lebih banyak lagi. Kalau orang seperti Sang Rubah Jenggot Putih telah muncul untuk mengejar pedang itu, berarti akan lebih banyak lagi pesilat-pesilat tangguh bermunculan . Itu berarti Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting akan terlibat. Kalian jangan pernah berniat untuk ikut serta, karna kekejaman ini sulit untuk dihadapi..” jelas Nyi Gaharu Cindhe dengan rasa khawatir.

“ Siapa yang kini memegang pedang itu guru ?’ kejar Gebe penasaran dan Fanny tampak menunggu dengan tidak sabar gurunya menceritakan hal itu.

“ Entahlah, dari cerita yang kudengar bahwa pedang itu dulunya dipegang oleh tangan kanan Laksamana Chengde yaitu Wang Jing Hong yang selalu dikawal oleh dua bersaudara yang menjadi pengawal utamanya. Kedua pendekar yang menjadi pengawal utama Wang Jing Hong itu adalah Cui-Beng-Nio-Cu ( Wanita Iblis Pencabut Nyawa ) Cheng Yue Lin dan Ang-I-Nio-Cu ( Dewi Selendang Merah ) Cheng Yin Fei . Namun setelah peristiwa karamnya kapal yang ditumpangi oleh panglima Tekwan Ciangkuntul yang ditugaskan menjaga pedang itu dipesisir laut selatan lalu diserang oleh perompak Sang Rubah Jenggot Putih, pedang itu kemudian menghilang. Entah siapa yang kini membawa pedang itu dan menyembunyikannya. Kini Sang Rubah Jenggot Putih telah memburu pedang itu, berarti dia tahu siapa pemegang pedang itu sewaktu terjadinya perompakan. Hanya saja cerita ini simpang siur dan sulit untuk dibuktikan. Pedang Naga Giok Langit hanya bisa ditundukkan dengan sebuah pusaka yaitu Cemeti Lengkingan Naga yang terbuat dari tujuh belas urat harimau dan dipilin dengan delapan belas benang emas yang direndam dalam obat ramuan dari negeri tiongkok. Guru tidak tahu siapa pemegang pusaka Cemeti Lengkingan Naga ini. Hanya saja guru pernah mendengar cerita kalau pusaka itu hanya bisa dibuat oleh kedua pengawal utama Wang Jing Hong tersebut. Kalau tidak salah, keduanya memiliki satu murid perempuan yaitu Cheng Yi Lin yang menguasai kesaktian kedua pengawal tersebut. Mungkin hanya Cheng Yi Lin inilah yang bisa menguasai Pedang Naga Giok Langit bila dia memiliki Cemeti Lengkingan Naga..” Nyi Gaharu Cindhe menjelaskan panjang lebar mengenai sejarah pedang tersebut . Benaknya sendiri coba merangkai potongan-potongan cerita yang pernah didengarnya dalam dunia persilatan tentang sengketa pedang sakti itu. 

Kedua muridnya mendengarkan cerita itu dengan seksama dan berkali-kali menahan napas. Ada yang menggelitik pikiran mereka tentang pedang itu dan siapa yang bisa menaklukkan pedang itu. Keduanya meyadari bahwa ilmu kepandaian mereka belumlah cukup untuk terjun dalam memperebutkan pedang itu dengan menghadapi para pesilat tangguh yang akan bermunculan nanti.

“ Oh, ya..tadi engkau mengatakan bertemu dengan orang yang memiliki ilmu magis dalam pengintaianmu didesa itu ? Bagaimanakah rupanya ?” tiba-tiba Nyi Gaharu Cindhe mengingatkan Gebe akan pengalamannya itu.

“ Iya, guru. Kalau dilihat dari wajahnya tidaklah terlalu tua, mungkin sekitar tiga puluhan, guru dan wajahnya cukup tampan. Tapi auranya mengerikan sekali, guru. Aku ingat guru pernah menceritakan tentang ilmu kanuragan Ki Neropong Pandiangan dan ditanah jawa ini hanya seorang yang menguasainya yaitu Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting yang menjadi Adipati Limbarawa ini..” jawab Gebe sembari merapat kepada gurunya, ada rasa merinding menguasainya.

“ Betul, muridku. Hanya sang adipati saja yang menguasai ilmu itu ditanah jawa ini...” Nyi Gaharu Cindhe mengangguk, “ Mungkin saja orang itu adalah sang adipati sendiri. Tetapi apakah dia juga menguasai ajian Petaka Seribu Wajah yang bisa menjadi siapapun yang diinginkannya tanpa diketahui oleh orang lain wajah aslinya ?” Nyi Gaharu Cindhe agak tercenung.

Kedua muridnya, Cheung Yang Fan atau Fanny dan Gebe tampak ikut terdiam dan menanti apa yang ingin disampaikan gurunya kepada mereka. Sejenak mereka terdiam dan sementara itu hujan mulai membasahi kediaman mereka.

“ Kalaupun sang adipati menguasai ilmu ini, untuk apakah dia melakukannya ? Apakah ada hubungannya dengan pedang itu ataukah menyangkut hal lainnya ?” gumam Nyi Gaharu Cindhe mengerutkan dahinya , “ Kenapa dia datang ke desa Tambakboyo sendirian ? Aneh..” lanjutnya tak mengerti.

Kembali Gebe dan Cheung Yang Fan memandang tak mengerti akan perkataan gurunya atau apa yang dimaksudkan oleh Nyi Gaharu Cindhe tersebut.

“ Entah, muridku..” gelengnya kemudian, “ Baiknya besok kita mengunjungi bukit Menoreh untuk mengunjungi Ni Sekar Kusumadewi. Beliau banyak mengetahui berbagai hal dalam dunia persilatan. Kalian boleh memanggilnya bibi..” ucap Nyi Gaharu Cindhe ingin tahu murid-muridnya sedang menghadapi siapa.

“ Nyi Lampir Bukit Menoreh ? Bukankah dia memiliki seorang murid perempuan yang bernama Kirara Kariri yang genit itu ?” sembur Gebe merasa sedikit sebal ketika menyebut nama murid Nyi Lampir Bukit Menoreh tersebut.

“ Kak Gebe pernah bertemu dengannya ?” tanya Cheung Yang Fan pelan.

“ Pernah sekali waktu aku sedang menunggu guru di pasar kadipaten dulu. Dia sedang merayu seorang pemuda tanpa rasa malu..” ungkap Gebe cemberut.

“ Sebenarnya dia anak baik, muridku. Hanya saja dia merasa kesepian karna Ni Sekar Kusumadewi sering menyepi untuk meditasi. Guru tidak mau kalian sampai bentrok dengannya. Ni Sekar sendiri seorang dengan kesaktian hebat dan masih keturunan raja Kediri. Kalian harus sopan kepadanya..” tegur Nyi Gaharu Cindhe ketika merasakan emosi yang menggumpal dalam pikiran muridnya yang bernama Gebe itu.

“ Baik, guru..” angguk Cheung Yang Fan segera dan sang guru tersenyum melihat kepatuhan murid bungsunya itu. 

“ Baik, guru..” sambung Gebe tak ingin mengecewakan sang guru karna dia sangat menyayanginya dan hanya gurunyalah yang menjadi pengganti orang tuanya sejak kecil itu.

“ Sekarang kalian pergilah membersihkan diri. Nanti kita akan makan malam bersama..” ucap Nyi Gaharu Cindhe sambil mengusap lembut kepala kedua muridnya itu dengan penuh kasih sayang.

Tanpa banyak membantah lagi, keduanya segera pergi memasuki pondok mereka untuk membersihkan diri. Tinggallah Nyi Gaharu Cindhe meneruskan perang yang ada dalam benaknya setelah mendengar semua cerita dari murid-muridnya. Hujan turun semakin deras dan kabutpun mulai mengaburkan pandangan.Udara dingin menyengat kulit namun Nyi Gaharu Cindhe seperti tidak merasakannya.

Tiba-tiba Nyi Gaharu Cindhe berdiri dan kedua tangannya berputar membentuk lingkaran terarah kepada curahan hujan yang sedang membasahi pekarangan pondok itu. Begitu hebatnya tenaga dalam Nyi Gaharu Cindhe sehingga putaran kedua tangannya itu membentuk sebuah lubang yang menahan curahan hujan. Semakin lama ruang yang terbentuk oleh putaran kedua tangan Nyi Gaharu Cindhe itu, semakin besar dan semakin menjauh. Itulah ilmu tingkat tertinggi yang kini mendekati kesempurnaan setelah dilatih puluhan tahun. Ilmu itu dinamakan ilmu Tapak Sakti Budha Seribu Wajah. Ilmu itu dipelajarinya dari seorang biksu budha perantauan yang pernah ditemuinya di tanah Pasundan, yaitu desa Kandang Haur yang banyak ditinggali oleh para pendatang dari negeri tiongkok. Sampai saat ini, Nyi Gaharu Cindhe tidak pernah mengetahui nama sang biksu, begitu pula sang biksu tak pernah mau mengatakan siapa namanya. Yang diketahuinya bahwa sang biksu berasal dari daerah Hunan di tiongkok sana. Dari sang biksu inilah Nyi Gaharu Cindhe mempelajari jurus Tapak Sakti Budha Seribu Wajah yang dahsyat. Sang biksu itu pula yang mengajarinya untuk mengendalikan emosi yang melanda hati dan pikirannya setelah kepergiannya dari ibukota kerajaan Majapahit . Setelah tinggal bersama sang biksu selama dua tahun, barulah Nyi Gaharu Cindhe bisa melepaskan segala beban hati dan pikiran yang menguasai dirinya. Nyi Gaharu Cindhe telah lahir kembali berkat bimbingan sang biksu.

Nyi Gaharu Cindhe terus mengerahkan tenaga dalamnya dengan ilmu Tapak Sakti Budha Seribu Wajah itu sebelum mengakhirinya dengan hebat. Kedua tangannya berhenti berputar dan ditarik sambil bersedekap didepan dadanya lalu kedua tangan itu dihentakkannya memukul kedepan. Himpunan tenaga dalam itu seperti terlontar kedepan dan mendorong putaran yang membentuk lingkaran tersebut. Putaran itu mengecip sebelum hilang dan tiba-tiba himpitan tersebut menghasilkan sebuah ledakan dan ribuan titik air hujan itu menyebar kemana-mana dengan mengeluarkan suara berdesing. Ribuan titik air hujan itu merancah bagaikan ribuan jarum yang ditebarkan, sehingga apa saja yang terkena menimbulkan lubang-lubang kecil disana. Tak tampak kelelahan dari wajah Nyi Gaharu Cindhe dan raut wajahnya sangat puas. Jurus Tapak Budha Sakti Menghempas Gunung itu telah mencapai puncaknya dan itu adalah jurus kedua belas dari ilmu Tapak Sakti Seribu Budha yang hanya empat belas jurus saja.

Sedangkan dua jurus penutup dari ilmu Tapak Sakti Seribu Budha itu kini hanya membutuhkan penyempurnaan dari kekuatan tenaga dalamnya saja. Untuk hal ini Nyi Gaharu Cindhe harus bermeditasi dan mengumpulkan kekuatan tenaga dalamnya pada saat bulan purnama penuh. Tenaga dalam inti bulan mengandung hawa dingin dan itu menjadi keharusan agar kedua jurus penutup itu mencapai puncaknya. Jurus ketiga belas adalah Tapak Budha Sakti Menampar Bumi dan jurus keempat belas adalah Tapak Budha Sakti Mendirikan Tiang Langit. Keduanya saling berkaitan dan untuk menyatukannya Nyi Gaharu Cindhe telah diingatkan agar menghimpun inti tenaga dalam dingin yang berasal dari sinar bulan purnama penuh . Kini tinggal 7 hari lagi bulan purnama ke 39 akan bersinar penuh dan Nyi Gaharu Cindhe sangat menantikannya. Karna pada saat itulah dia akan mencapai kesempurnaan dari ilmu Tapak Sakti Budha Seribu Wajah yang telah dipelajarinya puluhan tahun. Bukan hanya itu saja , melainkan rahasia yang tak pernah diungkapkannya kepada siapapun termasuk kedua muridnya. Dengan rasa sayangnya, Nyi Gaharu Cindhe juga telah mempersiapkan kedua muridnya sejak masih kecil untuk memahami dan mengajari mereka dengan ilmu Tapak Sakti Budha Seribu Wajah. Kedua muridnya juga diharuskan untuk ikut bermeditasi saat bulan purnama bersinar penuh agar bisa menyerap inti tenaga dalam bulan yang bersifat dingin itu. Sehingga kedua muridnya akan siap mempelajari jurus-jurus sakti tersebut tanpa harus menghimpun tenaga dalam lagi. Ilmu itu memang rumit karna sang pendeta mempelajarinya tanpa memiliki emosi atau keinginan sejak kecil dimana dia hidup dan berkembang dalam sebuah kuil. Sedangkan Nyi Gaharu Cindhe sendiri mempelajari ilmu itu setelah emosinya mengalami peperangan dan masih diliputi oleh keinginan-keinginan duniawi. Itulah sebabnya Nyi Gaharu butuh puluhan tahun untuk mendapatkan bulan purnama yang betul-betul sempurna untuk menghimpun inti tenaga dalam dingin tersebut. Sedangkan dari kedua muridnya, hanya Cheung Yang Fan yang tampak begitu alami dalam meyerap ajaran atas ilmu itu. Sehingga tenaga dalam milik Cheung Yang Fan melampaui kekuatan tenaga dalam Gebe. Namun Gebe memiliki kemampuan hebat diluar semua itu, yakni kemampuannya dalam mempelajari ilmu yang bersifat magis. Kadangkala tanpa disadarinya, Gebe bisa menyuruh siapapun untuk melakukan keinginannya tanpa harus bicara. Bahkan Gebe bisa mempengaruhi binatang-binatang liar untuk melakukan kehendaknya. Hanya saja untuk mengalahkan tokoh-tokoh dunia persilatan, Gebe masih memerlukan bantuan gurunya untuk menyempurnakan ilmu tersebut.

Nyi Gaharu Cindhe melepaskan pandangannya menikmati tirai hujan yang turun dengan derasnya itu. Keremangan senja yang mulai jatuh membuat udara semakin dingin. Pondok kediaman mereka memang jauh dari para penduduk lainnya karna ketenangan sangatlah penting bagI Nyi Gaharu Cindhe dan tak seorangpun berani mengusiknya dikampung itu. Apalagi disekitar tempat itu banyak ditumbuhi oleh pohon-pohon besar sehingga agak tertutup dari lingkungan sekitarnya. Dan disamping pondok itu terdapat kebun dimana Nyi Gaharu Cindhe yang dibantu oleh beberapa pelayan sering menanam sayur mayur untuk keperluan mereka sehari-hari. Mereka juga beternak ayam sehingga kebutuhan akan daging dan telur bisa mereka penuhi sendiri. Sedangkan dari desa kiseneng yang lebih ramai, setiap minggu ada yang mengantarkan kepada mereka berbagai keperluan lainnya. Sedangkan kekota hanya dilakukan bila keadaan memaksa atau untuk membeli keperluan kedua muridnya yang selalu ingin tampil seronok.

Malam itu mereka habiskan dengan makan bersama dan saling bertukar cerita. Para pelayan disitu sudah menjadi bagian dari keluarga sehingga mereka lebih merasa aman dan terlindungi. Pondok itu tampak luas dan ditengah-tengah bangunan itu terdapat halaman yang cukup besar untuk digunakan sebagai tempat berlatih silat kedua muridnya. Sikap kerasnya dalam melatih mereka membuat keduanya amat tekun mendalami segala bimbingan Nyi Gaharu Cindhe dalam melatih kepandaian mereka.

Seperti tanpa ada rasa bosan kedua murid Nyi Gaharu Cindhe selalu menghabiskan malam-malam mereka dengan membuat api unggun dan menikmati indahnya malam dengan hanya berdiang dan bercerita maupun membakar umbi-umbian yang banyak dihasilkan oleh kebun mereka. Terkadang Nyi Gaharu Cindhe menemani mereka dengan memberikan wejangan-wejangan agar mereka dapat menerapkannya dalam hidup dikemudian hari.

“ Guru , kita jadi besok ke Bukit Menoreh ?” tanya Gebe sambil menikmati jagung bakarnya dengan lahap, memang Gebe sangat suka makan.

“ Iya, kita akan berangkat setelah matahari terbit. Kalian harus bersiap sedia karna mungkin saja perjalanan kita lebih dari dua hari..” jawab Nyi Gaharu Cindhe pelan. Malam itu bintang-bintang entah kemana karna hujan masih turun walauun hanya gerimis. Untunglah tempat mereka berdiang itu memiliki atap dari daun-daun dan sebuah ambin kayu yang rendah sehingga mereka tidak basah oleh hujan.

“ Guru..apakah Ni Sekar Kusumadewi berteman dengan guru ?” tanya Cheung Tang Fan pelan.

“ Ya. Ni Sekar Kusumadewi itu orangnya baik dan guru memang berteman dengannya. Sudah cukup lama guru tidak bertemu dengannya. Apa yang engkau pikirkan Fanny ?” Nyi Gaharu Cindhe balik bertanya dan menatap muridnya itu.

“ Entahlah, guru. Apakah kita harus menginap disana ?” tanya Fanny lagi sembari menggelengkan kepalanya.

“ Kalau terpaksa saja. Ingat bulan purnama tinggal tujuh hari lagi dan kita tidak boleh melewatkannya..” jawab Nyi Gaharu Cindhe mengingatkan mereka.

Fanny menganggukkan kepalanya. Gebe juga ikutan mengangguk sambil menikmati jagung bakarnya. Mereka tahu setidaknya mereka bisa merayu sang guru untuk mampir dipasar dan membeli pakaian yang diinginkan. Belum pernah sang guru menolak keinginan mereka dan itu cukup menyenangkan.

“ Kalau nanti kalian bertemu dengan muridnya, bersikaplah yang baik supaya tidak timbul perselisihan dengannya. Yang guru tahu, murid Ni Sekar Kusumadewi itu bernama Kirara Kariri dan dia itu sedikit bengal. Mungkin karna kesepian sering ditinggal oleh gurunya tapa geni. Dia ini suka main-main dengan bubuk racun dan ilmunya cukup kuat..” sambung Nyi Gaharu Cindhe lagi supaya kedatangannya nanti ke Bukit Menoreh tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkannya.

“ Apakah Kirara Kariri ini ilmunya lebih hebat dari kak Gebe , guru ?” tanya Fanny lagi memuaskan rasa ingin tahunya.

Nyi Gaharu Cindhe tertawa kecil melihat rasa ingin tahu murid bungsunya itu. Memang harus diakuinya kalau Fanny atau Cheung Yang Fan ini sangat teliti dalam melakukan sesuatu dan selalu memperhitungkan segalanya.

“ Ilmu itu tiada batasnya, Fanny..” elusnya lembut, “ Semua tergantung kepada yang memiliki ilmu itu. Kalau tujuan dan hasrat menjadi patokan maka ilmu kesaktian seseorang itu bisa menjadi sebuah kekuatan besar. Tinggal bagaimana menyikapinya saja. Ingat ketenangan dan kesabaran menjadi kunci penting dalam melakukan pertarungan. Guru sendiri tidak ingin kalian terlibat dalam adu ilmu hanya untuk menyenangkan hasrat hati. Guru hanya ingin kalian menjaga diri dengan ilmu yang kuajarkan selama ini. Kalian harus mematangkan dan menyempurnakan ilmu Tapak Sakti Seribu Budha , supaya kalian punya bekal dalam menghadapi tokoh-tokoh dunia persilatan yang mungkin saja akan kalian hadapi suatu hari nanti. Kesempurnaan tidak akan bisa dicapai dengan ketergesaan melainkan hanya dengan ketekunan dan kesabaran....” jawab Nyi Gaharu Cindhe panjang lebar sambil menasehati kedua muridnya itu.

Kedua muridnya itu mendengarkan wejangan itu dengan sabar dan patuh. Tak ada yang mereka hormati dan sayangi kecuali gurunya yang sudah menjadi pengganti orang tua mereka sendiri.

“ Setelah kita kembali dari Bukit Menoreh nanti, kalian harus utamakan berlatih ilmu Tapak Sakti Seribu Budha ini untuk memperkuat keahlian kalian masing-masing. Ingat itu baik-baik..” lanjutnya kemudian.

“ Baik guru..” angguk Fanny antusias dan dia merupakan murid yang amat berbakat dengan ilmu itu.

“ Aku akan berlatih lebih giat lagi, guru..” sambung Gebe tersenyum, jagung bakarnya sudah licin tandas.

Nyi Gaharu Cindhe tersenyum dan mengangguk senang melihat kedua murid kesayangannya itu selalu patuh dan bersikap baik. Luka hatinya dimasa lalu sedikit terobati dengan kehadiran keduanya. 

Malam itu gerimis masih betah membasahi kediaman mereka dan akhirnya mereka semua masuk kepondok untuk beristirahat. Paginya sebelum matahari terbit ketiganya sudah menyiapkan diri dan berangkat menuju ke Bukit Menoreh. Bila tak ada hambatan maka menjelang matahari ditengah mereka akan tiba disana. Namun sayangnya perjalanan mereka menuju Bukit Menoreh terhenti diperbatasan Kadipaten Limbarawa yang menuju ke gunung merapi. Dipinggiran hutan itu mereka dihadang oleh beberapa orang yang mengenakan ikat kepala yang bergambar macan tutul bertaring besar dan berwarna merah kekuningan. Mereka adalah para Laskar Seara Ireng yang diam-diam menguasai daerah Limbarawa atas restu kerajaan Majapahit untuk menekan gejala pemberontakan. Namun dalam perjalanannya Laskar Segara Ireng ini juga melakukan perampokan dan pembunuhan hanya untuk sebuah kesewenangan dan kepentingan pribadi kelompok mereka yang berada disana.

Nyi Gaharu Cindhe hanya tersenyum melihat ke-lima orang itu menghadang perjalanan mereka siang itu. Sedangkan kedua muridnya, Gebe dan Cheung Yang Fan atau Fanny tampak bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Namun mereka tak pernah khawatir karna kehadiran sang guru diantara mereka.

“ Maaf. Ada apa para kisanak ini menghadang perjalanan kami ?” tanya Nyi Gaharu Cindhe bersikap sopan. Wajahnya anggun dengan kebaya panjang warna putih yang terbuat dari sutera dan kain lurik kecoklatan yang menutupi celana selutut warna merah lurik biru yang dikenakannya. Ditambah lagi dengan balutan temali kulit yang mengikat kasut kulitnya.

Para Laskar Segara Ireng itu tidak langsung menjawab. Pandangan mata mereka tampak berminyak melahap kedua perempuan muda yang amat menarik hati mereka itu. Kelima orang tersebut dipimpin oleh seorang lelaki berwajah bopeng separuh baya dan bertubuh kurus kering sehingga tulang-tulang rusuknya tampak menonjol dibalik baju hitam yang tak berkancing itu. Sedangkan yang lainnya tampak masih muda dan tak satupun dari mereka memiliki tampang yang menarik. Namun kesamaan mereka adalah ikat kepala yang bergambar macan tutul bertaring besar dan berwarna merah kekuningan, yang menandakan darimana mereka berasal. Yang membedakan mereka adalah senjata mereka sendiri. Yang seorang membawa arit besar dan penuh dengan karat. Yang seorang lagi lagi membawa sepasang keris yang tampak kebesaran dengan tubuhnya yang kecil. Lalu yang seorang lain membawa sebuah golok besar yang sudah rompal disana-sini. Lalu yang terakhir membawa sebuah rantai besi yang ujungnya dihiasi dengan sebuah bola yang berduri. Sedangkan sang pemimpinnya sendiri membawa sebuah kampak yang kelihatan amat mengerikan karna kehitaman dan mnyiarkan bau busuk.

Pandangan mata mereka semua tertuju pada Gebe yang cantik ketika mengenakan celana ketat warna merah dan serasi dengan kemben kuning dengan lurik merah menyala serta Fanny atau Cheung Yang Fan yang memakai kemben hitam dengan lurik merah menyala dan celana ketat warna kuning selutut itu. Namun yang tidak mereka ketahui adalah sabuk yang mengikat pinggang kedua perempuan muda itu adalah sebuah pedang lentur yang jarang sekali mereka gunakan. Para Laskar Segara Ireng itu melihat ketiga perempuan itu tidak membawa senjata sama sekali dan itu sangat membesarkan kepala mereka.

Nyi Gaharu Cindhe menyadari bahwa kelima orang itu mengincar kedua muridnya dan hal itu sedikit mengesalkan hatinya.

“ Maafkan kelancangan kami, ada apakah kisanak ini menghadang perjalanan kami ?” sekali lagi Nyi Gaharu Cindhe bertanya dan tetap bersikap sopan.

“ Jangan banyak tanya. Tinggalkan segala benda berharga milik kalian dan biarkan anak buahku bersenang-senang dengan kedua perempuan muda ini..” jawab sikurus bopeng dengan amat pongahnya dan disambut oleh riuh tawa mereka.

Nyi Gaharu Cindhe menatap tajam para Laskar Segara Ireng itu dan tangannya memberi isyarat kepada kedua muridnya untuk tidak bergerak sembarangan.

“ Hmm...rupanya benar selentingan yang kudengar belakangan ini, ternyata Laskar Segara Ireng menghalalkan segala cara untuk kesenangannya..” ujar Nyi Gaharu Cindhe dengan tenangnya .

“ Siapakah engkau ini berani-beraninya menyebut kami disini ?” bentak sikurus bopeng dengan lagak masih pongah, “ Siapapun yang lewat disini harus memberi upeti kepada kami dan tak usah melawan kalau masih ingin hidup..!” lanjutnya pula dengan suara serak.

“ Siapa kami ini tidaklah penting untuk kalian ketahui..” tukas Nyi Gaharu Cindhe dengan dingin, “ Kami hanya ingin meneruskan perjalanan kami dan tidak ingin mencari urusan. Jadi kuharap kalian segera menyingkir dan tidak menghalangi kami..”

Sikurus bopeng dan keempat anak buahnya tergelak menyaksikan lawan mereka coba untuk menggertak secara halus.

“ Aku tak peduli siapa kalian ini. Tinggalkan saja harta benda kalian dan kedua perempuan muda ini disini. Engkau sendiri boleh meneruskan perjalanan kalau engkau mau..” jawab sikurus bopeng slengekan sambil cengengesan.

“ Aku pilih si kemben hitam..” teriak si arit besar sambil terkekeh.

“ Aku pilih si kemben kuning..” teriak si golok rompal tertawa pula, sedangkan kedua temannya yang lain terbahak dengan celoteh keduanya.

Mendengar itu semua nyaris saja Gebe menerjang mereka namun isyarat dari sang guru menahan kemarahan yang mulai merayapi hatinya. Cheung Yang Fan sendiri terus bersiaga dengan tidak membiarkan emosi menguasainya. Nyi Gaharu Cindhe sendiri tertawa merdu dan suara itu menggetarkan para Laskar Segara Ireng itu karna berisi tenaga dalam yang hebat. Sikurus bopeng yang pertama menyadari bahwa perempuan paru baya didepannya itu bukanlah orang sembarangan namun mereka telah terbakar oleh kemolekan tubuh kedua perempuan muda tersebut dan tidak ingin melewatkan kesenangan itu.

“ Ternyata kebesaran nama Laskar Segara Ireng hanya berisi para begundal yang berpikiran kotor..” desis Nyi Gaharu Cindhe sambil melangkah kedepan.

“ Katakan siapa namamu, nenek tua..sebelum kucabut nyawamu..!” bentak sikurus bopeng sambil mencabut kapak yang kehitaman dan berbau busuk dari belakang pinggangnya.

Nyi Gaharu Cindhe terus melangkah pelan mendekati mereka dan tidak menggubris bentakan itu. Sikapnya dingin dan tak sedikitpun ada rasa takut.

“ Apa tingkatan kisanak dalam Laskar Segara Ireng ?” tanyanya pelan.

“ Aku Simenak Kontolekebo atau si Kapak Hitam, satu diantara 18 kepala cabang Laskar Segara Ireng. Pemegang perintah ke-empat belas..” sahutnya lantang sambil mengeluarkan sebuah plakat logam wesi kuning yang diikat tali dan berlambang sama dengan ikat kepala yang dikenakannya.

“ Hmm..hanya pemegang perintah ke-empat belas ? “ gumam Nyi Gaharu Cindhe terdengar menyeramkan dan tangannya mengibas deras kearah sikurus bopeng yang bernama Simenak Kontolekebo itu.

Hanya terdengar jerit kesakitan dan Simenak Kontolekebo terkesima memandang tangan kirinya yang memegang plakat tadi telah hilang tepat dipergelangan. Keruan saja dia menjerit histeris dan membuang kapak hitam itu lalu mendekap tangan kirinya yang memancurkan darah segar. Simenak Kontolekebo menggelepar tanpa merasa malu lagi melihat tangannya telah buntung dan si perempuan paruh baya yang tadi dihinanya sedang memegang tangannya yang putus.

Sedangkan keempat anak buahnya yang lain hanya melongo dan tidak bergerak untuk melakukan serangan. Muka mereka tampak pias melihat perempuan tua itu sedang mengamati lempengan plakat perintah ke-empat belas yang masih lekat dalam tangan Simenak Kontolekebo tersebut. Mereka bergidik. Mereka hanya melihat sekelebatan bayangan dan hasilnya telah meruntuhkan semangat mereka seketika itu juga. Tanpa menunggu lebih lama lagi mereka segera lari lintang pukang sambil membawa Simenak Kontolekebo yang menjerit-jerit histeris.

Sejenak tempat itu sunyi, hanya terdengar hembusan angin menderu. Gebe dan Fanny menatap kepada sang guru yang masih lekat mengamati plakat tersebut. Terdengar Nyi Gaharu Cindhe menghela napas dan membuang potongan tangan itu setelah mengambil plakat perintah itu. Kepalanya menoleh kearah kedua murid kesayangannya sambil melambai.

“ Hayuu..kita lanjutkan perjalanan ini..” katanya seperti tidak pernah terjadi apa-apa dan kedua muridnya menjajari langkah sang guru tanpa banyak bertanya. Mereka kagum dengan gerakan sang guru dan sedikit ngeri melihat tiada ampun dalam sikap gurunya itu.

“ Simpanlah ini, Gebe. Mungkin suatu hari nanti kita akan memerlukannya..” ucapnya sambil menyerahkan plakat itu kepada Genditabekaosoblong atau biasa dipanggil Gebe itu.

“ Baik guru..” angguk Gebe sembari menerima dan menyelipkan plakat itu dalam kantong kecil yang tergantung diikat pinggangnya.

Mereka meneruskan perjalanan itu dan melangkah lebih cepat agar dapat tiba sebelum matahari mulai menurun. Tak lama kemudian mereka telah menyusuri jalan menanjak menuju ke Bukit Menoreh yang berada tak jauh dari lereng gunung Merapi. Kali ini mereka tidak lagi berjalan cepat melainkan berlari mendaki dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh. 

“ Aha...selamat datang digubukku ini , sahabatku Nyi Gaharu Cindhe..” tiba- tiba terdegar selintasan suara lembut menyisiri hembusan angin.

“ Aaiih..aaiiih...rupanya engkau telah mencium kedatanganku , Ni Sekar Kusumadewi..” jawab Nyi Gaharu Cindhe tersenyum, “ Semoga kedatangan kami tidak mengusik ketenanganmu..” lanjut Nyi Gaharu Cindhe diam-diam mengagumi kesakian sahabatnya itu. Ternyata Ni Sekar Kusumadewi telah mengetahui kedatangannya padahal jarak mereka masih jauh dan pondok itu sama sekali belumlah kelihatan.

“ Aha..ternyata mimpiku semalam benar adanya. Ternyata engkau yang datang mengunjungiku. Mari..marilah lebih cepat karna aku rindu denganmu..” jawab suara itu lembut namun mengalahkan suara deru angin .

Nyi Gaharu Cindhe tersenyum dan mempercepat langkahnya. Demikian juga dengan kedua muridnya yang saling berpandangan dan diam-diam merasa sedikit ngeri melihat demonstrasi tenaga dalam itu. Namun mereka tidak lagi sempat berleha- leha karna harus mengejar langkah sang guru yang berlari semakin cepat.

“ Ah, ternyata kedua muridmu itu sangatlah berbakat dan kulihat kepandaian mereka sudah sangat bagus..” terdengar lagi suara lembut Ni Sekar Kusumadewi menelusuri angin.

“ Terima kasih, sahabatku..mereka masih harus banyak belajar lagi. Mungkin engkau berkenan untuk menuntun mereka..” jawab Nyi Gaharu Cindhe tertawa kecil dan mengagumi pendengaran Ni Sekar Kusumadewi semakin hebat setelah bertahun-tahun tidak bertemu.

“ Aku akan senang sekali Nyi Gaharu Cindhe..tentu saja bila engkau tidak keberatan..” suara Ni Sekar Kusumadewi tertawa pula.

“ Itu suatu kehormatan bagiku, Ni Sekar..kita bisa saling berbagi menuntun murid-murid kita , agar mereka mempunyai bekal yang cukup untuk nanti..” timpal Nyi Gaharu Cindhe senang karna mendapat tanggapan dari sahabatnya itu.

Keduanya masih saling mengirim suara dengan tenaga dalam sementara perjalanan masih memakan waktu sepeminum teh lamanya. Terlihat kedua murid nyi Gaharu Cindhe semakin kepayahan walaupun berusaha keras untuk mengimbangi sang guru. Namun keduanya tak pernah mau menyerah dan terus berlari sambil mengatur napas mereka yang sedikit tersengal itu.

Akhirnya perjalan itu berakhir didepan pondok Ni Sekar Kusumadewi yang asri dengan halaman sangat luas dan banyak ditumbuhi oleh pohon-pohon besar. Udara sejuk menyambut mereka dan tampaklah Ni Sekar Kusumadewi telah menanti mereka didepan pondoknya sambil tersenyum. Nyi Gaharu Cindhe segera memeluk Ni Sekar Kusumadewi dan keduanya tersenyum gembira.

“ Apa kabarmu Nyi Gaharu ? Tampaknya engkau semakin sehat dan cantik pula “ tawa Ni Sekar terdengar bahagia.

“ Baik..kabarku baik , Ni Sekar. Engkaulah yang semakin cantik walau umur semakin bertambah..engkau harus mengatakan apa rahasiamu untuk selalu terlihat cantik seperti ini..” puji Nyi Gaharu Cindhe tertawa.

“ Aah, engkau berlebihan sekali ini..” elak Ni Sekar Kusumadewi lagi dan menatap kedua murid perempuan Nyi Gaharu Cindhe yang sedikit tersengal napasnya itu, “ Wah, murid-muridmu cantik sekali Nyi Gaharu..” pujinya.

“ Hahahaha...Ini murid pertamaku, Gebe dan itu murid keduaku Cheung Yang Fan atau Fanny..” Nyi Gaharu Cindhe memperkenalkan mereka kepada Ni Sekar Kusumadewi dengan bangga.

Gebe dan Cheung Yang Fan segera memberi salam dan tersenyum melihat keramahan Ni Sekar Kusumadewi. Seketika mereka merasa tenang dan nyaman melihat betapa perempuan paruh baya itu begitu lembut pembawaannya.

“ Baik..baik..Ah, mereka ini selain cantik, juga memiliki bakat yang hebat untuk menerima pelajaran silat..” angguk Ni Sekar Kusumadewi tanpa menyembunyikan rasa kagumnya.

“ Dimana muridmu itu Ni Sekar ? Aku juga ingin bertemu dengannya..” tanya Nyi Gaharu Cindhe kemudian setelah tidak melihat kehadiran Kirara Kariri yang merupakan murid kesayangan sahabatnya itu.

“ Oh ? Dia sedang memancing ikan untuk makan kita siang ini. Dia suka mancing ikan disungai bawah sana. Sebentar lagi dia akan kembali. Mari..masuklah kedalam. Kita berbicara disana saja..” jawab Ni Sekar sambil mengajak tamunya untuk duduk diberanda depan pondok mereka yang asri itu.

Mereka kemudian segera memasuki pondok yang amat lega itu dan duduk diatas ambin besar yang terbuat dari kayu dan dialasi dengan tikar hasil kerajinan para penduduk desa dikaki bukit yang dibelinya dulu. Kedua sabahat itu saling berbagi cerita setelah sekian tahun tidak bertemu. Sampai akhirnya Ni Sekar memandang Nyi Gaharu Cindhe dengan tatapan ingin tahu.

“ Oh, iya..apa yang membuatmu untuk berkunjung kesini sahabatku ?” tanyanya lembut .

“ Banyak hal yang membuatku terpikir untuk mengunjungimu, Ni Sekar. Engkau banyak mengetahui tentang kisikan-kisikan dalam dunia persilatan sekalipun engkau jarang berkelana. Berbeda denganku karna aku sendiri tidak begitu pusing dengan apa yang terjadi diluar sana. Namun belakangan ada hal-hal yang mengusik pikiranku..” jawab Nyi Gaharu Cindhe kemudian menceritakan buah pikirannya ketika kedua muridnya membawa cerita dalam perjalanan mereka kemarin.

Ni Sekar Kusumadewi mendengarkan semua cerita itu tanpa sekalipun memotong dan hanya manggut-manggut dengan sabar. Setelah Nyi Gaharu selesai bercerita Ni Sekar pun menceritakan tentang pertemuannya dengan Sang Rubah Jenggot Putih dan tentang Pedang Naga Giok Langit yang ternyata menjadi satu ikatan yang mulai bergema dalam dunia persilatan dan menarik perhatian .

“ Hm..ternyata semua berkaitan dengan Pedang Naga Giok Langit..” gumam Nyi Gaharu Cindhe mengerutkan keningnya.

“ Benar sekali dan tampaknya kali ini akan memakan banyak korban lagi..” Ni Sekar menghela napasnya, “ Sepertinya akan semakin ramai karna tokoh-tokoh persilatan akan terus bermunculan dengan adanya berita ini..” angguknya.

“ Mungkin ini sudah takdir pedang itu , Ni Sekar..” gumam Nyi Gaharu Cindhe.

“ Mungkin sudah saatnya pedang itu muncul kembali setelah belasan tahun menghilang begitu saja sejak peristiwa di pesisir laut selatan itu. Aku pikir ini ada hubungannya dengan orang-orang yang dulu dikejar oleh Sang Rubah Jenggot Putih yang kebetulan dipergoki oleh kedua muridmu ini. Aku hanya berharap tidak ada kekacauan yang nanti timbul didunia persilatan..”angguk Ni Sekar Kusumadewi kemudian.

“ Aku juga berharap demikian, Ni Sekar..” jawab Nyi Gaharu Cindhe pelan, “ Namun ada yang ingin kutanyakan, siapakah ahli perapal ilmu Ki Neropong Pandiangan ditanah jawa ini selain Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting ?”

Ni Sekar Kusumadewi terdiam sejenak. Benaknya berkutat panjang dan menarik napas panjang.

“ Tidak ada lagi selain Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting yang merupakan satu-satunya yang menguasai ajian itu...” jawab Ni Sekar Kusumadewi pelan dan pikirannya masih berkecamuk . “ Namun aku takkan heran kalau dia juga menguasai ajian Petaka Seribu Wajah sehingga dapat mengubah penampilannya menjadi siapa saja..” lanjutnya kemudian.

Nyi Gaharu Cindhe mendengarkan semua itu sembari membiarkan benaknya melayang kemana-mana. Dalam benaknya dia mencoba merangkai semua cerita dan penjelasan Ni Sekar Kusumadewi untuk mencari dimana simpul-simpul itu berada.

“ Hmm..kalau memang benar ternyata lelaki yang berada dirumah kepala desa Tambakboyo itu adalah Tumenggung Kakangmas Bendoro Lanting yang menyamar dengan ajian Petaka Seribu Wajah..ini berarti akan ada kemurkaan besar yang melanda dunia persilatan tak lama lagi..” gumamnya elan.

“ Mungkin saja, Nyi Gaharu. Mungkin juga karna kedoyanan sang tumengung akan perempuan-perempuan cantik untuk dijadikan gundiknya. Bukankah menurut cerita muridmu, kalau kepala desa itu punya seorang anak perempuan yang cantik ? Ada selentingan berita kalau sang tumenggung sedang mencari gundik baru untuk memenuhi hasratnya. Aku tidak tahu benar atau tidaknya. Namun jangan dipandang remeh karna kesaktian sang tumenggung amatlah hebat dan kurasa kita berdua belum tentu bisa menang darinya..” kata Ni Sekar menimpali buah pikiran sahabatnya itu.

“ Mungkin seperti itulah barangkali..” angguk Nyi Gaharu Cindhe seperti ada yang hilang dalam dirinya.

“ Apa itu ? Coba kulihat...!” tiba-tiba Ni Sekar Kusumadewi melotot kearah Gebe yang sedang memainkan plakat milik anggota Laskar Segara Ireng yang tadi disimpannya dalam kantong kecil itu.

Gebe sedikit tersentak. Tak hanya terkejut tetapi juga plakat ditangannya itu telah berpindah ketangan Ni Sekar Kusumadewi. Begitu juga dengan Fanny yang hanya melongo melihat plakat itu berpindah tangan tanpa ada gerakan aneh dari Ni Sekar Kusumadewi. Sedangkan Nyi Gaharu Cindhe sendiri tidak ambil pusing dengan hal itu. Dia hanya heran, mengapa Ni Sekar Kusumadewi tertarik dengan benda yang diambilnya dari Laskar Segara Ireng itu.

“ Hmm..ini adalah plakat perintah ke-empat belas dari Laskar Segara Ireng. Darimanakah muridmu mendapatkannya , Nyi Gaharu ?” tanya Ni Sekar Kusumadewi menatap tajam kepada sahabatnya itu.

“ Aku yang mengambilnya Ni Sekar, bukan muridku..” jawab Nyi Gaharu Cindhe sambil menceritakan hadangan dalam perjalanan mereka tadi siang.

“ Oo..begitu rupanya...” Ni Sekar Kusumadewi manggut-manggut, “ Kalian harus lebih waspada lagi. Mereka ini adalah perpanjangan tangan kerajaan dan selalu menyulitkan. Laskar Segara Ireng ini sudah puluhan tahun berdiri dan selalu menjadi mata serta telinga kerajaan dalam memantau situasi. Hanya saja kadang mereka bertindak semena-mena dan menekan rakyat..” jelas Ni Sekar sambil terus mengamati tiap lekuk plakat yang terbuat dari wesi kuningan itu.

“ Apa yang engkau ketahui tentang laskar ini , Ni Sekar ?” tanya nyi Gaharu Cindhe sedikit tertarik, “ Siapa pemimpin mereka ?”

“ Kudengar mereka ini dipimpin oleh salah seorang sepupu dari sang raja sendiri namun siapa dia, tidak ada yang bisa memastikannya. Yang ku tahu pemimpin Laskar Segara Ireng ini selalu mengenakan topeng hitam dan jarang muncul kalau tidak ada hal yang sangat penting. Laskar ini selalu melakukan kepentingan kerajaan untuk menekan pemberontakan maupun orang-orang yang mereka curigai. Hanya saja para laskar ini sering merampok dan mencuri serta melakukan perbuatan tak senonoh terhadap para perempuan yang mereka temui..” terdengar helaan napas Ni Sekar Kusumadewi ketika menuturkan kalimatnya.

“ Untuk apa engkau ambil plakat itu , Nyi Gaharu ?” tanya Ni Sekar dengan tatapan menyelidik.

“ Entahlah. Aku hanya ingin memastikan bahwa hal ini takkan diulangi mereka. Aku juga pernah melihat plakat yang mirip ini dahulu. Seperti plakat yang dipegang oleh para pangeran anggota kerajaan..” jawabnya pelan.

Ni Sekar Kusumadewi tersenyum. Aneh . Entah apa yang ada dalam pikirannya. Ni Sekar Kusumadewi selalu memiliki kelebihan dalam memahami orang dan kali ini pikirannya melayang-layang tentang satu kejadian puluhan tahun lalu yang pernah didengarnya.

“ Dari yang pernah kudengar, terbentuknya Laskar Segara Ireng ini sebenarnya bertujuan untuk mengumpulkan informasi penting tentang keberadaan seseorang yang pernah menjadi bagian dari kerajaan Majapahit..” ucap Ni Sekar Kusumadewi memcah keheningan diantara mereka.

Nyi Gaharu Cindhe menatap sahabatnya itu dengan lekat. Ada sesuatu yang mengusik hatinya dan tiba-tiba saja jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Ada denyut yang memilukan dan mencengkram jantungnya .

“ Apa maksudmu, Ni Sekar ?” tanyanya penuh selidik.

“ Puluhan tahun yang lalu pernah terjadi sesuatu dalam lingkungan kerajaan dan tampaknya inilah yang menjadi alasan utama dibentuknya Laskar Segara Ireng. Dulu pernah ada seorang anak dari salah satu selir dari sepupu sang maharaja kerajaan Majapahit, bertikai dengan dengan suaminya sendiri karna kematian anak mereka ditangan para begundal yang menguasai kehidupan malam diibukota. Dalam pertarungan itu sang suami yaitu Kanjeng Pangeran Haryo Hasmoro Soekardi terluka parah. Setelah itu sang istri, yaitu Bendara Raden Ayu Penata Intan Mustikageni pergi meninggalkan kerajaan entah kemana. Selama puluhan tahun tak pernah terdengar kabarnya. Karna itulah sang suami bertekad untuk menemukan kembali istri yang sangat dicintainya itu dengan mendirikan Laskar Segara Ireng agar mereka bisa mengumpulkan informasi keberadaan istrinya. Namun dalam perjalanannya Laskar Segara Ireng malah digunakan oleh pihak kerajaan untuk mengurusi masalah-masalah yang timbul dan mengusik ketenangan kerajaan. Hingga sampai detik ini sang istri tak pernah ditemukan keberadaannya dan Laskar Segara Ireng menjadi liar dalam melakukan kehendak mereka...” jelas Ni Sekar Kusumadewi dengan suara tenang.

Nyi Gaharu Cindhe mendengarkan penjelasan itu dengan dada bergemuruh dan tak sadar membuang mukanya ke lain arah. Tak pernah disangkanya kejadian puluhan tahun lalu yang ingin dilupakannya ternyata berkepanjangan. Hatinya sudah beku dan tak ingin lagi memikirkan tentang kehidupannya yang dulu. Ny Gaharu Cindhe menenangkan dirinya dan mengibas segala pikirannya yang melayang itu.

Namun semua itu tak pernah lepas dari pandangan Ni Sekar Kusumadewi dan dia merasa bahwa sahabatnya itu ada hubungannya dengan kerajaan Majapahit.

“ Darimana engkau mendengarkan semua cerita ini , Ni Sekar ?” tanya Nyi Gaharu Cindhe untuk menepiskan segala kekecurigaan sahabatnya itu.

“ Ada banyak diantara para Laskar Segara Ireng ini merupakan orang-orang dari kerajaan Kediri yang dijatuhkan oleh pendiri kerajaan Majapahit. Mereka ini dulunya dikumpulkan oleh para punggawa yang setia pada kerajaan Kediri dan berencana untuk mendirikan kembali kerajaan mereka. Namun tidak pernah terwujud dan akhirnya mereka melebur diri dalam Laskar Segara Ireng. Dari merekalah aku banyak mendengar kabar tentang hal-hal yang terjadi dalam kerajaan...” jawab Ni Sekar Kusumadewi tercenung dalam lamunannya sendiri.

Kembali suasana menjadi hening. Keduanya terlibat dalam pertempuran pikiran

Mereka sendiri. Kedua murid Nyi Gaharu Cindhe tampak hanya mendengarkan dan tidak berani bertanya sedikitpun sementara matahari kian jatuh luruh menuju senja yang berkabut. Udara mulai dingin menyapa mereka semua.

“ Plakat ini merupakan kunci pengenal mereka, Nyi Gaharu. Kukira masalah ini akan menjadi panjang karna mereka tidak akan membiarkan plakat ini jatuh ketangan lawan mereka. Berhati-hatilah dan jangan perlihatkan plakat ini kepada siapapun. Aku tidak ingin kalian mendapat kesulitan karna banyak diantara mereka ini memuiliki kesaktian yang hebat..” ucap Ni Sekar Kusumadewi mengingatkan mereka semabari menyerahkan kembali plakat itu kepada Gebe yang langsung menyimpannya dalam kantung kecil dipinggangnya.

“ Terima kasih, Ni Sekar. Terima kasih atas segala penjelasanmu. Tak pernah kukira engkau yang jarang terjun dalam dunia persilatan ini malah memiliki begitu banyak informasi mengenai kejadian dalam dunia persilatan. Aku sungguh mengagumimu..” angguk Nyi Gaharu Cindhe dengan jujur.

“ Aaiih...engkau membuatku malu saja, Nyi Gaharu..” Ni Sekar Kusumadewi tertawa kecil sambil mengangguk pula, “ Justru kulihat engkau semkin matang dalam ilmu kesaktian dan sangat pandai dalam mendidik murid..” katanya balik memuji sahabatnya itu.

Kedua perempuan paru baya itu tertawa dan sisa-sisa kecanggungan menghilang begitu saja. Dan sejenak perhatian mereka tertuju pada sebuah derap langkah milik murid Ni Sekar yakni Kirara Kariri yang baru kembali dari memancing.

Sejenak tatapan mata Kirara Kariri yang tadinya bercengkrama dengan alam menjadi tatapan penuh selidik melihat adanya tamu dipondok gurunya.

“ Nah, ini dia muridku Kirara Kariri, Nyi Gaharu..” ucap Ni Sekar Kusumadewi sambil melamabai kearah muridnya untuk segera mendekat.

“ Ah , muridmu cantik sekali Ni Sekar..” puji Nyi Gaharu tulus dan tatapan matanya seperti hendak mengukur kedalaman perempuan muda dan cantik itu.

“ Kirara..kenalkan ini Nyi Gaharu Cindhe dan itu kedua muridnya..” ucap Ni Sekar Kusumadewi sambil memperkenalkan tamu-tamunya.

“ Selamat sore, guru..bibi Gaharu..” angguk Kirara Kariri sambil memberi salam kepada gurunya dan Nyi Gaharu Cindhe dengan hormat.

“ Kirara Kariri..” salamnya kepada kedua murid Nyi Gaharu Cindhe sambil merangkapkan kedua tangannya didada.

“ Aku Gebe..”

“ Aku Cheung Yang Fan atau panggil saja Fanny..”

Kedua murid Nyi Gaharu Cindhe turut memperkenalkan diri kepada murid Ni Sekar Kusumadewi yang tampak cuek dengan pakaian kebaya putih yang hanya terkancing dibagian perutnya dan sekedar membalut sehelai kain lurik hijau kemerahan yang hanya digelungkannya menutupi kulit putih miliknya tapi tiak bisa menyembunyikan kemolekan pahanya. Sedangkan ditangannya tampak serentengan ikan yang lumayan besar terikat dengan tali rami.

“ Ah..muridku, pastinya engkau tertidur lagi sambil mancing ya sehingga baru kembali sekarang ?” tanya Ni Sekar Kusumadewi sambil menegur halus.

“ Maafkan aku , guru..hembusan angin hari ini begitu menyejukkan dan aku menikmatinya..” angguk Kirara Kariri sambil tersenyum dan tak peduli dengan teguran sang guru.

“ Ya sudah..engkau masaklah untuk makan kita dan ajaklah murid-murid Nyi Gaharu ini untuk membantumu..” Ni Sekar Kusumadewi berkata sambil menatap ketiga perempuan muda .

“ Baik guru. Mari ikutlah aku..” angguk Kirara Kariri sambil mengajak kedua teman barunya itu kebelakang.

“ Pergilah kalian membantunya..” kata Nyi Gaharu Cindhe menatap kedua muridnya dan tatapan itu cukup untuk membuat Gebe dan Fanny segera mengikuti Kirara Kariri menuju belakang pondok itu.

Keheningan kembali menyergap kedua perempuan paru baya itu sepeninggal murid-murid mereka ke belakang pondok. Keduanya saling bertatapan dan saling melempar senyum.

“ Sudah berapa lama kita tidak bertemu Nyi Gaharu ?” tanya Ni Sekar Kusumadewi pelan.

“ Entahlah, aku tak pernah menghitungnya, Ni Sekar..mungkin ada sepuluh tahun barangkali kita tak pernah bertemu..” jawab Nyi Gaharu Cindhe tertawa.

“ Sudah lama aku ingin mengatakan ini tetapi aku masih menunggu saat yang tepat..” kata Ni Sekar Kusumadewi serius.

“ Hehh ? Mengatakan apa Ni Sekar ? Hayulah..jangan bikin aku kepikiran terus..” suara tawa Nyi Gaharu Cindhe terdengar kering.

“ Engkau adalah Bendara Raden Ayu Penata Intan Mustikageni dari kerajaan Majapahit , bukan ?” tanya Ni Sekar Kusumadewi menatap tajam kepada Nyi Gaharu Cindhe yang tak lagi bisa bersembunyi dari sahabatnya itu.” Itulah sebabnya engkau mengenal ciri plakat itu dan mengambilnya..”

Nyi Gaharu Cindhe bergetar ketika namanya disebut dalam tatapan tajam Ni Sekar Kusumadewi. Namun pengalamannya selama puluhan mengikis habis masa lalunya membuat nyi Gaharu Cindhe bisa menerima perkataan Ni Sekar Kusumadewi itu.

“ Tak kusangka engkau mengetahuinya, Ni Sekar. Sungguh engkau sangat hebat dan bermata tajam..” angguk Nyi Gaharu Cindhe tersenyum kecut.

“ Sudah kuduga sejak dulu, Nyi Gaharu. Tak apa, hanya aku saja yang mengetahui rahasia ini dan akan selamanya kusimpan sendiri. Aku memaklumi semua yang pernah terjadi itu menyakitkan. Engkau telah memiliki kehidupan lain dan lakukanlah seperti itu..” ucap Ni Sekar Kusumadewi sambil memegang tangan sahabatnya itu dengan erat.

“ Terima kasih, Ni Sekar. Aku sangat menghargainya..” angguk Nyi Gaharu lagi dan balas menggenggam tangan Ni Sekar Kusumadewi dengan hangat.

“ Kuharap engkau berhati-hati dan usahakan agar plakat itu tidak keluar ke dunia persilataan. Laskar Segara Ireng pasti akan menyelidiki hal ini dan akan memburu engkau kemanapun..” ucap Ni Sekar Kusumadewi mengingatkan sahabatnya itu.

“ Aku tahu hal itu, Ni Sekar. Aku akan menghadapi kapanpun mereka mencariku. Tak ada gunanya bersembunyi dari mereka..” jawab Nyi Gaharu Cindhe lagi.

Ni Sekar Kusumadewi tersenyum melihat kekerasan hati Nyi Gaharu Cindhe yang tak pernah berubah sejak belasan tahun silam ketika mengenalnya.

“ Ada beberapa pemegang plakat perintah itu yang mesti engkau waspadai, Nyi Gaharu. Mereka itu pemegang perintah ke tiga yaitu Ki Congorekambingarab yang berilmukan Racun Ular Hitam dari riungan gunung semeru. Yang ke enam adalah Ki Sipitmataepetebusuk dengan ilmu hitamnya Demit Iblis Perancah Nyawa dari perguruan Kelabang Besi di Ponorogo dan yang ke sembilan itu seorang perempuan. Dia berasal dari kerajaan Pariaman diseberang pulau , yaitu Ni Sinta Tiara Dandangemletakmletuk yang ahli dalam ilmu kanuragan. Berhati-hatilah dengan ilmu Bayangan Dewi Rini Pemikat Sukma miliknya. Dia ini yang paling kejam dan memiliki kesaktian tertinggi dalam Laskar Segara Ireng..” jelas Ni Sekar Kusumadewi dengan sabarnya.

“ Oh, iya..tentu saja engkau harus lebih berhati-hati lagi karna kudengar belakangan ini ada seorang biksu murtad yang lari dari kuilnya di daratan tiongkok sana. Dia sekarang adalah pengawal utama pemimpin Laskar Segara Ireng. Kabarnya hanya dengan pandangan matanya saja mampu mengalahkan lawan-lawan nya. Aku tidak tahu apa ilmu tapi kebanyakan kalau datang dari daratan tiongkok maka mereka pasti memiliki kesaktian hebat. Aaiih...akan semakin runyam dunia persilatan karnanya..” sambung Ni Sekar sambil menarik napas panjang. 

“ Itulah yang kukhawatirkan, Ni Sekar. Aku takut murid-murid kita terlibat didalamnya. Mereka ini perempuan-perempuan muda dan tidak berpengalaman serta belumlah cukup kepandaiannya untuk terjun dalam dunia persilatan..” keluh Nyi Gaharu Cindhe tanpa sadar ikut pula menghela napas.

“ Bagaimana kalau kita saling tukar murid ? Cukup setahun dan kita akan saling mengajari mereka..” usul Ni Sekar Kusumadewi yang terus terang sangat tertarik dengan Cheung Yang Fan atau Fanny itu.

“ Wah..itu saran yang sangat bagus sekali, Ni Sekar..” angguk Nyi Gaharu Cindhe tersenyum lega, “ Enam purnama lagi mereka akan selesai kuajari dan setelah itu akan kukirimkan keduanya kesini untuk menjadi muridmu. Demikian juga dengan muridmu akan belajar kepadaku..” lanjutnya kemudian.

“ Baiklah, Nyi Gaharu . Enam purnama lagi mereka akan mendapat guru baru supaya kepandaian mereka cukup untuk mengarungi dunia persilatan ini..” Ni Sekar Kusumadewi tertawa senang dengan idenya itu.

Keduanya terus berbincang dengan akrabnya dan sejenak melupakan segala masa lalu mereka yang sedikit pahit itu. Bagaimana dengan Gebe dan Cheung Yang Fan atau Fanny dalam memintal persahabatan dengan Kirara Kariri ? Akankah mereka memiliki rasa dalam kebersamaan atau malah menjadikan pertemuan mereka ini sebagai akar dari segala permusuhan dimasa mendatang ?

...bersambung lagi....